Jokowi mengatakan bahwa dirinya sudah tidak memiliki beban jika terpilih kembali untuk periode kedua, benarkah demikian?
Pinterpolitik.com
“Saya sudah gak punya beban”. Begitu kira-kira kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat menggambarkan periode keduanya. Ia menyebutkan bahwa ia tidak memliki tanggungan untuk terpilih kembali di lima tahun mendatang, sehingga ia akan bisa lebih banyak fokus bekerja.
Hal tersebut tentu menyenangkan bagi mereka yang ingin presidennya fokus membenahi persoalan bangsa, alih-alih mendongkrak elektabilitas. Idealnya, untuk mewujudkan hal ini, ia perlu dibantu oleh kabinet yang juga fokus bekerja dan sama-sama tak punya beban dalam urusan elektabilitas.
Pentingnya kebebasan memilih kabinet ini disampaikan misalnya oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Sebagaimana dilansir oleh Bloomberg, mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu menyebut bahwa Jokowi membutuhkan free hand saat memilih anggota kabinet.
Meski demikian, tak semua hal ideal bisa diwujudkan di dunia ini, termasuk dalam pemilihan kabinet. Ada partai-partai anggota koalisi yang di atas kertas tentu berharap bisa menempatkan kader-kadernya di posisi strategis.
Merujuk pada kondisi tersebut, benarkah Jokowi benar-benar tak punya beban dalam menjalankan periode keduanya? Apakah partai-partai ini bisa membuat Jokowi benar-benar memiliki free hand saat menentukan calon pembantunya?
Tak Kejar Pemilihan
Siapapun jelas menginginkan ada pemerintahan yang bekerja penuh untuk menyelesaikan berbagai masalah yang ada di negeri ini. Idealnya, pemerintahan memang harus bekerja untuk seluas-luasnya manfaat, alih-alih bekerja untuk memenangkan pemilihan berikutnya.
Tentu, sulit untuk benar-benar menuduh bahwa pemerintahan periode pertama Jokowi bekerja untuk memenangkan pemilihan berikutnya. Akan tetapi, dengan adanya kemungkinan untuk terpilih kedua kali, distraksi semacam itu sangat mungkin terjadi.
Tudingan semacam ini kerap dimunculkan kepada Jokowi atau siapapun yang memimpin di tahun-tahun terakhir periode pertama mereka menjabat. Berbagai kebijakan sering kali dianggap terlampau populis karena hanya ingin mengejar tingginya elektabilitas jelang Pemilu.
Semoga saja Presiden Jokowi benar2 membuktikan pernyataannya, tidak punya beban lagi. Pilihlah pembantu2 terbaik yg semata2 bekerja untuk rakyat, bukan pembantu yg punya agenda sendiri dan mengorbankan rakyat pic.twitter.com/FBtI87DG6k
— #99 (@PartaiSocmed) May 10, 2019
Tuduhan ini pernah diungkapkan misalnya oleh Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah. Menurut mantan kader PKS ini pemerintahan Jokowi terlalu cepat fokus pada keterpilihan di periode kedua, sehingga menurutnya berbagai rapat kabinet dan pengelolaan kekuasaan bernuansa ingin meraup kemenangan. Secara spesifik, Fahri menyoroti tentang pemilihan orang untuk ditempatkan di suatu jabatan.
Merujuk pada kondisi tersebut, Jokowi tampak sudah meyakinkan banyak pihak bahwa dirinya sudah tak punya lagi beban selama lima tahun ke depan karena sudah tidak mungkin mencalonkan diri kembali. Segala tuduhan seperti yang diungkapkan Fahri boleh jadi tak lagi akan berlaku.
Di atas kertas, ungkapan Jokowi tersebut memang masuk di akal. Pasca reformasi 1998, memang tidak memungkinkan kembali seorang presiden dapat mencalonkan diri jika periode keduanya yang berlangsung lima tahun telah habis. Pada titik ini, seharusnya kerja-kerja Jokowi memang sudah lebih murni untuk kebermanfaatan banyak orang dan minim aspirasi elektoralnya.
Partai-partai Yang Membelai
Jokowi boleh jadi tidak punya lagi beban untuk memenangkan Pilpres atau kontestasi apapun di tahun 2024. Akan tetapi, bagaimana dengan partai-partai yang menjadi pendukungnya? Apakah mereka juga sama-sama tak memiliki beban atau aspirasi di masa yang akan datang?
Jika Jokowi resmi terpilih sebagai presiden berdasarkan hasil perhitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU), maka kemungkinan besar Pilpres 2024 akan membuka jalan bagi setiap partai untuk berebut kursi RI-1. Diprediksi tak ada kandidat yang benar-benar kuat dan dominan sendirian, sehingga masing-masing partai punya posisi yang lebih kurang sejajar untuk mengejar kursi di Istana Negara.
Di atas kertas, masih ada nama Ma’ruf Amin sebagai wapres jika Jokowi nanti kembali terpilih. Meski demikian, dengan usia yang terlampau senior, Ma’ruf bisa saja tak dalam kondisi yang benar-benar prima untuk melaju sebagai presiden di tahun 2024.
Tak hanya itu, gelaran Pemilu 2024 juga akan menjadi hal yang penting bagi masing-masing parpol untuk dimenangkan.
Saat ini, ada sembilan partai politik yang bersama Jokowi dalam ikhtiarnya merengkuh posisi presiden, yaitu PDIP, Golkar, PKB, Nasdem, PPP, Hanura, PSI, Perindo, dan PKPI. Di antara sembilan partai tersebut, lima partai di antaranya diprediksi akan lolos ke parlemen, yaitu PDIP, Golkar, PKB, Nasdem, dan PPP.
Jumlah tersebut cukup aman untuk menguasai parlemen, tetapi berpotensi menimbulkan pertimbangan serius jika menyangkut kursi kabinet. Hal ini tentu masih belum ditambah dengan potensi migrasi parpol dari kubu koalisi Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Sejauh ini, ada dua partai politik yang dikabarkan tengah digoda untuk merapat ke kubu Jokowi, yaitu Partai Demokrat dan PAN. Jika kedua parpol ini resmi berlabuh, maka koalisi pemerintahan Jokowi akan tambah gemuk.
Yang jadi perkara adalah dalam hubungan antara partai politik dan negara, umumnya ada hal-hal yang coba dikejar oleh partai politik tersebut. Hal ini dikemukakan misalnya oleh Richard S. Katz dan Peter Mair sebagaimana dikutip Marcus Mietzner.
Menurut Katz dan Mair, partai-partai tersebut akan mengejar regulasi yang memberi keuntungan bagi mereka. Regulasi ini misalnya soal pembatasan munculnya partai baru, sehingga mereka tak harus bersaing dan kehilangan pamor.
Selain itu, partai-partai juga akan mencoba mencari keuntungan finansial. Keuntungan finansial ini tentu akan menjadi tambahan berharga bagi partai-partai tersebut agar dapat bertahan menuju Pemilu berikutnya.
Terakhir, partai-partai ini juga akan berupaya untuk menguasai institusi kunci dalam negara. Hal ini membuat partai-partai menjadi amat dominan.
Beban Baru?
Merujuk pada kondisi tersebut, Jokowi boleh jadi tidak lagi punya beban untuk memenangkan pemilihan berikutnya. Meski demikian, partai-partai yang ada di dalam koalisinya memiliki aspirasi tersendiri yang coba akan diwujudkan pada periode kedua kekuasaannya.
Sulit untuk membayangkan partai-partai tidak ingin mengejar hal-hal yang disebutkan oleh Katz dan Mair. Ketiganya dapat memberi keuntungan besar bagi mereka saat berlaga di kontestasi elektoral tahun 2024.
Merujuk pada kondisi tersebut, dengan Pemilu dan terutama Pilpres 2024 yang akan jadi agenda besar di masa yang akan datang, beban untuk terpilih kembali boleh jadi tidak berlaku bagi Jokowi, tetapi berpindah ke partai-partai yang menjadi pendukung pemerintahannya.
Partai dengan reputasi dan perolehan suara besar seperti PDIP misalnya, sulit untuk dibayangkan akan sepenuhnya mau tunduk pada keinginan Jokowi. Dengan kontribusi suara dan perolehan kursi parlemen besar, tentu mereka tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada di pemerintahan Jokowi.
Dengan dua kali kemenangan beruntun di Pemilu 2014 dan 2019, PDIP tentu ingin agar kemenangan itu dilengkapkan dengan kemenangan di Pemilu berikutnya, ditambah dengan kemenangan di arena Pilpres. Pada titik ini, mereka butuh publikasi dan sumber daya besar yang salah satunya dapat didapat melalui posisi tertentu di kabinet Jokowi.
Jika hal itu terjadi, maka PDIP akan lebih mudah menjalani kontestasi elektoral di tahun 2024. Jalan akan semakin lapang jika salah satu kader mereka terlihat amat moncer di periode pemerintahan Jokowi, sehingga berpotensi menjadi kandidat kuat di Pilpres 2024.
Tentu, hal ini tidak hanya berlaku bagi PDIP saja. Partai-partai lain juga memiliki kesempatan serupa, sehingga potensi rongrongan ini menjadi berkali-kali lipat adanya.
Pada titik ini, kepentingan partai-partai dengan jumlah besar ini masih berpotensi menyandera Jokowi di periode kedua. Total sembilan partai dan potensi tambahan dari kubu seberang tentu ingin bisa memaksimalkan posisi mereka untuk merebut kursi di tahun 2024.
Berdasarkan kondisi tersebut, Jokowi bisa saja sudah tidak lagi memiliki beban, tetapi partai-partai di sekelilingnya masih memiliki aspirasi besar untuk gelaran Pemilu di tahun 2024. Oleh karena itu, sulit untuk membayangkan bahwa kabinet di masa yang akan datang benar-benar bersih dari campur tangan partai.
Pada akhirnya, kekuasaan tertinggi sebenarnya ada di tangan presiden. Jika Jokowi ingin membuktikan bahwa tak ada lagi ada beban, maka ia harus mampu menunjukkan kekuasaannya sebagai presiden dan meminimalisasi rongrongan partai. (H33)