Site icon PinterPolitik.com

Jokowi Tak Mungkin Selesaikan HAM

Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan melakukan aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis 304. Pada aksinya ke395 itu mereka mendesak Presiden Jokowi untuk menunjukan komitmennya dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu

Memasuki dua tahun terakhir pemerintahannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) diingatkan sekali lagi soal PR penyelesaian kasus HAM berat yang dulu pernah ia janjikan.


PinterPolitik.com

Dengan agak menyindir, barisan Komisioner Komnas HAM mengingatkan pemerintahan Jokowi untuk menyelesaikan kasus HAM berat di masa lalu, dalam jumpa pers di kantor Komnas HAM, Senin (21/1) lalu.

Menurut Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, Komnas HAM akan terus melakukan upaya pengusutan kasus HAM berat di jalur yudisial maupun jalur non yudisial. Di jalur yudisial, mereka telah menyerahkan sejumlah berkas penyidikan sembilan kasus prioritas, yang kini sudah berada di Kejaksaan Agung, namun belum ditindaklanjuti.

Lalu, terkait jalur non yudisial, Ahmad mengatakan bahwa dirinya bersama jajaran komisioner yang lain juga sudah berkomunikasi dengan pemerintah. Dia berharap, ada sinergi dan kerja sama yang baik antara Komnas HAM dengan pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM berat.

Komisioner Komnas HAM kali ini memang begitu diselimuti optimisme. Pasalnya, mereka mendapat tuntutan yang besar dari LSM-LSM pegiat HAM yang begitu kecewa dengan Komnas HAM periode sebelumnya. Komnas HAM periode lalu, yang salah satu pimpinannya adalah Natalius Pigai, gagal menyelesaikan satu pun kasus HAM yang dilaporkan ke mereka. Kini, beban besar ada di pundak Ahmad Taufan dan kawan-kawan. (Baca juga: Komnas HAM, Tumbuhkan Taringmu!)

Memang  mereka memiliki optimisme dan komitmen yang teguh, tetapi apakah itu cukup? Apakah mereka perlu diberi sedikit ‘siraman realita’ untuk melihat lebih jelas struktur kekuasaan Jokowi?

Jenderal, Menguatkan Sekaligus Melemahkan

Sejak awal kampanyenya, Jokowi sudah cukup kenyang dihujani kritik sebagai calon presiden yang lemah. Ia bukan jenderal, tidak punya jaringan bisnis nasional, dan tidak punya partai politik. Jauh berbeda dengan Prabowo Subianto, lawan politiknya.

Tapi, sesungguhnya Jokowi didukung oleh sejumlah Purnawirawan TNI di belakangnya sejak awal. Di antara mereka adalah Wiranto, Sutiyoso, Ryamizard Ryacudu, AM Hendropriyono, dan Muchdi Purwopradjono. Kebanyakan dari mereka juga adalah oposisi Prabowo karena pernah berkonflik saat masih sama-sama di TNI. Kondisi ini nyatanya juga berdampak pada kemenangan Jokowi.

Apa yang spesial dari kelima nama jenderal tersebut? Selain cukup kuat untuk melawan pengaruh Prabowo di internal TNI karena mereka adalah senior Prabowo, mereka juga membawa ‘luka lama’ yang belum bisa mereka jelaskan kepada publik sampai detik ini. Mereka diduga memiliki andil dalam sejumlah kasus kekerasan berujung pelanggaran HAM yang terjadi di era Orde Baru.

Wiranto, Hendropriyono, dan Sutiyoso

Wiranto, salah satu pendukung utama Jokowi di kabinet sampai detik ini, memiliki paling banyak dugaan pelanggaran seperti yang dituduhkan oleh KontraS. Kasus-kasus tersebut antara lain saat kerusuhan Mei 1998, tragedi Trisakti dan Semanggi, serta perang di Timor Timur. KontraS melihat, Wiranto masih berkelit terutama dengan belum sanggupnya dia membuktikan diri bersih lewat jalur pengadilan.

Sejak 2016, Wiranto resmi keluar dari struktur kepengurusan Hanura yang menyokong Jokowi di parlemen, dan masuk ke dalam kabinet sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam). Sosok Wiranto sendiri cukup sentral dalam ‘permainan politik’ Jokowi satu tahun belakangan, terutama dalam menjembatani berbagai pihak di seputar Aksi Bela Islam.

Selain Wiranto, ada pula nama Sutiyoso yang sama-sama terbelit kasus separatisme di Timor Timur. Sutiyoso juga disebut dalam kasus Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (Kudatuli), yang terjadi di DPP PDI, Menteng, tahun 1996. Sutiyoso sendiri sempat diberi jabatan sebagai Kepala BIN pada tahun 2015-2016, lalu sedikit ‘bersembunyi’ dari peredaran hingga sekarang.

Sementara Ryamizard Ryacudu, punya masalah dengan gerakan separatis lain di Aceh. Ryamizard diduga turut menghabisi ratusan separatis Gerakan Aceh Merdeka di lapangan, di gelombang terakhir pemberontakan mereka tahun 2005. Kecurigaan LSM-LSM kepada Ryamizard sempat dipertegas olehnya dengan sikap yang cenderung anti-HAM. Ryamizard kini masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan sejak 2014, dan konsisten dikritik oleh pegiat HAM karena sikap antinya kepada pengusutan G30S/PKI.

Sementara, dua nama terakhir yakni Hendropriyono dan Muchdi Pr memiliki keterkaitan. Hendro, disebut oleh Imparsial, merupakan dalang dari pembantaian terhadap kelompok Warsidi di Lampung, dalam Tragedi Talangsari tahun 1989. Hendro juga disebut ada di belakang kasus yang merenggut nyawa aktivis HAM Munir, karena Munir begitu getol membongkar kasus Talangsari. Hendro diduga menggunakan tangan Muchdi untuk melakukan pekerjaan kotor tersebut.

Saat ini, Muchdi sudah sedikit menjauh dari pusat kekuasaan, dengan menjabat Ketua Hizbul Wathan, organisasi sayap PP Muhammadiyah. Sementara Hendro tengah pemanasan untuk persiapan comeback dengan partai pimpinannya, PKPI.

Dukungan para purnawirawan seniornya Prabowo ini memang mengukuhkan posisi politik Jokowi, tapi di sisi lain memberi beban kepada janji Nawa Cita Jokowi untuk menyelesaikan kasus HAM lama. Padahal, banyak elemen masyarakat pejuang HAM yang sempat mendukung Jokowi karena melihat dirinya bukan ‘pelanggar HAM’ seperti halnya Prabowo. Ini tentu menjadi dilema politik bagi Jokowi sendiri.

Karenanya, dengan kondisi status quo ini, Jokowi hampir pasti tidak akan menyentuh kasus HAM. Apalagi, hampir semua kasus HAM berat yang diangkat Komnas HAM menjerat jenderal-jenderal pendukung Jokowi.

Tentu saja suara jenderal  Luhut Panjaitan saja belum cukup kuat untuk melawan suara-suara para jenderal terduga pelanggar HAM berat.

Masuknya Jenderal Bersih, Jokowi Bersih-bersih?

Jokowi sendiri sangat perlu mengatur dukungan jenderal di belakangnya dengan komposisi yang pas: jenderal yang bersih dan jenderal yang ‘mungkin kotor’.

Sebenarnya, sejumlah purnawirawa jenderal TNI di pihak Jokowi bersih dari HAM. Yang terlihat jelas, misalnya Luhut Panjaitan, Try Sutrisno, serta Agum Gumelar dan Moeldoko yang baru dilantik beberapa waktu lalu. Beberapa jenderal bersih ini tentu menambah persepsi positif kepada pemerintahan Jokowi, di samping persepsi negatif yang timbul dari para jenderal ‘hitam’.

Dengan masuknya dua orang tambahan tersebut, maka setidaknya Jokowi punya lebih banyak jenderal bersih dari HAM, ketimbang yang masih bermasalah. Ini pula, mungkin, yang menjelaskan kebijaksanaan Jokowi tidak menempatkan Hendropriyono di jabatan publik, atau ‘menempatkan’ Muchdi Pr di Hizbul Wathan, serta mencopot Sutiyoso dari BIN.

Tak hanya membentuk persepsi lebih positif, jenderal-jenderal bersih juga dapat dijadikan ‘senjata’ menghantam Prabowo kembali dengan isu HAM, nanti di 2019. Tokoh-tokoh seperti Luhut dan Agum, yang memainkan kampanye negatif kepada Prabowo pada 2014, bisa ‘digunakan’ lagi oleh Jokowi di 2019.

Para peserta Aksi Kamisan kecewa dengan pemerintahan Jokowi

Pada akhirnya, HAM tetap akan menjadi komoditas politik menjelang Pemilu saja, dengan Prabowo seorang menjadi ‘kambing hitam’ para seniornya. Padahal, kita tahu pemerintahan Jokowi sendiri tidak mungkin menyelesaikan satu pun kasus HAM, baik 1965, atau kasus-kasus ‘Petrus’, apalagi kerusuhan 1998, yang aktornya masih hidup sampai saat ini.

Tetapi, mengapa sih Wiranto tetap kukuh bertengger di pucuk kuasa Kemenkopolhukam sekaligus Dewan Pembina Hanura?

Apakah dengan dosa HAM yang lebih berat, maka jabatan politik yang diberikan Jokowi akan lebih tinggi? Apakah begitu cara Jokowi saling ‘menjaga’ dengan para jenderal pendukungnya?

Apakah ada kesepakatan antara para jenderal pelanggar HAM di kubu Jokowi dengan jenderal-jenderal di kubu Prabowo untuk saling ‘menjaga’? Apakah itu alasan Jokowi tidak membongkar satupun kasus HAM lama, termasuk kasus yang menjerat lawan politiknya, Prabowo Subianto?

Terlalu banyak yang publik tidak tahu. Hanya para gugur juang yang tahu. (R17)

Exit mobile version