Site icon PinterPolitik.com

Jokowi Tak Mungkin Dimakzulkan

6340a0547d8ac

Presiden Jokowi (Foto: Kompas)

Dengarkan artikel ini:

https://www.pinterpolitik.com/wp-content/uploads/2024/03/jokowi-full.mp3
Audio ini dibuat menggunakan AI.

Seiring wacana pengguliran Hak Angket terkait kecurangan Pemilu oleh DPR, muncul narasi yang menyebutkan bahwa proses politik ini bisa saja berujung pada upaya pemakzulan Presiden Jokowi. Meskipun ada bantahan yang dilakukan di sana-sini, yang jelas isu ini sempat berkembang untuk beberapa waktu lamanya. Pertanyaannya adalah apakah mungkin terjadi?


PinterPolitik.com

Wacana pengguliran Hak Angket di DPR semakin menguat seiring dengan proses penghitungan suara Pemilu 2024 yang masih dilakukan oleh KPU. Narasi utama yang dibawa adalah tuduhan bahwa penyelenggaraan Pilpres 2024 melibatkan kecurangan yang sifatnya terstruktur, sistematis dan masif (TSM).

Ini penting karena hanya konteks TSM lah legalitas Pilpres dapat “diaganggu-gugat”. Selain terhadap KPU dan stakeholder pengawas Pemilu, isu kecurangan Pemilu ini juga diarahkan pada Presiden Jokowi, mengingat pada Pilpres ini ada nama putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang menjadi peserta kontestasi elektoral tersebut.

Hak Angket ini didukung oleh partai-partai di luar koalisi Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang keluar sebagai pemenang Pilpres. Lawan mereka, Anies-Baswedan dan Ganjar Pranowo juga diminta untuk menyatukan parpol-parpol pendukung mereka demi mendorong Hak Angket ini. Pasalnya, ada kesan bahwa partai-partai koalisi Anies dan Ganjar masih terpecah belah soal polemik Hak Angket ini.

Hak Angket sendiri adalah wewenang yang dimiliki oleh DPR untuk menyelidiki pelaksanaan peraturan perundang-undangan atau kebijakan yang tidak sesuai. Ini adalah salah satu hak yang dimiliki DPR sebagai bagian dari proses check and balances yang menjadi intisari dari keberadaan lembaga legislatif.

Meskipun rencana pengguliran Hak Angket atas kecurangan Pemilu ini terbilang terlambat, masih ada waktu bagi DPR untuk melakukannya. Pasalnya masa jabatan Presiden Jokowi baru akan berakhir pada 20 Oktober 2024, sehingga masih ada kesempatan untuk mengusut dugaan kecurangan yang menyasar kepadanya.

Yang paling menarik adalah tentu saja narasi bahwa Hak Angket ini bisa berujung pada pemakzulan Jokowi di MPR. Isu ini memang sudah mengemuka cukup lama, termasuk terkait adanya petisi di awal tahun ini yang digulirkan oleh beberapa pihak untuk mendorong proses pemakzulan ini.

Jika DPR berhasil membuktikan bahwa Presiden Jokowi terlibat dalam kecurangan pemilu, maka isu pemakzulan ini tentu saja bisa digulirkan. Proses pemakzulan bisa dilakukan melalui Mahkamah Konstitusi (MK), yang akan menentukan apakah Presiden melanggar hukum atau tidak memenuhi syarat.

Pertanyaannya tentu saja adalah apakah mungkin pemakzulan Jokowi terjadi?

Pemakzulan Jokowi Mustahil?

Menyebut pemakzulan Jokowi sebagai hal yang mustahil mungkin terlalu mutlak sifatnya. Narasi yang paling tepat adalah bahwa pemakzulan Jokowi cukup sulit terjadi. Faktor-faktor pendukungnya adalah bahwa upaya ini akan memakan waktu, tenaga dan proses politik yang panjang dan cukup berat. Selain itu, pemakzulan akan menjadi jalan mundur bagi demokrasi Indonesia yang sudah berjalan dengan cukup baik pasca Reformasi 1998.

Adapun makzul, pemakzulan, dan dimakzulkan merupakan kata khusus yang digunakan bagi presiden dan wakil presiden yang berarti diberhentikan. Aturan pemberhentian ini sesuai dengan Pasal 7A dan 7B Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 7A UUD 1945 menetapkan alasan-alasan pemakzulan presiden dan atau wakil presiden dalam masa jabatannya. Beberapa syarat pemakzulan dalam pasal ini adalah apabila presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden atau wakil presiden. Ini termasuk juga perbuatan-perbuatan tercela lainnya.

Pemakzulan hadir karena salah satu fitur dari sistem presidensial. Adanya pengaturan pemakzulan merupakan konsekuensi logis apabila suatu negara ingin memperkuat sistem presidensial. Sebelum amandemen UUD 1945, Indonesia tidak memiliki mekanisme yang cukup jelas perihal memakzulkan presiden di tengah masa jabatannya.

Pemakzulan presiden ditentukan oleh suara mayoritas Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang selama ini kerap salah dipersepsikan sebagai hanya semata-mata menggunakan proses politik dan tidak ada proses hukum di dalamnya. Padahal kalau kita perhatikan secara seksama, dalam mekanisme pemakzulan terdapat proses hukum dan juga proses politik.

Hal ini kemudian dijelaskan dalam Pasal 7B UUD 1945, bahwa usul pemberhentian presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa presiden atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara dan tindak pidana berat lainnya atau presiden dan atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wakil presiden.

Proses di MK inilah yang menjadi bagian dari proses hukum. Pemakzulan tak bisa terjadi tanpa melewati MK. Dan pengajuan permintaan DPR kepada MK sekurang-kurangnya harus disetujui oleh dua per tiga (2/3) anggota DPR yang hadir dalam Sidang Paripurna. Sidang ini sendiri juga setidaknya harus dihadiri dua per tiga (2/3) dari jumlah seluruh anggota DPR.

Setelah MK memutuskan bahwa presiden bersalah, maka pemakzulan akan diajukan ke MPR. Lembaga ini kemudian memutuskan pemakzulan dalam rapat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya tiga per empat (3/4) jumlah anggota. Dan yang paling penting lagi, usulan pemakzulan ini harus disetujui oleh dua per tiga (2/3) dari anggota yang hadir.

Masalahnya, koalisi pendukung Prabowo-Gibran menduduki porsi yang cukup besar di DPR, yakni mencapai 46 persen. Artinya jika partai-partai di luar koalisi ini mendorong pemakzulan, suara mereka hanya mencapai 54 persen atau masih jauh dari syarat 2/3 anggota – kurang lebih 66 persen – yang menjadi acuan pemakzulan bisa digulirkan.

Selain itu, waktu yang dibutuhkan untuk menjalani proses dari DPR, MK, dan kemudian ke MPR paling lama membutuhkan sekitar 3 bulan. Memang, peluang untuk hal ini terjadi lebih cepat sangat bisa terjadi. Namun, mengingat proses di MK yang sifatnya mendetail dan harus menggunakan pembuktian hukum, maka proses yang jauh lebih lama bisa saja terjadi.

Konteks waktu dan panjangnya proses pemakzulan inilah yang membuat hampir mustahil proses politik ini didorong. Pasalnya, energinya akan sangat besar, sementara Presiden Jokowi sendiri sudah akan selesai masa jabatannya.

Tawar Menawar Politik

Pemakzulan Presiden merupakan proses yang kompleks dan sulit di Indonesia, terutama setelah pemakzulan Gus Dur pada tahun 2001. Kasus Gus Dur menunjukkan betapa rumitnya proses tersebut dan dampak politisnya yang signifikan.

Proses pemakzulan Gus Dur tersebut memunculkan polarisasi politik yang cukup dalam dan meninggalkan dampak jangka panjang terhadap stabilitas politik. Pengalaman ini menjadi pengingat bagi para elite politik masa kini tentang potensi konsekuensi yang merugikan dari upaya pemakzulan.

Kemudian, sejak Reformasi tahun 1998, Indonesia telah membuat kemajuan signifikan dalam memperkuat institusi demokratisnya. Terdapat konsensus politik yang kuat bahwa stabilitas politik dan keberlanjutan demokrasi sangat penting untuk pertumbuhan dan kemajuan negara. Oleh karena itu, pemerintah dan pemangku kepentingan cenderung memprioritaskan dialog politik dan penyelesaian masalah melalui proses konstitusional, bukan melalui upaya pemakzulan yang berpotensi mengganggu stabilitas.

Selain itu, proses pemakzulan Presiden harus didasarkan pada pelanggaran hukum atau konstitusi yang jelas dan terbukti. Setelah kasus Gus Dur, standar ini menjadi lebih ketat, dan upaya pemakzulan tidak hanya menjadi isu politik, tetapi juga membutuhkan dasar hukum yang kuat. Karena itu, untuk memulai proses pemakzulan, harus ada bukti substansial yang menunjukkan pelanggaran serius terhadap konstitusi atau hukum negara.

Kemudian, di tengah dinamika politik yang kompleks, terdapat kesadaran akan pentingnya stabilitas politik untuk kemajuan bangsa. Kelompok politik yang berbeda mungkin memiliki perbedaan pendapat, tetapi pada akhirnya, kepentingan bersama untuk menjaga stabilitas politik dan memajukan negara menjadi prioritas.

Dengan demikian, meskipun pemakzulan presiden tidak sepenuhnya tidak mungkin, terdapat banyak faktor yang membuatnya sulit terjadi lagi di Indonesia setelah kasus Gus Dur. Stabilitas politik, pertumbuhan demokrasi, kekuatan institusi, dan kesadaran akan kepentingan bersama telah menjadi penopang utama dalam menjaga negara tetap stabil dan fokus pada pembangunan.

Selain itu, isu ini memang jelas terlihat lebih sebagai tawar menawar politik dari elite-elite di level nasional agar kepentingannya bisa terpenuhi. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

Exit mobile version