Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno menyebut perombakan kabinet atau reshuffle bisa dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bulan ini atau bulan depan. Jika diamati lebih dalam, pernyataan itu seolah menguak bahwa reshuffle menteri bukan seputar substansi, plus, menimbulkan kembali tanggapan kritik atas hak prerogatif yang melandasi keputusan itu.
Setelah isu begitu panas namun urung merombak kabinet, Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut akan menentukan keputusan di bulan ini atau bulan depan.
Kemungkinan itu diungkapkan langsung oleh Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno saat ditanya awak media perihal isu reshuffle kemarin lusa.
Seperti yang selalu diutarakan, Pratikno menegaskan keputusan untuk menunjuk dan memberhentikan menteri merupakan hak prerogatif Jokowi sebagai Presiden.
Diketahui, isu reshuffle mulai naik ke permukaan dan menjadi perdebatan panas sejak Partai NasDem mendeklarasikan akan mengusung Anies Baswedan sebagai calon presiden (capres) di Pemilu 2024.
Sejak deklarasi, gestur dan sindiran yang ditunjukkan sejumlah elite PDIP – partai politik (parpol) pengusung Jokowi – mengimpresikan eksistensi kerenggangan dan tensi politik.
Sebelumnya, kabar reshuffle semakin santer setelah Presiden Jokowi dua kali menggelar rapat terbatas (ratas) di Istana Negara pada akhir Januari.
Dalam ratas, tak tampak dua menteri dari Partai NasDem, yakni Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Men LHK) Siti Nurbaya.
Menariknya, dua menteri itu sempat “diincar” oleh elite PDIP seperti Hasto Kristiyanto hingga Djarot Saiful Hidayat sebagai penghuni kabinet yang pantas didepak.
Di atas semua itu, kemunculan isu dan maju-mundurnya keputusan reshuffle seolah menguak bahwa konteks tersebut bukan semata-mata mengenai substansi kinerja dan kepentingan rakyat. Mengapa demikian? Dan benarkah postulat itu?
Reshuffle, Hiburan Rakyat?
“Hak prerogatif presiden” menjadi untaian kata yang selalu menjadi ending dari diskursus mengenai reshuffle. Ihwal yang menjadikan keputusan mengenai perombakan kabinet yang mengurusi negara bukan semata soal substansi, melainkan kemungkinan tendensi politis.
Dan saat bersinggungan ke ranah beraroma politis, kemunculan isu reshuffle selalu menjadi komoditas yang menarik untuk diperbincangkan. Sayangnya, kecondongan ruang perbincangan lebih banyak menjauh dari substansi dan urgensi penggantian menteri.
Gosip maupun intrik politik yang tak substansial justru kerap digemari oleh rakyat – yang mana dalam buku berjudul Negara Teater oleh Clifford Geertz hanya merupakan “penonton”. Tak terkecuali konteks reshuffle yang notabene menjadi bagian dari intrik politik yang memengaruhi dinamika pemerintahan yang tengah berkuasa.
Para politisi yang mengemban jabatan publik dan berperan sebagai aktor dalam “teater” seperti yang disiratkan Geertz itu, seolah menyadarinya dan terus menampilkan pertunjukan dan gosip terbaik mereka. Kembali, sayangnya, kerap melenceng dari substansi.
Sejarawan sekaligus penulis buku Sapiens: A Brief History of Humankind, Yuval Noah Harari juga menyebut rakyat lebih menggemari intrik dan drama dalam politik karena merupakan sebuah “gosip” yang menggairahkan.
Dalam wawancaranya bersama jurnalis Financial Times Alec Russell, Harari bahkan menyebutkan bahwa masyarakat selalu lebih tertarik pada intrik serta isu-isu politik daripada, misalnya, isu bencana alam.
Ketika aktor politik dikatakan menyadari hal itu sebagai sebuah intrik yang disukai rakyat, kemunculan isu reshuffle, diskursus yang tak substansial, hingga keputusannya yang kerap maju-mundur kiranya menemui relevansinya. Termasuk ambiguitas kapan reshuffle akan dilakukan Presiden Jokowi seperti yang diutarakan Mensesneg Pratikno.
Selain itu, jika berbicara substansi dan kontaminasi politik, faktor “hak prerogatif” di dalam sistem presidensial yang melandasi keputusan reshuffle kiranya juga patut dipertanyakan lebih dalam. Mengapa demikian?
Riwayat Reshuffle
Sepanjang sejarah politik dan pemerintahan Indonesia, penggantian menteri bukanlah hal yang asing.
Presiden pertama RI Soekarno menjadi yang paling banyak melakukan penggantian menteri, yakni sebanyak 28 kali. Sementara meskipun menjabat tiga dekade lebih, Soeharto tercatat hanya melakukan tiga kali reshuffle menteri.
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berada di urutan kedua di bawah Soekarno dengan melakukan 20 kali pergantian menteri. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur kemudian menyusul di belakang SBY dengan 13 reshuffle, diikuti Jokowi dengan tujuh kali.
Di era kepemimpinan Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie dan Megawati Soekarnoputri tak ada satupun pergantian menteri. Menteri-menteri yang mengundurkan diri ketika keduanya memimpin negara digantikan secara ad interim oleh menteri lainnya atau pelaksana tugas kementerian.
Burhanuddin Muhtadi dalam Indonesia’s Cabinet Reshuffle: Rewarding Loyalty and Consolidating Power menyajikan sejumlah faktor menarik di balik keputusan reshuffle menteri dalam politik dan pemerintahan Indonesia.
Dia menyebut terdapat faktor reward atau penghargaan dan konsolidasi politik dalam dinamika pergantian menteri, sebagaimana ketika membangun kabinet di awal pemerintahan.
Sebagai dua hal yang saling komplementer, kemungkinan terdapat pula punishment atau hukuman saat Burhanuddin menyinggung soal reward di balik keputusan reshuffle.
Punishment sendiri seolah relate dengan isu terhangat mengenai musabab perombakan kabinet yang menyasar menteri asal Partai NasDem saat ini.
Ketika sampai pada titik ini, kemunculan isu serta keputusan reshuffle kemungkinan tak murni hanya ditentukan oleh so-called “hak prerogatif presiden”. Lagi-lagi, substansi demi tugas pokok dan fungsi bagi kepentingan rakyat di balik reshuffle seolah bukan merupakan faktor utama.
Lantas, sejauh mana hak prerogatif itu dapat diintervensi, khususnya dalam konteks reshuffle, agar menemui hakikatnya?
Salah Tafsir “Prerogatif”?
Penafsiran hak prerogatif presiden di Indonesia tak dapat dipungkiri merupakan hal yang tak sederhana. Ihwal ini turut ditelaah Bibianus Hengky Widhi Antoro dan Rosita Miladmahesi dalam sebuah publikasi berjudul Mengukur dan Menanggulangi Kompleksitas Hak Prerogatif Presiden pada Pengangkatan Menteri dalam Kabinet.
Selaras dengan analisis di bagian sebelumnya, Bibianus dan Rosita mengatakan ketentuan hak prerogatif dan ketentuan hukum yang berlaku rentan, plus dapat disusupi oleh kepentingan bernuansa politis.
Hingga kini, perdebatan pun masih mengganjal seputar tafsir mengenai prerogatif presiden. Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan dalam UUD 1945 Tak Mengenal Hak Prerogatif juga memberikan telaah kritis dengan mengatakan minimnya akuntabilitas menjadi salah satu karakter dari kekuasaan prerogatif yang tidak ada dalam hukum tertulis.
Kendati tidak terkait reshuffle, Mahkamah Konstitusi pernah menggelar judicial review mengenai tafsir “prerogatif” pada tahun 2015 lalu, terkait kewenangan presiden terhadap TNI dan Polri.
Kala itu, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIII/2015 menjadi output yang dihasilkan dan singkatnya membahas mengenai hak prerogatif presiden yang mengharuskan adanya persetujuan dari DPR untuk mengeksekusi hak tersebut.
Sebagai saksi ahli dalam judicial review itu, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran I Gede Pantja Astawa menyiratkan hak prerogatif merupakan residu dari tafsir kekuasaan diskresi raja. Padahal, menurut Astawa, karakteristik itu cenderung tak demokratis dan justru berbahaya.
Kendati terdapat rujukan dari MK tujuh tahun silam, sayangnya “prerogatif” kerap tak ditafsirkan sebagaimana prinsip check and balance yang disiratkan dalam putusan itu.
Jika ditarik konklusi atas serangkaian analisis di atas, hak prerogatif presiden yang melandasi keputusan reshuffle agaknya hanya seputar daya tawar dan tarik menarik antarkepentingan politik. Termasuk kemungkinan kepentingan partai politik (parpol) di mana presiden berasal.
Peninjauan ulang dan penetapan definisi hukum yang jelas atas mekanisme hak prerogatif presiden tampaknya perlu dilakukan oleh DPR. Itu semata-mata demi menjauhkan perkara substansial seperti pergantian posisi menteri dari faktor intrik politik.
Tinggal apakah para wakil rakyat berkenan untuk melakukannya mengingat mereka pun merupakan aktor dalam “teater” – sebagaimana disebut Geertz – yang tak lepas dari pengaruh dinamika politik dan kekuasaan. (J61)