HomeNalar PolitikJokowi Sudah Tentukan Pilihan?

Jokowi Sudah Tentukan Pilihan?

Meskipun baru berjalan dua tahun, berbagai menteri periode kedua pemerintahan Jokowi, seperti Erick Thohir dan Airlangga Hartarto terlihat menyiapkan jalan untuk maju di Pilpres 2024. Mengapa Jokowi tidak menegur para menteri tersebut? Mungkinkah Jokowi sudah menentukan siapa penerusnya?


PinterPolitik.com

Sangat menarik melihat gestur-gestur yang ditampilkan berbagai menteri di periode kedua pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Betapa tidak, sejak awal periode kedua, indikasi terdapat menteri yang ingin maju di Pilpres 2024 telah terlihat. Sejauh ini ada empat menteri yang menunjukkan gestur paling kentara, yakni Menteri BUMN Erick Thohir, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno, dan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto.

Terkait Erick, dugaan adanya intensi untuk maju sudah mulai tercium sejak Maret 2020. Saat itu, spanduk dukungan maju di 2024 mencuat ke publik. Ada pula gestur-gestur yang mudah dibaca sebagai upaya membangun citra, seperti isu toilet gratis, munculnya wajah Erick di ATM BUMN, hingga bergabung sebagai anggota kehormatan Banser. 

Terbaru, ada deklarasi Barisan Erick Thohir (BARET) untuk meminta sang Menteri BUMN maju di 2024. Disebutkan, BARET telah tersebar di 19 kota dan kabupaten di Jawa Barat, dengan jumlah anggota lebih dari 30.000 orang.

Namun, hingga saat ini Erick masih membantah niatnya untuk maju. Terkait hal tersebut, itu telah dibahas rinci dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Partai Mana yang Disiram Erick?.

Lalu ada Airlangga. Terkait nama ini, dengan adanya tebaran baliho di berbagai daerah dan telah turunnya berbagai relawan, sekiranya sudah tidak ada keraguan terkait intensi sang Ketua Umum Partai Golkar untuk maju. 

Hal serupa juga terlihat dari Prabowo. Mengutip pernyataan pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin, Prabowo tampaknya masih penasaran kenapa belum berhasil menang di kontestasi Pilpres. Partai Gerindra juga terpantau terus membangun konsolidasi agar sang ketua umum dapat maju. Sejauh ini, elektabilitas Prabowo juga konsisten tertinggi.

Sementara Sandi, meskipun tidak menunjukkan intensi sekentara Airlangga maupun Prabowo, berbagai relawan telah melakukan deklarasi di daerah. Kelompok relawan yang menamakan dirinya Relawan Kawan Sandi (RKS) terlihat melakukan deklarasi pada 15 September 2021 di Makassar dan pada 27 September 2021 di Lombok.

Terkait gestur-gestur para menteri, berbagai pihak terlihat memberikan kritik. Ketua Umum Relawan Penggerak Jakarta Baru (RPJB) Pitono Adhi, misalnya, menilai Presiden Jokowi perlu memberhentikan para menteri yang tidak fokus bekerja, daripada nanti mereka mengundurkan diri karena akan maju di kontestasi Pilpres.

Di sini tentu pertanyaannya, mengapa Presiden Jokowi tidak menegur para menterinya?

Seharusnya Ditegur

Terkait pertanyaan tersebut, ada insight menarik dari Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah dalam bukunya Buku Putih: Kronik Daulat Rakyat Vs Daulat Parpol. Menurut Fahri ada dua cara seorang pejabat dipilih, yakni elected official dan selected official

Elected official adalah pejabat publik yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Mereka adalah Presiden dan anggota DPR. Karena dipilih langsung oleh rakyat, Presiden dan anggota DPR diberikan hak khusus dan kuasa besar. Selain itu, pejabat yang dipilih melalui elected official tidak bisa diturunkan secara mudah karena mereka diangkat atas suara rakyat. 

Sementara selected official adalah pejabat yang dipilih bukan melalui pemilihan langsung. Mereka adalah pejabat yang dipilih oleh pejabat elected official, contohnya adalah menteri. Pengangkatan para menteri adalah hak prerogatif Presiden. Karena tidak dipilih rakyat secara langsung, kuasa dan posisi pejabat selected official tidak sekuat elected official. Mereka dapat diturunkan atau diganti dengan mudah. Bahkan pada kasus tertentu, bertahan tidaknya posisi menteri ditentukan oleh kecocokan dengan Presiden.

Baca juga :  Gibran Wants to Break Free?

Mengacu pada perbedaan antara elected official dan selected official, mudah menyimpulkan bahwa Presiden Jokowi sebagai elected official memiliki kewenangan serta legitimasi politik dan moril untuk memberi teguran terhadap para menterinya yang terlihat menyiapkan jalan menuju Pilpres 2024.

Bukan tanpa alasan kuat, dengan pemerintahan yang masih lama, sudah seharusnya para menteri yang ditunjuk sebagai perpanjangan kuasa Presiden bekerja sebaik mungkin. Di periode kedua ini, tentunya Presiden Jokowi ingin meletakkan legacy politik yang membuat namanya diperbincangkan di pemerintahan-pemerintahan selanjutnya.

Sebagaimana temuan Christian Fong, Neil Malhotra, dan Yotam Margalit dalam tulisan Political Legacies: Understanding Their Significance to Contemporary Political Debates, alasan politisi memiliki minat yang kuat untuk membangun legacy adalah, karena ingatan masyarakat tentang legacy tersebut memengaruhi perdebatan kebijakan di masa depan.

Di sini tentu pertanyaannya, mengapa legitimasi sebagai elected official tidak membuat Presiden Jokowi memberikan teguran?

Persiapkan Jalan?

Terkait hal ini, setidaknya ada tiga asumsi yang dapat dipetakan sebagai alasan tidak keluarnya teguran. Pertama, mungkin ini adalah pelumrahan karena sudah menjadi budaya apabila setiap pihak ingin menjadi penguasa. Kedua, mungkin Presiden Jokowi tengah terikat dengan kekuatan politik lain. Ketiga, mungkin ini adalah indikasi bahwa Presiden Jokowi sudah menentukan siapa sosok yang akan menggantikannya. 

Untuk menentukan mana asumsi atau hipotesis yang paling tepat, kita akan menggunakan abductive reasoning (penalaran abduktif/abduksi) atau yang dikenal juga dengan inference to the best explanation. Metode abduksi ini diformulasikan oleh filsuf Charles Sanders Peirce pada sepertiga terakhir abad ke-19. Dalam berbagai literatur terbaru, detektif fiksi Sherlock Holmes karya novelis Arthur Conan Doyle kerap dijadikan sebagai contoh pengguna metode abduksi.

Seperti namanya, abduksi adalah metode penarikan kesimpulan untuk mendapatkan penjelasan terbaik. Dalam memecahkan kasus-kasus kriminal, Sherlock Holmes membangun berbagai hipotesis, kemudian mengujinya satu per satu untuk menentukan mana yang paling memuaskan. Cara kerjanya disebut dengan via negativa atau pembuktian negatif. Setiap hipotesis diuji dengan berbagai pertanyaan. Hipotesis yang paling mampu menjawab pertanyaan akan ditetapkan sebagai yang paling memuaskan.

Sekarang kita akan menguji satu per satu ketiga hipotesis tersebut dengan pembuktian negatif. Pertama, jika mengatakan ini adalah pelumrahan karena bertolak dari fakta sosiologis dan psikologis bahwa setiap pihak ingin menjadi penguasa, maka ini tidak memberikan penjelasan apa-apa dan cukup rancu.

Alasannya sederhana, yakni perilaku penguasa yang dijelaskan oleh Niccolò Machiavelli dalam bukunya Il Principe. Menurut Machiavelli, sulit membayangkan seorang penguasa membiarkan para pembantunya bergerak leluasa dan menunjukkan niat menjadi penguasa berikutnya. Pasti ada perasaan terancam atau setidaknya tidak nyaman karena kekuasaan bersifat hierarkis.

Kita lanjut ke yang kedua, yakni mungkin Presiden Jokowi tengah terikat dengan kekuatan politik lain. Hipotesis ini lebih masuk akal dari yang pertama karena ada fenomena yang disebut vetokrasi (vetocracy). Istilah vetokrasi sendiri dipopulerkan oleh ilmuwan politik Amerika Serikat (AS) Francis Fukuyama untuk menjelaskan disfungsi pemerintahan yang terjadi karena terdapat pihak yang memiliki hak veto untuk membatalkan kebijakan yang tidak disukainya.

Baca juga :  PDIP and the Chocolate Party

Vetokrasi ini sebenarnya adalah apa yang kita takutkan selama ini. Terdapat segelintir pihak di pemerintahan yang memiliki hak veto untuk menentukan jalannya pemerintahan. Tidak heran kemudian terdapat kebijakan yang secara gamblang bertentangan dengan aspirasi publik.

Mungkin dapat dikatakan bahwa terdapat vetokrat yang menghadang Presiden Jokowi untuk menegur menteri. Terlebih lagi, para menteri yang menunjukkan intensi maju adalah mereka yang memiliki political capital yang besar. Prabowo dan Airlangga adalah ketua umum partai, sedangkan Erick adalah pemilik kapital besar. Mungkin hanya Sandi yang tidak begitu kuat secara politik.

Namun, hipotesis ini menyimpan satu ganjalan utama, yakni perubahan sikap politik Presiden Jokowi di periode keduanya. Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Siapa yang Didengar Jokowi?, telah dijelaskan terdapat perubahan sikap politik di mana Presiden Jokowi tidak lagi terlihat sebagai pemimpin populis.

Di periode kedua ini, Presiden Jokowi seperti tidak memiliki beban untuk menelurkan kebijakan-kebijakan kontroversial. Selain itu, mantan Wali Kota Solo tersebut juga terlihat memiliki kepercayaan politik karena sudah mampu mengelola hubungan dengan militer dan partai politik lainnya. Dengan kembalinya saham politik Presiden Jokowi di periode kedua ini, hipotesis tengah tersandera fenomena vetokrasi sepertinya kurang meyakinkan.

Nah sekarang kita akan menguji hipotesis terakhir, yakni mungkin ini adalah indikasi bahwa Presiden Jokowi sudah menentukan siapa sosok yang akan menggantikannya. Hipotesis ini setidaknya sangat masuk akal karena dua alasan. Pertama, seperti yang dijelaskan sebelumnya, seorang pemimpin perlu meninggalkan legacy untuk dikenang oleh masyarakat. Untuk kepentingan ini, seorang pemimpin memerlukan penerus untuk menjaga legacy-nya.

Ini sangat penting karena seperti temuan Alan Yuhas dalam tulisannya Presidents undoing their predecessor’s legacy: an American tradition, ada tendensi di mana Presiden yang baru ingin menghapus legacy Presiden sebelumnya. Menimbang pada legacy Presiden Jokowi lebih ke hard legacy atau berbentuk bangunan fisik, mantan Wali Kota Solo ini butuh penerus untuk melanjutkan proyek infrastrukturnya, khususnya proyek Ibu Kota Negara (IKN).

Kemudian alasan kedua adalah pernyataan Presiden Jokowi pada 19 Januari dalam pertemuan dengan Forum Pemimpin Redaksi. “Semua yang memiliki kemungkinan, ya kita beri peluang. Yang penting jangan mengganggu pekerjaan dan menggunakan fasilitas negara,” ungkap RI-1. Lanjutnya, dipersilahkan siapa pun yang maju, baik menteri, kepala daerah, maupun petinggi partai politik. 

Nah, pernyataan terbuka tersebut dapat dibaca sebagai pesan terdapat lampu hijau bagi mereka yang ingin menjadi penerus Presiden Jokowi. Kemudian, karena sering kali bahasa politik itu berlapis, itu juga bisa dibaca sebagai bentuk dukungan. Namun tentunya, untuk menghindari kesan dan persepsi yang tidak diinginkan, dukungan tersebut dinarasikan general dan tidak menyasar sosok tertentu.

Well, sebagai penutup, mungkin hipotesis ketiga merupakan penjelasan terbaik. Namun tentunya tidak menutup kemungkinan terdapat hipotesis lain yang lebih memuaskan dan mendekati kebenaran. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...