Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut sebagai faktor kunci untuk mewujudkan pembentukan Koalisi Besar. Apakah ini menunjukkan bahwa Presiden Jokowi telah melampaui kehebatan politik Megawati Soekarnoputri?
PinterPolitik.com
“Passionate and their passion becomes contagious.” – Robin S. Sharma
Akhir-akhir ini publik disibukkan dengan pemberitaan soal kemungkinan terbentuknya Koalisi Besar yang terdiri dari lima partai politik, yakni Partai Gerindra, PKB, Partai Golkar, PAN, dan PPP. Terbaru, PDIP juga dikabarkan tertarik bergabung dalam koalisi jumbo ini.
Katakanlah jika terwujud, maka akan ada dua pasangan calon (paslon) lagi di Pilpres 2024, yakni antara paslon Koalisi Besar dan paslon Koalisi Perubahan yang terdiri dari Partai NasDem, PKS, dan Partai Demokrat.
Dan jika bicara potensi kemenangan, di atas kertas Koalisi Besar jelas di atas angin. Jika terbentuk, seperti namanya Koalisi Besar akan menjadi koalisi terbesar setelah Reformasi. Plus PDIP, Koalisi Besar mendapat dukungan 412 kursi dari total 575 kursi DPR (71,65%). Berbanding jauh dari Koalisi Perubahan yang hanya 163 kursi (28,3%).
Koalisi | |||
Pilpres 2009 | Megawati-Prabowo | SBY-Boediono | JK-Wiranto |
120 / 560 (21,4%) | 317 / 560 (56,6%) | 123 / 560 (21,96%) | |
Pilpres 2014 | Prabowo-Hatta | Jokowi-JK | |
292 / 560 (52,1%) | 207 / 560 (36,96%) | ||
Pilpres 2019 | Jokowi-Ma’ruf | Prabowo-Sandi | |
338 / 560 (60,3%) | 222 / 560 (39,7%) |
Pada tabel di atas kita bisa melihat bahwa koalisi terbesar sejauh ini adalah koalisi pendukung Jokowi-Ma’ruf pada Pilpres 2019 dengan total dukungan kursi DPR mencapai 60,3%. Selisihnya lebih dari 10% jika Koalisi Besar benar-benar terbentuk.
Menurut pengamat politik dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Mikhael Rajamuda Bataona, kunci dari terbentuknya koalisi super besar itu adalah Presiden Jokowi.
“Variabel kunci dari wacana gagasan koalisi besar antara KIR dan KIB dan bisa juga dengan PDI Perjuangan adalah sosok Jokowi karena kekuatan sosial politiknya, yaitu citra diri dan tingkat kecintaan rakyat kepada dirinya yang sangat tinggi,” ungkap Mikhael pada 8 April 2023.
Sosok Presiden Jokowi dinilai sangat berpengaruh pada urusan persepsi publik karena tingkat kepuasan publik (approval rating) yang relatif sangat tinggi.
Menurutnya, itu membuat ketua umum partai politik menurunkan ego masing-masing dan berlomba mencari dukungan politik (political endorsement) Presiden Jokowi.
Syarat Jokowi Jadi King Maker
Apa yang disampaikan Mikhael Rajamuda Bataona juga menjadi penekanan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia (IPI) Burhanuddin Muhtadi. Pada 12 Juni 2022, Burhanuddin menyebut ada tiga alasan kenapa Presiden Jokowi bisa menjadi king maker di Pilpres 2024.
Pertama, approval rating atau kepuasan masyarakat terhadapnya tetap tinggi. Ini akan membuat Presiden Jokowi menjadi gravitasi politik, sehingga banyak kandidat meminta restu atau dukungan politiknya.
Kedua, presidential threshold (preshold) masih 20 persen. Jika gagal digugat menjadi nol persen atau tidak berubah, Presiden Jokowi akan menjadi king maker karena menguasai Parlemen.
Ketiga, tidak muncul kandidat yang begitu dominan. Sejauh ini, jangankan muncul kandidat seperti itu, berbagai kandidat potensial bahkan secara terang-terangan mendekat ke Presiden Jokowi.
Ketika menanggapi naiknya elektabilitas Prabowo berdasarkan hasil survei terbaru Lembaga Survei Indonesia (LSI), Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman dengan gamblang menyebut Presiden Jokowi sebagai salah satu faktornya.
“Apalagi kan Pak Jokowi itu kan tokoh bangsa yang pengikutnya sangat banyak, pengagumnya sangat banyak. Jadi tentu gestur politik beliau juga diamati oleh pengikutnya,” ungkap Habiburokhman pada 10 April 2023.
Sedikit berandai-andai, katakanlah pernyataan Mikhael tepat, yakni Presiden Jokowi merupakan faktor kunci terbentuknya Koalisi Besar.
Jika RI-1 dapat menjadi panglima Koalisi Besar, apakah itu menunjukkan ia telah melampaui kehebatan politik Megawati?
Murid Sudah Lampaui Gurunya?
Sekiranya sudah menjadi rahasia umum bahwa Megawati merupakan “guru politik” Presiden Jokowi. Seperti pengakuannya, Megawati lah yang membawanya dari Solo ke Jakarta, hingga berhasil menjadi RI-1 saat ini.
“Tahun 2005-2010 lancar alhamdulillah. Tahun 2010 baru 2,5 tahun diambil Bu Mega ke Jakarta. Di Jakarta juga sama, baru jadi gubernur kurang dari 3 tahun diangkat lagi jadi presiden,” ungkap Presiden Jokowi pada 9 April 2019.
Tidak sebatas kata-kata, cara Presiden Jokowi mengelola pemerintah juga terlihat mengadopsi pengalaman Megawati sebagai Presiden ke-5 RI. Salah satunya adalah cara dalam mengelola hubungan dengan TNI.
Evan A. Laksmana dalam tulisannya Civil-Military Relations under Jokowi: Between Military Corporate Interests and Presidential Handholding, menunjukkan bahwa cara Presiden Jokowi mengelola hubungan dengan TNI sama dengan Megawati.
Perhatikan diagram di bawah:
Sumber: Artikel Civil-Military Relations under Jokowi
Dalam temuan Evan, kepemimpinan Presiden Jokowi dan Megawati sama-sama mengandalkan dukungan purnawirawan jenderal senior untuk merajut hubungan dengan TNI, secara umum tidak ikut campur dalam pengelolaan militer, dan memberikan konsesi besar ke TNI dengan meningkatkan otonomi dan pengaruhnya dalam proses pengambilan keputusan nasional.
Namun, sebagaimana yang telah dilihat banyak kalangan, Presiden Jokowi tampaknya tidak nyaman dengan dikte dari guru politiknya, Megawati.
Mengacu pada principal-agent relationship, Ahmad Alhamid dan Aditya Permana dalam tulisan Presidentialized Party di Indonesia: Kasus Perilaku PDI-P dalam Pencalonan Joko Widodo pada Pilpres 2014, menyebutkan, meskipun Megawati merupakan prinsipal tunggal di PDIP, Presiden Jokowi merupakan agen yang tidak bisa dikendalikan secara penuh oleh Megawati.
Terdapat berbagai variabel untuk menjustifikasi simpulan tersebut. Pertama, kita tentu ingat drama penunjukan Tito Karnavian sebagai Kapolri pada Juni 2016 lalu. Penunjukan itu panas dan dramatis karena saat itu Megawati disebut mendukung Budi Gunawan (BG) sebagai Kapolri.
Kemudian, akhir-akhir ini terlihat pertarungan belakang layar soal dukungan terhadap Ganjar Pranowo untuk maju di Pilpres 2024. Berbeda dengan Megawati yang disebut kurang menyukai Ganjar, Presiden Jokowi justru dibaca oleh banyak pihak ingin mendukung Gubernur Jawa Tengah (Jateng) tersebut.
Jika benar terdapat ketidaknyamanan Presiden Jokowi dengan guru politiknya, Megawati, keberhasilannya dalam menjadi panglima Koalisi Besar akan menjadi penentu permainan.
Coba bayangkan ini, Presiden Jokowi akan menjadi panglima koalisi terbesar setelah Reformasi. Dengan kekuatan politik sebesar itu, Presiden Jokowi sekiranya dapat melepas statusnya sebagai agen dari prinsipal bernama Megawati.
Tidak hanya melebihi prestasi gurunya karena terpilih sebagai presiden secara langsung sebanyak dua kali, Presiden Jokowi juga akan mencatat sejarah sebagai Presiden RI pertama yang memberikan political endorsement kepada presiden selanjutnya.
Kendati fenomena itu umum di Amerika Serikat (AS), di Indonesia, political endorsement presiden yang masih menjabat adalah barang baru.
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebenarnya dapat melakukannya pada Pilpres 2014 lalu. Namun kondisi internal Partai Demokrat tampaknya membuat SBY memilih menarik diri kala itu.
Well, jika semuanya terwujud, rasanya tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa Presiden Jokowi telah melampaui kehebatan politik Megawati, sang guru politiknya.
Atau mungkin, Presiden Jokowi sebenarnya sudah melampaui gurunya itu. (R53)