Belakangan ini banyak yang khawatir sekaligus bertanya-tanya tentang manuver politik Jokowi. Mengapa sekarang Jokowi tampak semakin berani bermanuver?
Sudah mutlak bahwa jagat berita politik kita beberapa minggu terakhir ini sedang panas-panasnya membahas dinamika politik menuju Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024). Tentunya, satu tokoh yang sangat disoroti belakangan ini tidak hanya para tiga calon presiden (capres), tapi juga Presiden kita, Joko Widodo (Jokowi).
Dan belakangan, dugaan serta sinisme terkait gerakan politik Jokowi di Pilpres 2024 telah menjalar ke isu terbaru, yakni munculnya reshuffle kabinet ke-10 Jokowi.
Yup, pada 25 Oktober 2023 ini, Jokowi menunjuk Andi Amran Sulaiman sebagai Menteri Pertanian yang baru, untuk menggantikan Syahrul Yasin Limpo (SYL). Letjen Agus Subiyanto, Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad) juga dipilih menjadi KSAD yang baru, menggantikan Dudung Abdurrachman.
Menariknya, sentimen publik yang muncul seputar kabar reshuffle ini pada hari sebelumnya terlihat cukup negatif, khususnya dari post Instagram @pinterpolitik, karena muncul juga desas-desus bahwa Jokowi bakal menggeser sejumlah menteri dari Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP).
Walaupun akhirnya hal itu tidak terjadi, sebetulnya cukup wajar bila sentimen-sentimen semacam ini muncul, karena beberapa waktu sebelumnya, anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, secara mengejutkan terpilih menjadi calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto. Hal ini seakan jadi preseden yang berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang mengabulkan permohonan untuk merendahkan batas usia capres-cawapres bila kandidatnya pernah menjadi kepala daerah.
Tidak sedikit kemudian yang mempertanyakan, mengapa hal-hal semacam ini bisa terjadi? Dan yang lebih penting lagi, kalau memang diasumsikan dinamika politik belakangan ini juga melibatkan Jokowi, mengapa hal-hal yang “berani” semacam ini bisa terjadi?
Jokowi Sekarang Sudah Kuat?
Mendekati akhir masa jabatan Presiden Jokowi, muncul anggapan bahwa mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut akan memiliki pengaruh politik yang semakin melemah. Sebagai contoh, pada Januari lalu, pengamat politik Rocky Gerung menyebut Jokowi akan menjadi “sitting duck,” yang nasibnya akan berada dalam bahaya semakin mendekati akhir masa pemerintahannya.
Namun, jika kita melihat situasinya sekarang, tampaknya teori “sitting duck” yang diungkapkan Rocky tidak berlaku pada Jokowi. Buktinya, belakangan ini manuver-manuver politik yang kerap ditarik-tarik kepada kepentingan Jokowi semakin banyak.
Ada dua situasi yang mungkin bisa menjelaskan asumsi mengapa Jokowi belakangan terlihat semakin kuat dan berani.
Pertama, backingan politik. Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang berpihak pada Prabowo telah menjadi kubu terkuat dalam Pilpres 2024. Koalisi Prabowo sekarang memiliki 43% kursi di DPR, jauh lebih kuat dibandingkan dengan poros Ganjar Pranowo (27%) dan poros Anies Baswedan (30%).
Jika kemudian pencawapresan Gibran dapat dianggap sebagai dukungan dari Jokowi, maka Jokowi sebenarnya memiliki dukungan legislatif yang sangat kuat. Ini berarti jika ada upaya untuk menjatuhkan Jokowi dari kubu legislatif, poros Prabowo kemungkinan besar bisa menjadi penopang bagi Jokowi.
Kedua, kebergantungan politik. Banyak yang mengaitkan sikap politik agresif Jokowi dengan ketidakharmonisan hubungannya dengan Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri. Jika dugaan ini benar, maka Jokowi sekarang sebetulnya memiliki daya tarik dan daya tawar yang kuat begitu kuat. Ini karena Jokowi bisa menjadi sekutu yang sangat powerful oleh pihak-pihak yang memusuhi Megawati dan PDIP.
Dengan jabatannya sebagai presiden, keberpihakan Jokowi mungkin menjadi aset politik yang paling berharga saat ini. Situasi ini pun kemudian dapat digunakan untuk menciptakan kebergantungan politik bagi mereka yang ingin bersekutu dengan Jokowi demi mengalahkan Megawati dan PDIP. Dalam konteks asumsi ini, tidak mengherankan jika Jokowi merasa aman untuk melakukan manuver politik.
Namun, pertanyaan selanjutnya adalah, apakah Jokowi benar-benar layak untuk merasa di atas angin?
Jangan Sampai Jadi Ilusi?
Filsuf Italia, Niccolo Machiavelli, pernah mengatakan bahwa seseorang tidak akan pernah benar-benar memuaskan atasannya, tetapi kita selalu bisa puaskan orang di bawah kita. Ia juga mengatakan, seorang penguasa yang bijaksana akan berusaha untuk menjaga seluruh bawahannya bergantung padanya, dan kemudian dia akan memiliki jaminan untuk bisa mempercayai mereka.
Apa yang dikatakan Machiavelli di atas mungkin bisa kita kaitkan dengan asumsi tentang mengapa Jokowi bisa begitu berani dan tampak “all-in” untuk menggerakkan bidak-bidak catur politiknya. Akan tetapi, perlu kita ingat bahwa politik adalah dunia yang selalu dinamis. Sesuatu yang tertera dalam suatu teori bisa saja berubah jika kondisi di sekitarnya mendukung. Apalagi, seorang yang berkuasa rentan terkecoh oleh ilusi kekuatannya sendiri.
Terkait itu, psikolog Amerika Serikat (AS), Robert J. Sternberg, menggambarkan dengan tepat fenomena ini. Menurut Sternberg, individu yang memiliki kecerdasan terkadang dapat membuat tindakan yang kurang tepat karena mereka terperangkap dalam beberapa kesalahan berikut.
Pertama, terdapat optimisme yang tidak realistis, di mana mereka percaya bahwa kecerdasan mereka yang tinggi membuat mereka mampu melakukan apapun tanpa adanya risiko atau konsekuensi yang perlu dikhawatirkan.
Kedua, ada juga kesalahpahaman dalam bentuk keyakinan bahwa mereka tahu segalanya (omniscience), sehingga mereka tidak lagi berusaha mencari informasi yang belum mereka ketahui.
Ketiga, ada juga kesalahan dalam bentuk kekebalan (invulnerability), di mana mereka meyakini bahwa mereka akan terhindar dari segala konsekuensi yang mungkin timbul akibat tindakan mereka, tanpa memedulikan apakah tindakan tersebut pantas atau bertanggung jawab.
Semua kesalahan ini dapat menyebabkan individu yang cerdas tampil dengan perilaku yang terlalu berani.
Mengacu pada statusnya sebagai presiden, sosok yang begitu berpengaruh di Indonesia, serta besarnya kepercayaan diri atas kekuatan politiknya, sangat mungkin apabila Jokowi terjebak dalam kesalahpahaman yang diungkapkan Sternberg.
Jika demikian yang terjadi, Jokowi tampaknya perlu merenungkan nasihat Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly. Menurut Dobelli, seseorang kerap membayangkan dirinya sebagai Kaisar Romawi yang memiliki kontrol penuh dan kekuasaan yang begitu besar.
Padahal faktanya, tidak hanya dunia nyata itu penuh dengan elemen kejutan, Dobelli menyebut manusia juga kerap terkecoh oleh asumsi-asumsinya.
Mengambil satu di antaranya, bisa jadi sebetulnya ada fenomena illusion of control atau ilusi kontrol yang saat ini sedang terjadi. Ini adalah bias yang terjadi ketika seseorang meyakini dirinya memiliki kendali atas situasi yang berada di luar jangkauan pengaruhnya. Kalau benar demikian, maka sepertinya Jokowi pun perlu berhati-hati dan lebih waspada karena bisa jadi backingan politik besar yang mungkin ada sekarang tidak akan selalu menjamin keselamatannya, utamanya, setelah ia lengser nanti.
Pada akhirnya, ini semua hanyalah asumsi belaka dan perenungan semata. Bagaimanapun juga, semakin kita dekat dengan Pemilu 2024, sepertinya pergerakkan bidak-bidak politik yang dimainkan pun akan semakin menarik untuk kita simak. (D74)