Profesor Kishore Mahbubani menyebut Presiden Jokowi sebagai pemimpin jenius dalam tulisan terbarunya. Berbagai kebijakan mantan Wali Kota Solo tersebut mendapat pujian. Mahbubani bahkan menilai pemerintahan Jokowi layak ditiru oleh berbagai negara. Apakah Presiden Jokowi adalah politisi jenius?
“Jokowi is providing a model of good governance from which the rest of the world can learn,” – Profesor Kishore Mahbubani, dalam The Genius of Jokowi
Pukul 11 malam, suasana menjadi sedikit hangat di kedai kopi Pak Harto. Dua pelanggan setianya, Andi dan Said terlibat perdebatan. Pagi harinya, Andi membaca tulisan Profesor Kishore Mahbubani di Project Syndicate yang berjudul The Genius of Jokowi. Andi memaparkan berbagai pujian Prof. Mahbubani kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), mulai dari panggilan jenius, hingga menyebut pemerintahan dijalankan secara efektif.
Yang paling menarik, pemerintahan Jokowi dibandingkan dengan Amerika Serikat (AS). Ya, dengan AS, negara adidaya yang begitu powerful dan disegani. Berbeda dengan pemerintahan Joe Biden yang belum mendapat pengakuan dominan di Partai Republik, pemerintahan Jokowi justru berhasil menggandeng saingannya, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno masuk ke dalam pemerintahan.
Bayangkan saja, sebanyak 78 persen Republikan belum mengakui legitimasi kemenangan Biden. Sementara Jokowi, saat ini berhasil membangun koalisi terbesar sejak Reformasi. “Benar-benar politisi hebat Pak Jokowi itu,” ungkap Andi.
Andi juga mengutip pernyataan Mahbubani yang meminta berbagai negara meniru pemerintahan Jokowi yang berjalan efektif. Dan yang terpenting, berbagai kebijakan utama, seperti infrastruktur dan Omnibus Law turut mendapat apresiasi dari dosen praktik kebijakan publik Lee Kuan Yew School of Public Policy di National University of Singapore ini.
Baca Juga: Kenapa Jokowi Bisa Jadi Presiden?
Ya, seperti yang mudah ditebak, Said tidak setuju dengan pemaparan Andi. “Jangan-jangan Prof. itu dibayar,” kata Said.
“Dia kan orang luar, mana mungkin dia tahu seluk beluk negara kita. Dia incer kursi BUMN kayaknya itu,” lanjut Said sinis.
Jawaban-jawaban seperti Said, banyak kita temukan pada komentar unggahan infografis PinterPolitik di Instagram. Banyak warganet tidak senang dengan analisis Mahbubani. Yang patut disayangkan, ketidaksukaan yang ada kebanyakan berasal dari sentimen atau perasaan tidak senang semata atas pemerintahan Jokowi.
Oleh karenanya, dalam tulisan ini, penulis akan mencoba membedah tulisan The Genius of Jokowi dari Mahbubani dengan berimbang dan menggunakan variabel-variabel yang relevan.
Penulis juga akan memberi kesimpulan apakah Presiden Jokowi dapat disebut sebagai politisi jenius atau tidak berdasarkan poin-poin yang dikemukakan Mahbubani.
Pujian-pujian Mahbubani
Dalam artikel The Genius of Jokowi, setidaknya ada enam poin pujian yang dikemukakan Mahbubani. Pertama, capaian-capaian statistik. Sebelum Jokowi menjabat pada 2014, koefisien gini ketimpangan kekayaan Indonesia terus meningkat, dari 28,6 pada 2000 menjadi 40 pada 2013. Koefisien kemudian menurun menjadi 38,2, yang mana ini merupakan penurunan signifikan pertama dalam 15 tahun.
Di bawah pemerintahan Jokowi, juga terjadi peningkatan peringkat Indonesia dalam indeks Doing Business Bank Dunia – dari peringkat 120 pada 2014 menjadi peringkat 73 pada 2020. Menurut Mahbubani, Indonesia seharusnya menikmati ledakan ekonomi jika pandemi Covid-19 tidak menghantam dengan keras.
Kendati demikian, pemerintahan Jokowi bergerak cepat. Meskipun pada awalnya terdapat berbagai sinisme atas kemampuan vaksinasi, Indonesia justru mampu mengamankan 175 juta dosis vaksin. Jumlah vaksinasi Indonesia bahkan menempati peringkat keenam dunia.
Kedua, Mahbubani memuji keberanian Jokowi untuk membangun infrastruktur. Mulai dari pembangunan jalan raya di seluruh Indonesia, rencana pembangunan berbagai jalur kereta api – seperti jalur Banda Aceh hingga Lampung sepanjang 2.000 km, hingga geliat pembangunan jalan tol yang bahkan mencapai lebih dari 700 km di Pulau Jawa.
Ketiga, Jokowi dinilai terampil dalam membangun koalisi. Atas capaian ini, pemerintahan Jokowi berhasil mengesahkan Omnibus Law untuk mendorong laju bisnis dan investasi.
Baca Juga: Mudah Membaca Logika Kekuasaan Jokowi
Keempat, mantan Wali Kota Solo ini dinilai mampu menyatukan kembali negara secara politik. Seperti yang diketahui, sejak Pilgub DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019, polarisasi politik di Indonesia begitu kuat dan mengental. Namun secara mengejutkan, Jokowi berhasil merangkul lawannya di Pilpres 2019, yakni Prabowo dan Sandiaga. Jokowi juga dinilai berhasil membangun partai-partai Islam menjadi lebih inklusif.
Sebagai pembanding, Mahbubani menyinggung Presiden Brasil Jair Bolsonaro yang justru memperdalam perpecahan di negeri Samba. Lebih jauh, Jokowi juga disandingkan dengan kondisi politik Amerika Serikat saat ini.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, berbeda dengan pemerintahan Biden yang belum mendapatkan legitimasi dari 78 persen Republikan, hampir semua parpol di Indonesia justru menunjukkan diri ingin berada di lingkar Istana.
Saat ini hanya tersisa Partai Demokrat dan PKS di barisan oposisi. Namun, di berbagai gestur, Demokrat pernah menunjukkan sikap mendua karena beberapa kali berusaha mendekat. Keputusan berada di barisan oposisi mungkin karena kegagalan manuver pendekatan.
Kelima, kepemimpinan Jokowi patut diapresiasi karena Indonesia merupakan salah satu negara yang paling sulit diperintah di dunia. Negara ini begitu terpecah, memiliki lebih dari 17 ribu pulau dan keragaman etnis yang sulit ditandingi.
Keenam, Jokowi disebut bijak secara geopolitik. Alih-alih memilih antara AS dan Tiongkok, mantan Wali Kota Solo ini justru mamainkan politik perimbangan yang baik. Dalam jawabannya kepada Mahbubani, Jokowi menyebut telah mendorong negeri Paman Sam untuk berinvestasi lebih banyak di Indonesia karena investasi negeri Panda telah jauh lebih besar dalam beberapa tahun terakhir ini.
Melepas Sentimen yang Ada
Dari keenam poin tersebut, ada empat poin yang menurut hemat penulis tidak perlu diperdebatkan lebih lanjut, yakni poin pertama, kedua, ketiga, dan keenam. Poin pertama dan kedua merupakan fakta objektif atau capaian statistik yang tidak terbantahkan. Suka atau tidak, memang Presiden Jokowi mampu mewujudkan angka-angka tersebut.
Lalu poin ketiga, faktanya, koalisi Jokowi saat ini memang yang terbesar sejak Reformasi. Ben Bland yang menulis buku Man of Contradictions: Joko Widodo and the struggle to remake Indonesia, dalam tulisan terbarunya Has Joko Widodo’s Power Peaked in Indonesia? di Foreign Policy juga menyebut saat ini sebagai puncak kekuatan politik Jokowi.
Menariknya, ketika terpilih sebagai RI-1 pada 2014, Bland sempat duduk berdiskusi dengan Jokowi untuk membahas rumor pemakzulan dirinya dari parpol oposisi yang saat itu dominan di Parlemen. Namun sekarang, mantan Wali Kota Solo ini justru mampu mengumpulkan dan mengonsolidasi parpol oposisi di sekitarnya.
Sementara poin keenam, sebelum Mahbubani, telah banyak akademisi yang membahas kemampuan Jokowi dalam menyeimbangkan pengaruh AS dan Tiongkok. Natasha Hamilton-Hart dan Dave McRae dalam tulisannya Indonesia: Balancing the United States and China, Aiming for Independence, misalnya, dengan jelas menjabarkan persoalan ini.
Tidak seperti Said yang menolak analisis Mahbubani secara mentah, kita perlu objektif dalam mengapresiasi capaian yang ada.
Kritik untuk Mahbubani
Dalam hemat penulis, perdebatan perlu kita lakukan pada poin keempat dan kelima. Dalam poin keempat, Mahbubani tampaknya kurang jeli dalam melakukan analisis. Pasalnya, bukan Jokowi yang bermanuver menggandeng Prabowo, melainkan itu adalah buah dari pergerakan kelompok Teuku Umar (Megawati Cs), khususnya Budi Gunawan (BG).
Selain itu, pada periode pertama, terdapat peran besar Luhut Binsar Pandjaitan yang menjadi “bemper” Jokowi dari berbagai tekanan politik dan kelompok kepentingan. Ini misalnya disebutkan Kanupriya Kapoor dalam tulisannya Indonesian President Treads Fine Line by Empowering Chief of Staff.
Dan yang terpenting, Jokowi tidak berhadapan dengan politisi yang berwatak seperti Donald Trump. Ketegangan di AS saat ini terjadi karena Trump dan pendukungnya tidak ingin mengakui kemenangan Biden karena dinilai curang. Meskipun di awal menyebut ada kecurangan, Prabowo dengan lapang dada justru bergabung dengan koalisi untuk meredam polarisasi politik.
Baca Juga: Jokowi Dukung Anies-Puan di 2024?
Kemudian poin kelima, pujian Mahbubani terhadap Jokowi tampaknya kurang objektif. Pasalnya, pada 15 September 2008, dalam tulisannya Indonesia’s Democratic Miracle di Project Syndicate, Mahbubani menyebut Indonesia sebagai mercusuar kebebasan dan demokrasi bagi dunia Muslim.
Mahbubani juga membandingkan Indonesia dengan AS. Tidak seperti negeri Paman Sam yang memiliki paranoia terhadap Muslim setelah serangan 9/11, islamofobia tidak berkembang pesat di Indonesia meskipun terjadi beberapa serangan terorisme besar, seperti bom Bali. Dalam tulisannya Mahbubani juga memberikan pujian terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Artinya apa? Jangan-jangan ini bukan soal siapa yang memimpin Indonesia, melainkan masyarakat Indonesia memang memiliki budaya kerukunan yang baik. Penegasan ini misalnya diungkapkan Profesor Geografi University of California, Los Angeles (UCLA) Jared Diamond dalam bukunya Upheaval: Bagaimana Negara Mengatasi Krisis dan Perubahan.
Meskipun secara geografis Indonesia merupakan negara paling terpecah di dunia, secara menakjubkan Indonesia justru berbentuk negara kesatuan. Kemudian, pada persoalan bahasa nasional, dengan bahasa Jawa digunakan oleh sepertiga populasi, bahasa Indonesia justru dipilih sebagai bahasa nasional untuk menghindari persepsi dominasi Jawa.
Di awal kemerdekaan, secara juga mencatat, meskipun Islam adalah agama mayoritas, sila pertama dalam Pancasila rela diubah dan negara Islam tidak dipilih sebagai bentuk negara.
Jared tentu mencatat terdapat kerusuhan agama di Indonesia, namun eskalasinya jauh di bawah yang terjadi di negara-negara Asia Selatan dan Timur Tengah. Persoalan ini telah penulis bahas dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Intoleransi Mana Yang Dimaksud Jokowi?.
Well, sebagai penutup, jika poin Mahbubani menyebut Jokowi sebagai sosok jenius adalah kemampuannya dalam mengonsolidasi lawan-lawan politik, kesimpulan ini mungkin perlu diuji lagi. Jika melihat secara makro, tentu Jokowi patut diapresiasi atas kehebatan manuver politiknya merangkul Prabowo-Sandi dan berhasil membangun koalisi yang besar.
Namun jika melihat secara mikro, terdapat aktor-aktor lain yang lebih tepat mendapat pujian atas manuver politik tersebut. Dan yang terpenting, koalisi besar saat ini adalah indikasi kuat bagaimana Jokowi piawai memainkan politik akomodatif. (R53)