Pemerintah Indonesia menggelar gala dinner dalam rangkaian acara KTT ASEAN ke-43. Namun, bukan kali ini saja pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) mengadakan gala dinner dalam acara internasional.
“My honored guests, be welcome within my walls and at my table. I extend to you my hospitality and protection in the light of the Seven” – Lord Walder, Game of Thrones (2011-2019)
Tamu adalah raja. Ungkapan ini mungkin sering diucapkan oleh sebagian besar masyarakatnya. Tujuannya mungkin sederhana, yakni agar sang tuan rumah menghormati dan memberikan keramahan yang terbaik bagi sang tamu.
Mungkin, ini pula yang tergambarkan dalam episode “Red Wedding” dalam serial televisi Game of Thrones (2011-2019) – atau juga dikenal dengan sebutan GoT. Dalam episode tersebut, rombongan keluarga bangsawan Stark disambut oleh keluarga bangsawan Walder.
Setidaknya, pada awalnya, kedua keluarga itu memiliki kepentingan yang sejalan, yakni untuk saling memperkuat keluarga mereka dengan menikahkan putra-putri mereka. Namun, alur mulai berubah karena kepentingan lain masuk – ini bisa ditonton sendiri.
Terlepas dari alur cerita yang ada dalam GoT, tamu memang kerap disambut dengan keramahan yang maksimal. Ini juga yang akhirnya dilakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat menerima tamu delegasi dan pemimpin negara-negara lain dalam rangka kegiatan KTT ke-43 ASEAN.
Bisa dibilang, tidak seperti Lord Walder, Jokowi malah memberikan sambutan yang begitu optimal terhadap kedatangan tamu-tamu negara lainnya. Bagaimana tidak? Acara makan malam bersama digelar begitu megah dalam acara gala dinner yang diadakan di hutan kota Gelora Bung Karno (GBK) pada Rabu malam, 6 September 2023.
Tidak hanya hidangan yang lezat, Presiden Jokowi menyambut tamu-tamunya dengan pertunjukan musik dan seni yang ditemani dengan panggung dan latar belakang video mapping yang mengandalkan barisan gedung di kawasan Sudirman Central Business District (SCBD).
Bahkan, demi mewujudkan kesuksesan acara, sejumlah warga SCBD – alias para “budak” korporat – harus bekerja di tengah gelap gulita karena lampu eksterior dan interior dari gedung-gedung itu harus dipadamkan selama acara berlangsung.
Nah, menariknya, pertunjukan megah ini bukanlah hanya dipertontonkan ke para tamu, melainkan juga menarik perhatian publik – khususnya para warga media sosial (medsos) seperti Twitter dan Instagram.
Konteks ini menjadi menarik. Pasalnya, perhatian publik seperti ini juga bisa menjadi poin tambahan bagi pemerintahan Jokowi – sebelum masa akhir jabatannya. Mengapa pemerintahan Jokowi merasa perlu menggelar acara sedemikian megah di KTT ke-43 ASEAN?
“Kata Siapa ASEAN Nggak Solid?”
Dalam diplomasi, pertunjukan dan acara santap bersama seperti ini sebenarnya merupakan hal yang biasa. Diplomasi dan keramahtamahan (hospitality) seakan-akan menjadi dua hal yang harus berdampingan.
Padahal, kalau diperhatikan, politik antarnegara kerap berkaitan erat dengan persaingan dan permusuhan (hostility) – seperti perang, sengketa wilayah, persaingan dagang, perebutan budaya, kompetisi olahraga, dan perebutan pengaruh. Lantas, mengapa malah negara-negara ini bertemu dalam suasana ramah tamah?
Setidaknya, pertanyaan inilah yang dijelaskan oleh Ruth Craggs dalam tulisannya yang berjudul Hospitality in Geopolitics and the Making of Commonwealth International Relations – yakni soal bagaimana keramahtamahan juga merefleksikan geopolitik. Salah satu tujuan keramahtamahan dalam diplomasi yang disebutkan oleh Craggs adalah bagaimana analogi-analogi teatrikal dalam keramahtamahan sebenarnya juga merefleksikan dinamika kekuatan antarnegara.
Selain itu, keramahtamahan secara teatrikal menunjukkan bahwa ketidakharmonisan sudah tidak eksis kembali. Ini memungkinkan kesempatan-kesempatan diplomatis lain lebih terbuka – misal untuk bernegosiasi kembali atau menciptakan perdamaian yang lebih panjang.
Salah satu contohnya adalah keramahtamahan yang terjadi antara Perdana Menteri (PM) Ghana Kwame Nkrumah dan Britania (Inggris) Raya. Meski sempat memiliki hubungan diplomatis yang panas, Nkrumah dan Ratu Elizabeth II tetap saling menunjukkan keramahtamahan – bahkan berdansa bersama di Accra, Ghana, pada tahun 1961.
Tidak hanya itu, Nkrumah juga diterima dengan baik di Royal Commonwealth Society (RCS) pada 4 Juli 1957 – tiga bulan setelah Ghana merdeka. Kunjungan itu disebut berjalan dengan baik.
Bukan tidak mungkin, keramahtamahan yang ditunjukkan Jokowi sebenarnya juga memiliki pengaruh geopolitik secara teatrikal. Dalam salah satu penampilan seni di acara gala dinner, terdapat pertunjukan tarian dari berbagai negara anggota ASEAN – mulai dari Brunei Darussalam, Thailand, Timor-Leste, hingga Indonesia sendiri.
Bukan tidak mungkin, narasi dan penampilan yang disajikan memiliki makna teatrikal bahwa ASEAN merupakan organisasi kawasan yang solid. Boleh jadi, ini juga yang ingin ditunjukkan ke negara-negara besar yang turut hadir, seperti Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Rusia, Kanada, dan Amerika Serikat (AS).
Namun, benarkah hanya itu makna yang ingin disampaikan Jokowi? Mungkinkah ada makna lain yang ingin ditunjukkan oleh pemerintahan Jokowi?
Pentingnya Event bagi Jokowi?
Sebenarnya, bila diperhatikan kembali, penghelatan event internasional dengan pertunjukan yang megah bukan hanya kali ini saja dilakukan oleh pemerintahan Jokowi. Dalam berbagai acara sebelumnya, seperti KTT G20 2022 dan Asian Games 2018, pertunjukan megah juga jadi tontonan publik – baik domestik maupun internasional.
Boleh jadi, penghelatan pertunjukan-pertunjukan besar seperti ini menjadi pola umum dari pemerintahan Jokowi. Ini juga menjadi upaya yang sejalan dengan budaya politik di Indonesia.
Seperti yang dijelaskan oleh Benedict R. O’G Anderson dalam bukunya yang berjudul Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia, budaya politik Jawa memiliki pola politik yang unik, yakni kerap disertai dengan upaya pemusatan kekuatan pada diri – dalam hal ini raja atau kraton.
Ini juga pernah dijelaskan dalam tulisan yang berjudul Meraba Kesaktian “Pusaka Jawa” Jokowi di PinterPolitik.com. Dalam artikel tersebut, dijelaskan bahwa diperlukan sejumlah “ritual” yang dilakukan guna memusatkan kekuatan pada diri – misal dengan melakukan tindakan atau kegiatan tertentu – guna menyatukan kekuatan-kekuatan “pusaka” yang dikumpulkan, seperti masuknya Prabowo Subianto ke pemerintahannya.
Boleh jadi, cara yang mirip ini dilakukan oleh Nkrumah dalam keramahtamahannya di RCS. Selain bisa mengembalikan keharmonisan Inggris dan Ghana, Nkrumah juga mendapatkan legitimasi dari “ritual” ini, yakni memperoleh legitimasi sebagai pemimpin negara baru di Afrika yang setara dengan mantan penjajahnya.
Bukan tidak mungkin, Jokowi pun melakukan hal serupa dengan pertunjukan-pertunjukan megah yang digelar di berbagai acara internasional ini. Dalam KTT G20 2022, misalnya, perhatian dunia tersorot ke KTT G20 karena Rusia dan Ukraina bisa hadir dalam satu wadah.
Mungkin, tidak hanya Lord Walder, Jokowi pun bisa mendapatkan kesempatan untuk memperbesar kekuatannya dengan menyambut tamunya menggunakan keramahtamahan yang megah. Well, mari kita nantikan kemegahan apa lagi yang akan dipertunjukkan oleh pemerintahan Jokowi. (A43)