Meskipun sering kali menunjukkan perhatian khusus terhadap pengangguran, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampaknya “setengah hati” dalam upayanya untuk mengurangi angka pengangguran. Ini misalnya dapat dilihat dari program Kartu Prakerja yang lebih terlihat sebagai Bantuan Langsung Tunai (BLT) daripada pelatihan kerja.
PinterPolitik.com
“Jokowi is a man of the real-world politics,” – Yanuar Nugroho
Hans J. Morgenthau dalam bukunya Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace memberikan penjelasan menarik soal bagaimana kita menilai kualitas politisi atau pejabat.
Menurut Morgenthau, adalah sebuah kesia-siaan dan menyesatkan apabila kita menilai politisi dari motif kebijakannya. Yang harus dinilai adalah langkah atau upaya yang sudah dilakukan dalam mewujudkan kebijakan tersebut.
Morgenthau mencontohkan dua mantan Perdana Menteri (PM) Britania (Inggris) Raya, yakni Neville Chamberlain dan Winston Churchill. Sejauh yang diketahui, Chamberlain dengan jelas memiliki motif yang baik dengan bersikap lunak terhadap Adolf Hitler untuk menghindari letusan Perang Dunia II.
Akan tetapi, seperti dicatat sejarah, langkah lunak Chamberlain justru mempermudah Hitler melakukan invasi. Sementara, meskipun motifnya mungkin tidak sebaik Chamberlain, ketegasan Churchill dengan jelas merupakan langkah penting dalam menekan ambisi invasi Jerman Nazi.
Penjelasan Morgenthau ini memberikan arahan jelas dalam menyikapi jawaban-jawaban moral, seperti “pemerintah tidak mungkin tidak memikirkan rakyatnya”, ataupun “pemerintah pasti menginginkan kesejahteraan seluruh masyarakat”.
Ya, mungkin saja pernyataan itu benar-benar dilandasi oleh motif-motif baik. Namun, motif baik tersebut baru akan mendapatkan justifikasi apabila kebijakan yang ditelurkan benar-benar berkorelasi dengan pernyataan yang ada.
Singkatnya, ini bukan apa yang dinyatakan oleh politisi, melainkan bagaimana kebijakannya menggambarkan kata-katanya.
Penekanan yang disebutkan Morgenthau membuat kita dapat menarik satu kesimpulan penting. Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampaknya “setengah hati” dalam upayanya untuk mengurangi tingkat pengangguran.
Pada persoalan link-and-match, misalnya, seperti yang telah diulas dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Jokowi Hanya Basa-Basi Soal Link-and-Match?, belum terlihat adanya political will dari Presiden Jokowi untuk mewujudkan link-and-match.
Padahal, RI-1 berulang kali menegaskan perhatiannya terhadap tenaga kerja dan bonus demografi.
“Ke depan yang namanya pemuda ini sangat penting sekali bagi negara kita karena bonus demografi yang kita dapatkan. Jangan sampai menjadi beban, tapi mestinya menjadi modal kita untuk melompat maju,” ungkap Presiden Jokowi pada 22 Februari 2023.
Prakerja: Kebijakan Setengah Hati
Selain link-and-match, terdapat sejumlah langkah dan kebijakan pemerintahan Jokowi untuk mengurangi angka pengangguran yang terlihat dijalankan secara setengah hati.
Yang utama, tentu saja adalah program Kartu Prakerja. Program ini sepertinya mencoba mengadopsi konsep apprenticeships yang dijalankan di berbagai negara di Eropa.
Apprenticeships adalah sistem untuk melatih, memberi pengalaman kerja, atau memberikan pengetahuan kerja kepada siswa/i atau mahasiswa/i – kita biasa menyebutnya dengan magang.
Alih-alih disebut sebagai program pelatihan kerja, program Kartu Prakerja lebih terlihat seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT). Ini sekiranya menjawab survei Cyrus Network pada 1-5 Maret 2021 yang menunjukkan 96,1 persen responden mengaku puas dan sangat puas dengan program Prakerja.
Pertanyaannya, siapa yang tidak senang diberikan insentif?
Berbeda dengan konsep apprenticeships yang mengirim siswa/i atau mahasiswa/i magang di industri, program Prakerja hanya berbentuk pelatihan dalam jaringan (daring). Bahkan, kita dapat menemukan sejumlah kritik penerima program yang menyebut pelatihan yang tersedia dapat dilihat di YouTube.
Tentu, ini jauh berbeda dengan konsep apprenticeships yang misalnya diterapkan di Jerman.
Barbara Schulz dalam tulisannya What’s Behind Germany’s Apprenticeship Success?, menyebut kunci kesuksesan apprenticeships di Jerman adalah karena siswa/i dibiasakan untuk belajar sambil bekerja.
Industri-industri lokal di tiap daerah juga sangat dimanfaatkan untuk menyerap peserta magang.
Christopher F. Schuetze dalam tulisannya This Country Has the Real Apprentice menyebut perbedaan yang paling mendasar dari sistem apprenticeships di Jerman adalah sistemnya berskala nasional, terintegrasi, dan sangat terstandardisasi.
Di titik ini, sekiranya ada yang akan memberikan komentar sinis, khususnya mengungkit jumlah penduduk Indonesia dengan Jerman yang berbanding jauh, yakni 273,8 juta banding 83,2 juta jiwa.
Poin kritik itu tentu variabel menentukan, tapi penekanannya bukan di sana. Apa yang dapat digarisbawahi adalah, pemerintahan Jokowi tidak menciptakan sistem apprenticeships nasional yang terintegrasi dengan baik.
SKB Tiga Menteri Jilid 2
Untuk mewujudkan sistem apprenticeships nasional terintegrasi, pemerintahan Jokowi misalnya dapat membentuk “SKB Tiga Menteri Jilid 2” yang terdiri dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek), Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker), dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
SKB Tiga Menteri “Jilid 1” terdiri dari Kemdikbudristek, Kementerian Agama (Kemenag), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Menurut Mendikbudristek Nadiem Makarim, terdapat tiga alasan di balik penyusunan SKB Tiga Menteri.
Pertama, sekolah memiliki peran penting dan tanggung jawab dalam menjaga eksistensi ideologi dan konsensus dasar bernegara.
Kedua, sekolah berfungsi untuk membangun wawasan, sikap, dan karakter peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan untuk memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, serta membina dan memperkuat kerukunan antar umat beragama.
Ketiga, pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah di lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah merupakan salah satu bentuk perwujudan moderasi beragama dan toleransi atas keragaman agama.
Merujuk pada penjabaran Nadiem, fondasi lahirnya SKB Tiga Menteri adalah pendidikan ideologi sejak bangku sekolah.
Lahirnya “SKB Tiga Menteri Jilid 2” memiliki urgensi yang selaras dengan itu, yakni implementasi Pancasila, khususnya Sila Kelima yang berbunyi “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Berkurangnya angka pengangguran akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dengan kolaborasi Kemdikbudristek, Kemnaker, dan Kemenperin, diharapkan akan terbit aturan yang memayungi sistem apprenticeships nasional terintegrasi.
Seperti yang telah dijelaskan dalam artikel Jokowi Hanya Basa-Basi Soal Link-and-Match?, “SKB Tiga Menteri Jilid 2” dapat mengeluarkan aturan hukum untuk memaksa industri membuka program magang dan memberikan pelatihan kerja yang memadai.
Kemudian, untuk mengumpulkan data kebutuhan tenaga kerja, pemerintah dapat bekerja sama dengan berbagai aplikasi pencari kerja seperti JobStreet, JobsDB, LinkedIn, Glints, TopKarir, dan Kalibrr.
Data yang didapatkan dari aplikasi pencari kerja menjadi catatan sekaligus evaluasi untuk menentukan pelatihan kerja yang benar-benar relevan dan dibutuhkan. Dengan demikian, kita tidak lagi menemukan kritik seperti di program Kartu Prakerja bahwa pelatihannya bersifat umum dan dapat ditemukan di YouTube.
Lantas, kenapa saran dan skema tersebut tidak terlihat dijalankan?
Jokowi Terjebak Spoils System?
Ada dua hipotesis yang dapat dikeluarkan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, tentu saja ini lagi-lagi soal political will dari Presiden Jokowi.
James Guild dalam tulisannya Jokowinomics Gambles with Indonesia’s Democratisation menyebutkan bahwa Presiden Jokowi memiliki ambisi untuk memompa anggaran ke proyek infrastruktur karena percaya itu dapat mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen.
Menurut Guild, di periode kedua ini proyek infrastruktur akan ditingkatkan intensitasnya.
Dengan sebentar lagi purna tugas dan kebutuhan untuk meletakkan warisan politik, kita dapat memahami kesimpulan Guild. Daripada berjibaku pada infrastruktur lunak (soft infrastructure) yang memakan waktu lama untuk terlihat hasilnya, lebih mudah fokus pada pembangunan fisik seperti jalan tol, bandara, atau waduk yang dapat langsung dilihat oleh mata.
Konteks ini juga menjadi perhatian ekonom Faisal Basri. “Indonesia hampir tiga perempat pertumbuhannya disumbang oleh modal fisik, yaitu infrastruktur. Itu fisik yang kelihatan,” ungkap Faisal pada 5 Januari 2023.
Faisal bertolak dari data yang dirilis Asian Productivity Organization (APO) pada 2022 yang menunjukkan Total Factor Productivity (TFP) Indonesia minus, yakni -19 persen secara rata-rata pada 2000-2020.
“Kita lihat sumbangan otak minus di pertumbuhan ekonomi Indonesia,” ungkapnya.
Kedua, Presiden Jokowi tampaknya terjebak pada spoils system alias bagi-bagi kursi menteri ke partai politik (parpol) koalisi.
Djayadi Hanan dalam bukunya Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia, menyebutkan loyalitas parpol koalisi terjadi selama kepentingan mereka diakomodasi oleh presiden.
Secara tersirat, Hanan menyebutkan bahwa kuasa presiden sebenarnya kalah dari parpol koalisi. Penjelasan ini menjawab sangkaan umum selama ini bahwa menteri sebenarnya adalah tangan kanan parpol, bukannya presiden.
Menaker Ida Fauziyah merupakan kader PKB. Sementara, Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita merupakan kader Partai Golkar. Meskipun Mendikbudristek Nadiem Makarim berasal dari profesional, hubungan dekatnya dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri tidak dapat diabaikan.
Kedekatan itu bahkan pernah ditunjukkan Nadiem ketika posisinya terancam beberapa waktu yang lalu. Ketika santer isu reshuffle pada April 2021, Nadiem berkunjung ke Megawati dan mengunggah foto kunjungan itu di media sosialnya.
Setelah kunjungan itu, entah bagaimana isu reshuffle meredup sendiri. Menariknya, sejak guncangan itu Nadiem tidak lagi aktif bersuara seperti sebelumnya.
Well, singkatnya, mungkin dapat dikatakan terdapat ego sektoral di berbagai parpol yang membuat para menteri sulit berkolaborasi untuk menelurkan kebijakan terbaik.
Namun, sekali lagi, catatan khusus tentunya tetap diberikan kepada Presiden Jokowi. Sebagai RI-1, sudah seharusnya ia menjadi panglima kabinet.