Sebelum pandemi Covid-19 menerjang, Presiden Jokowi jamak dilihat tengah mengalami penurunan kekuasaan karena terlalu banyak mengakomodir kepentingan politik di periode keduanya. Namun saat ini, mantan Wali Kota Solo tersebut justru terlihat begitu percaya diri dan memiliki kekuasaan yang besar. Mungkinkah Presiden Jokowi memanfaatkan pandemi untuk terhindar menjadi lame duck president?
Kegembiraan. Mungkin itu lah kata yang tepat menggambarkan keadaan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin setelah akhirnya ditetapkan sebagai pemenang dalam Pilpres 2019. Bagaimana tidak? Pilpres edisi tersebut benar-benar menguras psikis karena dalamnya polarisasi politik.
Namun, seminggu sebelum pelantikan Jokowi-Ma’ruf, pada 14 Oktober 2019 Indonesia Corruption Watch (ICW) justru memberikan prediksi yang tidak mengenakkan. Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Donal Fariz menyebutkan Presiden Jokowi dapat mengalami second-term curse atau kutukan periode kedua.
Menurut Donal, kutukan tersebut juga yang menimpa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di periode keduanya. Saat itu, SBY disibukkan dengan proses hukum dan politik yang belum selesai di periode pertamanya. Konteks itu dinilai akan menimpa Presiden Jokowi.
Bagaikan nubuat , prediksi Donal seolah menemui afirmasinya. Gejolak demi gejolak terus menghantam pemerintahan Jokowi. Mulai dari demonstrasi penolakan revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kasus Harun Masiku, pandemi Covid-19, demonstrasi UU Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker), hingga yang terbaru kembalinya Habib Rizieq Shihab (HRS).
Pada 31 Desember 2019 lalu, pakar hukum tata negara (HTN) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar juga mengutarakan prediksi yang sama dengan Donal. Prediksi tersebut kemudian kembali diutarakannya dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) pada 20 Oktober 2020 lalu.
Melihat pada berbagai gejolak politik dan hukum yang kini tengah dihadapi Presiden Jokowi, boleh jadi prediksi tersebut benar-benar telah terjadi. Namun, apabila kita mengacu pada tanda-tanda utama kutukan periode kedua, yakni presiden kehilangan sebagian besar pengaruhnya – disebut lame duck president – tanda tersebut tampaknya belum terjadi.
Justru sebaliknya, saat ini kita melihat Presiden Jokowi sedang melakukan show of force yang begitu besar. Lantas, mungkinkah mantan Wali Kota Solo tersebut telah memanfaatkan situasi pandemi Covid-19 untuk memperbesar pengaruhnya?
Kebangkitan Pemerintah Besar
Di tengah situasi pandemi Covid-19, terdapat pola menarik yang terjadi di pemerintahan di berbagai penjuru dunia. Dengan dalih untuk menangani pandemi, berbagai pemerintahan memutuskan untuk berlaku lebih keras atau memperbesar pengaruhnya.
Yuval Noah Harari dalam tulisannya The World After Coronavirus pada 20 Maret lalu telah memberikan postulat yang dapat menggambarkan situasi politik tanah air saat ini. Menurutnya, pandemi Covid-19 adalah kesempatan emas bagi berbagai pemerintahan untuk menjadi otoriter, atau setidaknya menerapkan kebijakan otoriter.
Tulisan tersebut tampaknya bertolak dari kritik Harari sebelumnya kepada Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu. Menurutnya, Netanyahu telah menggunakan pandemi Covid-19 sebagai alasan untuk “membunuh” demokrasi di Israel.
Kritik itu mengacu dari manuver politik Netanyahu yang meskipun kalah dalam pemilihan justru memanfaatkan momen Covid-19 untuk menutup parlemen Israel, memerintahkan masyarakat untuk tetap di rumah, dan menetapkan keadaan darurat.
Tidak tanggung-tanggung, Harari menyebut Netanyahu sebagai seorang diktator karena menetapkan keadaan darurat padahal ia tidak memeroleh mandat dari masyarakat karena kalah dalam pemilihan.
Pada 31 Maret, Shaun Walker dalam tulisannya Authoritarian Leaders May Use Covid-19 Crisis to Tighten Their Grip memberikan faktor kunci mengapa prediksi Harari dapat menjadi kenyataan. Dengan mengutip ilmuwan politik asal Bulgaria Ivan Krastev, Walker menyebut pandemi telah membuat masyarakat di berbagai belahan dunia memiliki toleransi atau penerimaan atas pemerintah yang berlaku otoriter dalam upayanya memerangi Covid-19.
Faktor yang disebutkan Walker, serta peluang yang dilihat pemerintah seperti yang dikemukakan Harari, telah menjadi perpaduan solid yang membuat kehadiran big government atau pemerintah besar menjadi sulit terhindarkan.
Profesor sejarah di University of Washington, Margaret O’Mara juga menuturkan, dengan pandemi yang telah membuat pemerintah jauh lebih terlihat oleh masyarakat daripada biasanya, adalah indikasi atas dibutuhkannya kehadiran big government untuk mengatasi krisis.
Jauh sebelum pandemi, tepatnya pada tahun 1991, Samuel P. Huntington dalam bukunya The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century telah mengemukakan akan ada berbagai bentuk otoritarianisme yang muncul di masa depan akibat kebutuhan pada zamannya.
Kendati tidak mengungkit masalah pandemi atau wabah penyakit, situasi pandemi saat ini boleh jadi merupakan salah satu konteks kebutuhan zaman seperti yang disebutkan Huntington.
Hukum Represif
Mengacu pada berbagai analisis tersebut, besar kemungkinan Presiden Jokowi termasuk dalam salah satu pemimpin yang mendapatkan momentum memperbesar pengaruh di bawah situasi pandemi. Tanpa melebih-lebihkan, gelagat yang ditunjukkan sang presiden sebelum pandemi memang terlihat cukup mengkhawatirkan.
Misalnya pada kasus pemilihan wakil presiden dan revisi UU KPK, terlihat jelas Presiden Jokowi tersandera oleh kepentingan partai politik. Terkhusus revisi UU KPK, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh bahkan memberi peringatan bahwa mantan Wali Kota Solo tersebut dapat dimakzulkan apabila menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Namun kini, Presiden Jokowi justru memperlihatkan kekuasan politik yang begitu luar biasa. Mulusnya pengesahan UU Ciptaker, misalnya, dinilai sebagai bentuk keberhasilan eksekutif dalam menundukkan Parlemen. Tidak tanggung-tanggung, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia ( Formappi) Lucius Karus menyebut DPR telah menjadi macan ompong.
Selain itu, dengan tetap ditekennya UU tersebut oleh Presiden Jokowi, jelas menunjukkan derasnya gelombang penolakan tidak begitu dihiraukan. Jika benar demikian, mengacu pada Mahfud MD dalam bukunya Politik Hukum di Indonesia, maka UU Ciptaker dapat dikategorikan sebagai hukum ortodoks. Ciri khas hukum ini adalah dominannya peranan lembaga-lembaga negara (pemerintah dan parlemen) dalam menentukan arah perkembangan hukum.
Mengkaji lebih dalam, UU tersebut juga dapat dikategorikan sebagai hukum represif. Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam bukunya Hukum Responsif menyebutkan dalam hukum respresif, posisi hukum adalah subordinat terhadap politik. Konteks tersebut persis seperti yang ditulis Mahfud dalam bukunya, bahwa pembentukan hukum di Indonesia sering kali merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik.
Menurut Nonet dan Selznick, hukum represif adalah ciri khas pemerintahan otoriter. Di sana tujuan hukum semata-mata untuk menegakkan ketertiban. Ini berbeda dengan tujuan hukum otonom yang menginginkan legitimasi, ataupun hukum responsif yang menginginkan kompetensi.
Konteks penggunaan hukum represif juga terlihat jelas dari penegakan hukum yang timpang sebelah. Saat ini kasus kerumunan HRS jamak disorot dan diselidiki. Padahal, di berbagai daerah juga terjadi kerumunan yang sama. Terkhusus penyelenggaraan Pilkada 2020, selama 50 hari penyelenggaraan kampanye, Badan Pengawas Pemilu ( Bawaslu) bahkan telah menemukan 1.448 kegiatan kampanye yang melanggar protokol kesehatan.
Lalu ada pula show of force Komando Operasi Khusus (Koopssus) TNI di Petamburan. Menurut pakar HTN Refly Harun, pengerahan Koopssus TNI tidak dapat digerakkan tanpa perintah presiden. Pertanyaanya, jika benar pengerahan atas perintah presiden, bukankah itu telah menggadai risiko politik, menimbang pada masifnya sentimen minor terhadap dwifungsi ABRI?
Jika benar Presiden Jokowi telah mendapatkan momentum di tengah pandemi, besar kemungkinan Ia tengah melakukan buyback saham politik saat ini. Seperti yang diketahui, di periode keduanya, Presiden Jokowi telah membentuk koalisi yang begitu besar, bahkan disebut sebagai koalisi terbesar sejak reformasi.
Namun, koalisi besar tersebut memiliki efek samping, yakni banyaknya kepentingan politik yang harus diakomodir. Ini dapat dimetaforakan sebagai bagi-bagi saham politik. Maksudnya, untuk mengikat berbagai pihak berkepentingan tersebut, mereka diberikan saham alias kursi jabatan. Sebagai imbasnya, Presiden Jokowi tidak memiliki saham yang besar karena terlalu banyak yang harus dibagi.
Nah, melihat berbagai manuver politik saat ini, seperti cepatnya pencopotan Kapolda, seolah hilangnya suara Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), hingga terusiknya berbagai partai politik besar – tampaknya dapat disebut bahwa Presiden Jokowi telah menunjukkan kekuatan politik yang begitu luar biasa.
Ini sekaligus membantah prediksi Donal dan Zainal bahwa Presiden Jokowi akan mengalami kutukan karena sang presiden belum menunjukkan tanda-tanda menjadi lame duck president. Artinya, saham-saham politik yang telah diberikannya kemungkinan besar telah di-buyback saat ini.
Pada akhirnya, kita dapat menyimpulkan saat ini Presiden Jokowi masih menunjukkan pengaruh politik yang besar. Terkait kebijakannya yang dinilai otoriter ataupun menerapkan hukum represif, itu kembali pada cara kita menginterpretasikannya. Tulisan ini hanyalah salah satu dari sekian interpretasi yang mungkin. (R53)