Site icon PinterPolitik.com

Jokowi Rugi Jika Risma Jadi Mensos?

Jokowi Rugi Jika Risma Jadi Mensos?

Presiden Jokowi bersama dengan Ketum PDIP, Megawati Soekarnoputri dan Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini (Foto: Tempo)

Setelah Juliari Batubara terkena kasus rasuah bansos Covid-19, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini jamak diproyeksikan menjadi Menteri Sosial berikutnya. Berbagai parpol juga telah memberikan tanggapan terkait wacana tersebut. Namun, mungkinkah Risma justru akan memberikan dampak buruk bagi Presiden Jokowi?


PinterPolitik.com

Sangat memprihatinkan, di tengah kondisi pandemi Covid-19, eks Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara justru mengorupsi bantuan sosial (bansos) Covid-19. Getirnya, jika dalam investigasi awal Juliari disebut mengambil dana kutipan sebesar Rp 10 ribu per paket.

Namun, dalam keterangan terbaru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dana sunatan yang dilakukan disebut bisa mencapai Rp 100 ribu. Artinya, nominal bansos yang diterima masyarakat hanya sebesar Rp 200 ribu.    

Di luar kecaman atas kasus korupsi tersebut, saat ini publik dan politisi disibukkan dengan bertanya siapa pengganti Juliari. Menimbang pos Mensos adalah jatah PDIP, kader partai banteng adalah yang paling mungkin.

Satu nama mencuat, yakni Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini. Sekiranya sudah menjadi rahasia umum apabila Risma memiliki kedekatan emosional dengan Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri. Apalagi, Risma bahkan mengakui sendiri bahwa dirinya ditawari berbagai posisi, termasuk posisi menteri oleh Megawati. Namun, tawaran itu ditolaknya dengan alasan fokus memimpin Kota Pahlawan.

Nah, dengan masa bakti Risma yang sebentar lagi berakhir di Surabaya, tawaran posisi dari sang ketum tentunya sulit ditolak kini. Jika Risma diproyeksikan maju di gelaran pemilu selanjutnya, menempatkannya sebagai menteri tentu merupakan strategi mumpuni untuk menyerap popularitas dan elektabilitas.

Baca Juga: Risma Melawan Dominasi Mega?

Pelaksana Tugas (Plt) Ketua DPD PSI Surabaya, Yusuf Lakaseng juga telah menyebutkan bahwa Risma mendapatkan tawaran posisi Mensos dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menggantikan Juliari.

Namun, melihat pada track record Risma sebagai politisi, mungkinkah keputusan menjadikannya Mensos justru buruk bagi Presiden Jokowi?

Risma dan Pencitraan Politik

Saat ini kita akrab dengan istilah pencitraan politik (political image), khususnya jika ingin maju di gelaran pemilu. Ali Sahab dalam tulisannya Realitas Citra Politik Tri Rismaharini menyebutkan Risma adalah sosok yang pandai dalam menerapkan pencitraan politik. Sahab bahkan membandingkan politisi PDIP ini dengan Presiden ke-40 Amerika Serikat (AS) Ronald Reagan yang dikenal sebagai great communicator.

Menurutnya, Risma telah berhasil membentuk citra bahwa dirinya adalah Wali Kota yang mampu mempercantik Surabaya dengan membuat taman-taman kota, dan merupakan sosok pemimpin yang sering terjun langsung ke bawah untuk mengontrol kondisi di lapangan.

Menurut Sahab, terdapat dua elemen dasar dalam pencitraan politik. Pertama adalah positioning, yakni bagaimana menempatkan diri di depan publik. Kedua adalah memory, yakni usaha menyeleksi informasi yang nantinya melekat di ingatan publik.

Positioning misalnya dilakukan Risma ketika berkonflik dengan DPRD Surabaya. Menurut Sahab, Risma selalu menempatkan dirinya sebagai pihak teraniaya oleh anggota dewan dalam setiap wawancaranya dengan media.

Sementara memory dilakukan Risma dengan cara menampilkan dirinya sebagai pemimpin yang terjun langsung ke lapangan, seperti mengatur lalu lintas dan ikut membersihkan taman dan saluran air.

Menurut Sahab, popularitas Risma telah tumbuh sejak massa pencalonannya sebagai Wali Kota Surabaya di periode pertama karena memiliki kedekatan dengan media massa. Dalam kesimpulannya, Risma disebut hanya melakukan kebijakan populis, kebijakan yang hanya menggugah perasaan (emosi) masyarakat, dan cenderung menyembunyikan realitas yang ada.

Kendati pandai dalam memainkan pencitraan politik, Ulla Fionna dalam tulisannya Investigating the Popularity of Surabaya’s Mayor Tri Rismaharini menyebutkan popularitas itu memang sesuai dengan kebijakan-kebijakan Risma yang terbukti berhasil. Pada 2006, misalnya, keberhasilan Risma dalam mengelola lingkungan membuat Surabaya mendapatkan ASEAN Environmentally Sustainable City (ESC) Award.

Dalam publikasi iknowpolitics, Risma bahkan disebut sebagai pemimpin kota yang paling banyak dibicarakan di Indonesia setelah Jokowi terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Sampai saat ini, berbagai partai politik (parpol) juga telah memberikan tanggapan terkait isu Risma sebagai pengganti Juliari. Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera, misalnya, melihat positif isu tersebut karena menilai Risma sebagai sosok yang bisa bekerja.

Baca Juga: Di Balik “Carok” Risma-Khofifah

Pun begitu dengan Ketua DPP NasDem Charles Meikyasah. Menurutnya Risma adalah sosok yang tepat ditunjuk menjadi Mensos. Risma sendiri hanya berkomentar politis terhadap isu tersebut. Tegasnya, Ia masih menunggu perintah Megawati.

Lantas, dengan track record kinerja dan pencitraan yang baik, serta sudah mulai terlihatnya dukungan dari parpol lain, akankah Risma menjadi pilihan mumpuni bagi Presiden Jokowi?

Lahirkan Matahari Kembar?

Terkait isu tersebut, pengamat politik Universitas Trunojoyo Madura, Surokim Abdussalam memberikan komentar menarik. Menurutnya, Risma termasuk tipikal pemimpin yang disukai oleh Presiden Jokowi. Model kepemimpinan Risma yang langsung terjun ke masyarakat dinilai sangat cocok dengan fungsi dan tugas sebagai Mensos.

Namun demikian, kendati Risma dapat menjadi sosok yang ideal untuk menempati kursi kosong yang ditinggalkan oleh Juliari, terdapat impresi negatif tersendiri yang sekiranya dapat muncul jika isu ini menjadi kenyataan.

Seperti yang dibahas sebelumnya, Risma adalah sosok yang begitu pandai dalam memainkan pencitraan politik. Apalagi, dengan derasnya sorotan publik dan media terhadap Kementerian Sosial (Kemensos) saat ini, itu dapat menjadi batu loncatan luar biasanya bagi Risma untuk mendulang popularitas.

Jika demikian yang terjadi, maka boleh jadi akan tercipta “matahari kembar” nantinya. Konteksnya bukan pada persoalan adanya dua kekuasaan utama dalam pemerintahan, melainkan pada adanya dua pejabat yang popularitasnya saling beradu, yakni Presiden Jokowi dan Risma.

Terkait hal ini, konteks yang terjadi pada kasus Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto tampaknya menarik untuk direfleksikan. Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (MenKP) Edhy Prabowo, menariknya mengundang berbagai interpretasi mengejutkan.

Salah satunya datang dari pengamat politik Rocky Gerung. Menurutnya, ada kemungkinan penangkapan Edhy adalah “politik gertak” bagi Gerindra karena berbagai corong politik justru dominan tertuju kepada Prabowo dan bukannya Istana.

Sejak menjabat sebagai Menhan, memang harus diakui Prabowo menjadi salah satu magnet pemberitaan utama politik. Dalam berbagai survei, dirinya bahkan menjadi menteri dengan kinerja yang dinilai paling memuaskan oleh publik. Menariknya, entah hanya kebetulan atau tidak, selepas Edhy ditangkap KPK, Prabowo seolah “hilang” dari panggung pemberitaan.

Baca Juga: Edhy Ditangkap, Ada yang Bermain?

Nah, jika interpretasi Rocky benar bahwa terdapat semacam “kekhawatiran” karena corong politik dominan ke Prabowo, mungkinkah hal serupa juga nantinya terjadi pada Risma jika menjadi Mensos?

Pasalnya, dengan kedetakannya dengan Megawati, mudah untuk menyimpulkan bahwa Risma pasti mendapatkan bekingan yang kuat dari PDIP. Apalagi, jika benar dirinya diproyeksikan di Pilgub DKI Jakarta 2022, Pilgub Jawa Timur 2023, atau Pilpres 2024, membangun pencitraan politik Risma sedari dini tentunya harus dilakukan oleh partai banteng.

Lantas, jika nantinya Risma begitu bersinar setelah menjadi Mensos, mungkinkah itu akan mengganggu popularitas Presiden Jokowi yang seharusnya menjadi pusat perhatian?

Interpretasi ini adalah worst case atau kasus terburuk yang mungkin. Artinya, ini bukanlah skenario yang paling mungkin. Lagipula, jika benar Presiden Jokowi yang menawari langsung Risma, persoalan semacam ini tentunya bukan menjadi masalah.

Pada akhirnya, ini adalah satu dari sekelumit interpretasi di tengah diskursus politik nasional. Kita nantikan saja bagaimana kelanjutan karier Risma ke depannya. (R53)

Exit mobile version