Site icon PinterPolitik.com

Jokowi, Rizieq, dan Politisasi Covid-19?

Jokowi, Rizieq, dan Politisasi Covid-19

Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab (Foto: Istimewa)

Sejak kepulangannya ke Indonesia, Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS) terus mendapat sorotan minor terutama yang berkaitan dengan penanganan pandemi Covid-19. Bahkan kabar bahwa yang bersangkutan kini terbaring di rumah sakit pun tak lepas dari spekulasi mengenai virus tersebut. Adakah manuver tertentu di balik narasi-narasi ini?


PinterPolitik.com

Setelah beberapa saat tak bersua, Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS) kini kembali menjadi pusat perhatian. Bukan karena rangkaian kegiatannya yang kerap menimbulkan kerumunan massa, kali ini HRS dikabarkan tengah terbaring lemah di rumah sakit. 

FPI sendiri menyebut bahwa pimpinan mereka masuk rumah sakit karena kelelahan. Informasi tersebut dibenarkan oleh Andi Tatat, Direktur Utama RS Ummi Bogor, tempat HRS dirawat. 

Kendati begitu, kabar sakitnya HRS tersebut tetap menimbulkan spekulasi liar. Banyak yang mengait-ngaitkan sakitnya Sang Habib ini dengan penyakit Covid-19. 

Sejak kepulangannya yang fenomenal awal November lalu, HRS memang mendapat sorotan tajam lantaran kerap menimbulkan kerumunan massa yang dinilai kontraproduktif terhadap penanganan pandemi. Bahkan kasus kerumunan yang terjadi di sejumlah wilayah di Jakarta dan Jawa Barat ini masih menjadi berita utama di media-media massa. 

Setelah melakukan pemeriksaan termasuk terhadap sejumlah Kepala Daerah, seperti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, pihak kepolisian kini menaikkan kasus ini ke tahap penyidikan. Polisi bahkan tak menutup kemungkinan akan memanggil HRS terkait dugaan pelanggaran protokol kesehatan ini.

Kendati begitu, informasi apakah kerumunan tersebut memang menimbulkan klaster baru Covid-19 sebenarnya masih menjadi perdebatan. Pasalnya, para pemangku kebijakan terkait memberikan keterangan berbeda-beda terkait hal ini.

Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 sempat menyebut bahwa ada sekitar 80 orang yang dinyatakan positif berdasarkan hasil tracing yang dilakukan terhadap kerumunan HRS di Petamburan dan Tebet. Polda Metro Jaya bahkan mengatakan bahwa kerumunan HRS beberapa waktu lalu setidaknya menimbulkan empat klaster baru Covid-19. 

Di sisi lain, Pemerintah Kota Jakarta Selatan menyebut bahwa kemunculan klaster Covid-19 di daerah tersebut bukan berasal dari kerumunan HRS. Kepala Puskesmas setempat, Myrna K mengatakan sebagian besar orang yang dinyatakan positif itu tertular dari klaster keluarga, perkantoran, dan angkutan umum. 

Keterangan Myrna tersebut diperkuat oleh Epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono. Ia membantah bahwa kerumunan HRS tersebut menimbulkan klaster baru Covid-19. Sebaliknya, Ia menyebut bahwa kenaikan kasus di kedua wilayah tersebut lebih disebabkan oleh libur panjang pada akhir Oktober lalu. 

Ia justru curiga bahwa narasi kemunculan klaster Covid-19 akibat kerumunan di Petamburan dan Tebet merupakan gerakan untuk menjatuhkan pihak tertentu. 

Lantas pertanyaannya, apakah tudingan Pandu tersebut memang benar adanya?

Politisasi Pandemi?

Tak dapat dipungkiri, kerumunan massa simpatisan HRS beberapa waktu lalu tetaplah membahayakan bagi penanganan pandemi. Banyaknya massa yang berkerumun di satu titik memang membuat penegakan protokol kesehatan sulit untuk dilakukan. 

Namun begitu, perbedaan sikap pemerintah dalam merespons pelanggaran terhadap protokol tersebut tetap menimbulkan spekulasi lain. Langkah aparat yang keras terhadap kerumunan HRS, namun terkesan acuh tak acuh dalam menindak kasus serupa yang disebabkan oleh kampanye Pilkada 2020 di sejumlah daerah membuat kecurigaan Pandu seolah mendapat afirmasinya. 

James Lamond dalam tulisannya yang berjudul Authoritarian Regimes Seek To Take Advantage of the Coronavirus Pandemic mengatakan bahwa Pandemi Covid-19 memang bisa dimanfaatkan pemerintah otoriter untuk memperkuat pengaruh mereka di dalam negeri. Dengan kata lain, momentum tersebut bisa digunakan untuk melancarkan agenda-agenda politik mereka. 

Secara umum, ada tiga cara bagaimana negara-negara otoriter memanfaatkan krisis ini untuk tujuan politis, yakni dengan mengkonsolidasikan kekuasaan di dalam negeri, mencari keuntungan geopolitik di tengah krisis, dan mencoba melemahkan demokrasi dari dalam.

Teori yang diungkapkan Lamond tersebut agaknya tengah terjadi di Uganda. Sejumlah pihak menilai pemerintah dan otoritas setempat memanfaatkan penegakan hukum di tengah pandemi untuk menekan pengaruh oposisi. 

Nancy Agutu dalam tulisannya yang berjudul Ugandan Authorities Weaponizing Covid-19 for Repression mengatakan bahwa penangkapan terhadap Robert Kyagulanyi yang dituduh melanggar protokol kesehatan untuk kepentingan kampanye politik sebenarnya memiliki motif politis. Sebab, Robert merupakan calon presiden yang digadang-gadang akan bertarung di pemilihan presiden yang akan digelar pada Januari 2021 mendatang. 

Dugaan ini semakin mendapatkan afirmasinya lantaran aparat keamanan setempat tidak melakukan tindakan yang sama ketika partai yang tengah berkuasa juga menimbulkan kerumunan serupa. 

Apa yang terjadi di Uganda tersebut bisa dibilang sangat mirip dengan yang tengah terjadi di Indonesia. Pemerintah bisa saja menggunakan cara yang sama dengan pemerintah Uganda untuk melakukan represi terhadap HRS dan kekuatan politiknya yang memang dianggap sebagai simbol kebangkitan kekuatan oposisi di Indonesia. 

Spekulasi ini seolah menjadi masuk akal jika kita mengingat kecenderungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dinilai kerap menggunakan instrumen penegakan hukum untuk melakukan tindakan represif terhadap lawan-lawan politiknya. 

Tom Power dalam tulisannya yang berjudul Jokowi’s Authoritarian Turn mengatakan bahwa politisasi lembaga hukum dan penegakan hukum bukanlah fenomena baru di Indonesia. Bahkan menurutnya upaya pemerintah dalam memanfaatkan perangkat hukum demi kepentingan politik justru semakin lumrah dan sistematis di bawah kepemimpinan Jokowi.

Berangkat dari sini, maka bisa saja peningkatan status terhadap kasus kerumunan HRS ke tahap penyidikan merupakan cara pemerintah untuk merepresi kekuatan oposisi. Dengan kata lain, pemerintah sedang menggunakan penegakan hukum dan penanganan pandemi untuk menjustifikasi tindakannya tersebut. 

Lantas jika memang asumsi tersebut benar adanya, kira-kira apa konsekuensi yang bisa ditimbulkan akibat langkah tersebut?

Dapat Restu Masyarakat?

James Lamond mengatakan bahwa tindakan represif pemerintah otoriter yang memanfaatkan momentum pandemi untuk tujuan politis tak mungkin terjadi jika tak mendapat dukungan dari masyarakat. Dengan kata lain, secara tak sadar, publik sebenarnya ‘merestui’ tindakan represif yang dilakukan negara terhadap pihak-pihak tertentu. 

Hal ini terjadi lantaran di tengah pandemi, toleransi masyarakat terhadap tindakan-tindakan represif negara cenderung meningkat. Ini dilatarbelakangi karena adanya ketakutan masyarakat akan wabah. Sehingga secara tak langsung masyarakat akan mencari pemimpin untuk membawa ketenangan dan ketertiban.

Di sejumlah negara, ketakutan akan pandemi tersebut bahkan dimanfaatkan pemerintah setempat untuk meningkatkan pengawasan terhadap warga negaranya sendiri. 

Lamond mencontohkan hal tersebut terjadi di Rusia di mana pemerintah setempat semakin menggencarkan pengawasannya dengan memanfaatkan teknologi, seperti melalui sistem pengenalan wajah (facial recognition) untuk menangkap warga yang melanggar aturan pembatasan sosial. 

Ia menyebut setidaknya ada 178.000 kamera yang dipasang di seluruh Kota Moskow. Selain itu, pemerintah Rusia juga disebut-sebut melakukan kontrol ketat terhadap media sosial untuk mencegah penyebaran informasi palsu tentang wabah Covid-19. 

Selain itu, politisasi terhadap penanganan wabah juga memiliki dampak buruk terhadap media dan pemberitaan. P. Sol Hart, Sedona Chinn, dan Stuart Soroka dalam riset mereka yang berjudul Politicization and Polarization in COVID-19 News Coverage mengatakan bahwa media massa merupakan sumber utama masyarakat dalam memperoleh informasi terkait krisis. 

Namun adanya politisasi dalam penanganan pandemi berpotensi membuat pemberitaan tersebut menjadi terfokus dalam kepentingan-kepentingan politik. Akibatnya, masyarakat cenderung akan membentuk opini yang sejalan dengan elite politik yang mereka percayai dan menolak informasi yang tidak sejalan dengan pandangan tersebut, meskipun informasi itu berasal dari para ahli. 

Indikasi itu sepertinya tengah terjadi saat ini, di mana informasi soal ada tidaknya klaster Covid-19 yang disebabkan kerumunan HRS menjadi tidak jelas. Bahkan para ahli di bidangnya pun tidak satu suara mengenai hal ini. 

Berangkat dari sini, maka asumsi yang mengatakan bahwa pemerintah memang tengah berusaha mempolitisasi penanganan pandemi untuk meredam pengaruh HRS bisa saja benar adanya. Tindakan ini tentu sangat berisiko terhadap penanganan pandemi itu sendiri karena berpotensi membuat informasi yang diterima masyarakat terkait Covid-19 menjadi bias dan justru terlalu fokus terhadap aspek-aspek politis yang menyertainya. 

Kendati begitu, harus digarisbawahi bahwa saat ini masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa kerumunan massa HRS menimbulkan klaster baru Covid-19 atau tidak. Epidemiolog Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman memprediksi setidaknya diperlukan waktu satu bulan untuk menyimpulkan hal tersebut. Rendahnya kapasitas tracing yang dimiliki pemerintah membuat identifikasi tersebut tak bisa dilakukan dengan cepat.

Di luar benar tidaknya, setidaknya bisa disepakati bahwa tindakan politisasi pandemi Covid-19 memiliki risiko yang cukup serius bagi penanganan pandemi itu sendiri. Pemerintah diharapkan untuk fokus mengerahkan segala sumber daya untuk benar-benar menekan penularan virus agar pagebluk ini dapat segera diakhiri. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)Baca Juga :Ketika Luhut Tolak Anies


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version