Besarnya jumlah pemilih millenial di Pilpres 2019, diantisipasi Jokowi tak hanya melalui citra pemimpin muda, tapi juga pendekatan ke tokoh-tokoh muda berpengaruh.
PinterPolitik.com
“Seseorang bisa sangat berpengaruh jika orang lain tidak menyadari pengaruhnya tersebut.” ~ Anonymous Share on X
[dropcap]L[/dropcap]awatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke luar negeri yang dimulai Minggu (9/9) lalu, mendapat banyak perhatian masyarakat di dalam maupun luar negeri. Salah satu yang paling meraih perhatian Netizen adalah saat berada di Korea Selatan, dalam rangka memperingati 45 tahun hubungan diplomatik kedua negara.
Selain mendapat sambutan luar biasa karena menjadi tamu kepresidenan pertama yang diterima di Istana Changdeok-Gung, Jokowi juga mendapatkan kejutan khusus dari Presiden Korsel Moon Jae-in, yaitu berkesempatan berjumpa dengan kelompok boyband kebanggaan Korsel, Super Junior.
Begitu juga saat Jokowi melanjutkan lawatannya ke Vietnam. Selain diundang sebagai salah satu pembicara di World Economic Forum (WEF) ASEAN, pada Rabu (12/9) lalu, Jokowi menyempatkan diri menghadiri peresmian ekspansi transportasi daring Go-Viet, milik CEO Go-Jek, Nadiem Makarim.
Kedekatan Jokowi dengan grup band Korsel yang di tanah air memiliki sekitar 10 juta penggemar, serta dukungan Jokowi pada keberhasilan pengusaha muda Indonesia yang mampu mengembangkan sayapnya di luar negeri, memberikan kesan dan apresiasi tersendiri di mata masyarakat, terutama para generasi muda.
Meski begitu, sepak terjang Jokowi saat lawatannya ke luar negeri tersebut, menurut Direktur Youth Study Center Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Najib Azca merupakan salah satu gimmick Jokowi dalam rangka menarik dukungan para millenial di Pemilihan Presiden tahun depan.
Menurut Najib, upaya ini cukup wajar dilakukan dan terbukti sukses meningkatkan rasa bangga generasi muda terhadap kepala negaranya. Bahkan, citra Jokowi sebagai presiden yang santai, kekinian dan dekat dengan generasi muda tersebut pun, kabarnya ikut menjalar hingga ke generasi muda di luar negeri, seperti di Malaysia dan Korsel.
Pemimpin di Mata Millenial
“Masa depan mempengaruhi hari ini sama banyaknya dengan masa lalu.” ~ Friedrich Nietzsche Share on X
Saat ini, Indonesia tengah memasuki tahap pertama dari bonus demografi, di mana jumlah pemilih usia muda produktif jauh lebih besar dibanding kelompok usia lainnya. Berdasarkan data Saiful Munjani Research and Consulting (SMRC), setidaknya ada 34,4 persen masyarakat berada dalam rentang “usia emas”, yaitu di usia 17 hingga 34 tahun.
Rentang usia anak-anak yang lahir setelah 1982 tersebut, kemudian mendapatkan istilah sebagai Generasi Millenial oleh William Strauss dan Neil Howe. Menariknya, keduanya menyatakan kalau anak-anak yang lahir di generasi tersebut, memiliki sikap dan pemikiran yang jauh berbeda dengan generasi sebelumnya.
Selain lahir di dunia di mana teknologi telah berkembang begitu pesat, generasi millenial ini pun memiliki karakteristik yang jauh berbeda dalam menilai figur seorang pemimpin. Fakta ini diakui sendiri oleh penulis senior Forbes, George Bradt yang mengatakan kalau generasi millenial cenderung menolak tipe kepemimpinan yang otokratik.
Berbeda dengan generasi baby boomers, generasi millenial sejak kecil telah memiliki kepercayaan diri yang sangat tinggi. Akibatnya, terang Bradt, generasi ini enggan begitu saja patuh mengerjakan apa yang diperintahkan, tanpa mengetahui tujuan maupun hasil akhir yang diharapkan dari tugasnya tersebut.
My conversation with Bapak Jokowi;
“Dalam perjalanan ke Stadium GBK semalam untuk hadir Perasmian Sukan Asia 2018, saya terlihat rider bersuit hitam. Hebat tunggangannya. Saya sangkakan Valentino Rossi, rupanya Presiden @jokowi ??”
Catch the replay online. Power ?? pic.twitter.com/pwgCrU5F0M
— Syed Saddiq (@SyedSaddiq) August 19, 2018
Penjelasan Bradt ini juga ditegaskan oleh Karl Moore yang juga dari Forbes. Menurutnya, para millenial lebih memilih pemimpin melalui kriteria yang diistilahkan dengan singkatan BRAVE, yaitu Behaviors (kebiasaan), Relationships (hubungan keakraban), Attitudes (sikap), Values (nilai-nilai), dan Environment (lingkungan).
Kriteria tersebut, lanjut Moore, dapat terlihat dari tindakan, tujuan, strategi, pesan yang ingin disampaikan, serta implementasi yang dilakukan oleh pemimpin tersebut. Sehingga dapat dikatakan kalau pemimpin yang dapat “menjangkau” kaum millenial, lebih banyak ditentukan dari bagaimana hasil dari tujuan yang ingin dicapainya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka sebenarnya generasi Millenial lebih memilih pemimpin yang bersifat Laissez Faire atau kepemimpinan dengan gaya yang bebas, namun efektif. Karena berorientasi pada hasil, maka pengerjaannya pun dapat dilakukan secara berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya.
Kinerja dari pemimpin jenis ini pun, menurut Leffton dan Buzzotta, akan semakin efektif apabila membiarkan bawahannya melakukan pekerjaan yang memang sesuai bidangnya, serta sesuai dengan keterampilan yang dimiliki. Dari penjelasan di atas, apakah mungkin gaya kepemimpinan Jokowi sudah termasuk pemimpin yang diharapkan para millenial?
Rebut Millenial Lewat Para Influencer
“Jangan pernah menyalahkan pengaruh dari kekuatan.” ~ Jim Rohn Share on X
Bila ditarik mundur ke belakang, salah satu faktor yang membuat Jokowi berhasil memenangi Pilpres 2014, tak lain adalah figurnya yang dicitrakan sebagai pemimpin muda yang dekat dengan rakyat. Bahkan ia dinobatkan sebagai presiden metalhead (penggemar musik metal) pertama di dunia, oleh vokalis Lamb Of God, Randy Blythe.
Oleh karena itulah, terpilihnya KH. Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi sempat membuat kecewa generasi muda pendukungnya. Meski begitu, kondisi ini sepertinya sangat disadari oleh Jokowi sendiri, sehingga ia pun berusaha kembali membentuk citra pemimpin mudanya dalam rangka menggaet suara kaum millenial tersebut.
Mengembalikan citra pemimpin yang dekat dengan generasi muda, juga dilihat oleh Najib yang menyatakan kalau upayanya itu terus diafiliasikan melalui sikap dan juga pernyataan yang dikeluarkannya. Salah satu yang berhasil adalah saat Jokowi menaiki motor di aksi opening ceremony Asian Games lalu, dekat dengan bos Alibaba Jack Ma, dan tentu saja pertemuan dengan Super Junior.
Meski begitu, seperti yang dikatakan oleh Bradt sebelumnya, akan sulit bagi Jokowi untuk selalu berusaha menjadi pemimpin ala millenial setiap waktu. Atas alasan itulah, akhirnya Jokowi pun mengajak para tokoh muda yang tak hanya dikenal oleh para millenial, tapi juga memiliki pengaruh yang besar di tanah air.
Selain Grace Natalie yang memimpin Partai Solidaritas Indonesia (PSI), partai anak muda melek politik, Jokowi juga berhasil menggaet pengusaha media Erick Thohir sebagai ketua tim kemenangan. Selain itu, ada juga nama Jusuf Hamka yang dikenal sebagai pemilik Warung Nasi Kuning khusus untuk kaum duafa dan fakir miskin.
Tak hanya itu, Jokowi bahkan ikut merangkul pengusaha muda yang tak hanya memiliki finansial keluarga sangat kuat, tapi juga berpengaruh (influence) pada perekonomian tanah air. Ini terlihat saat Jokowi mengundang 26 generasi kedua kelompok konglomerat ke istana, demi bersama-sama menjaga ketahanan ekonomi dari krisis rupiah.
Tak heran di acara WEF lalu, Jokowi ditemani pengusaha muda berpengaruh seperti John Riady (Lippo Group), Muhamad Chatib Basri (Ketua Mandiri Institute), Nadiem Makarim, dan Grace Natalie. Pada saat itu, Jokowi tengah menempatkan diri sebagai pemimpin yang memfasilitasi kesempatan bisnis bagi generasi muda.
Strategi Jokowi yang menjalin kerjasama dengan para tokoh muda berpengaruh tersebut, berdasarkan teori pengaruh (influence) sosial Hans Sebald, merupakan hal yang tepat. Sebab menurutnya, pengaruh dari teman sebaya (peer group) akan lebih terlihat dalam jangka panjang dibanding gimmick yang dilakukan secara terus menerus.
Apalagi dengan menggunakan strategi ini, Jokowi memiliki dua keuntungan sekaligus. Selain mampu menjalin kerjasama yang menguntungkan dengan para pengusaha muda, ia juga mampu memperlihatkan citranya sebagai pemimpin yang memahami keinginan millenial, sebab seperti kutipan di awal tulisan, orang yang sangat berpengaruh umumnya tidak menyadari akan besarnya pengaruh yang dimilikinya itu. (R24)