Layaknya tengah bermain tenis, Jokowi seperti tengah membuat sendiri kesalahan tak perlu melalui berbagai kebijakannya.
Pinterpolitik.com
[dropcap]N[/dropcap]ovak Djokovic mencetak sejarah. Setelah mengandaskan perlawanan Rafael Nadal, petenis asal Serbia itu berhasil membuat rekor menjadi juara turnamen tenis Grand Slam Australia Terbuka. Di pertandingan puncak tersebut, kemenangan Djokovic tergolong impresif di mana skor yang ia raih dibanding Nadal tergolong mencolok.
Secara spesifik, ada statistik menarik di balik keberhasilan Djokovic mengunci gelar Australia Terbuka. Di pertandingan tersebut, Djokovic hanya menciptakan sembilan unforced error atau kesalahan sendiri, berbanding dengan 28 milik Nadal.
Dalam olahraga tenis, unforced error tak jarang menjadi penentu hasil akhir dari suatu permainan. Pemain yang paling sedikit menciptakan unforced error, secara statistik cenderung akan menang sebagaimana digambarkan oleh Djokovic.
Meski lebih lazim dibicarakan untuk olahraga, istilah unforced error juga terkadang dijadikan metafora untuk menggambarkan fenomena dalam politik. Jika melihat dalam konteks Indonesia, metafora itu boleh jadi cocok untuk menggambarkan langkah-langkah yang dilakukan oleh kandidat petahana pada Pilpres 2019, Joko Widodo (Jokowi).
Bagi beberapa orang, istilah unforced error untuk Jokowi mungkin terlampau berlebihan. Akan tetapi, jika melihat respons publik terhadap kebijakan dan kampanyenya, bisa saja istilah itu benar adanya. Lalu, bagaimana nasib Jokowi dengan berbagai kesalahannya sendiri tersebut?
Kesalahan Sendiri
Secara statistik, pemain tenis memang tidak seharusnya melakukan kesalahan sendiri. Seorang pemain rata-rata kehilangan banyak poin karena unforced error alih-alih karena permainan lawannya. Oleh karena itu, mengurangi kesalahan sendiri dapat berujung pada perolehan poin yang lebih baik dari seorang pemain.
Lalu, siapa bilang istilah unforced error hanya berlaku di lapangan tenis saja? Di lapangan politik, istilah tersebut juga kerap digunakan untuk menggambarkan langkah politik dari politisi yang salah dengan sendirinya, meski tidak diprovokasi atau dipancing pihak lain.
Istilah tersebut digunakan misalnya oleh Rachel Bitecofer, seorang profesor dari Wason Center for Public Policy pada Christopher Newport University. Dalam bukunya yang berjudul The Unprecedented 2016 Presidential Election, ia menggambarkan bagaimana unforced error kerap menjadi salah satu kesalahan saat berkampanye.
Tidak untuk memprovokasi tapi ini keyakinan saya bahwa @AHMADDHANIPRAST akan menjadi martir bagi kemenangan penantang. Kerugian (suka atau tidak) akan diderita oleh petahana. Sejak kasus pembebasan ABB kemarin sampai hari ini adalah Blunder. Masih ada 80 hari lagi.
— #2019AwalPerubahan (@Fahrihamzah) January 28, 2019
Menurut Bitecofer, kesalahan sebenarnya lazim terjadi dan dapat terbagi rata pada kandidat-kandidat yang berlaga. Meski begitu, ia menambahkan bahwa kampanye yang profesional cenderung tidak melakukan kesalahan. Dalam konteks tersebut, unforced error menjadi salah satu hal yang harus dihindari saat berkampanye.
Selain oleh Bitecofer, istilah tersebut juga digunakan oleh Peter Y. C. Chow dalam bukunya Taiwan’s Modernization in Global Perspective. Ia menggambarkan bahwa unforced error mungkin sesuatu yang bisa dimengerti, tetapi bukan sesuatu yang tidak bisa dihindari.
Jokowi sepertinya akan kesulitan jika harus bermain tenis Share on XMenurut Chow, unforced error adalah kesalahan yang paling nyata, di mana kesalahan hadir akibat kekeliruan dalam melakukan penilaian atau membuat keputusan, sehingga terjadi kesulitan untuk mencapai kemenangan. Hal ini berbeda dengan forced error yang muncul akibat didorong rasa frustrasi atau ketidaksabaran. Kesalahan sendiri itu kerap menjadi penghalang bagi suatu partai politik untuk mencapai tujuannya.
Dalam beberapa waktu terakhir, istilah tersebut beberapa kali digunakan misalnya dalam gelaran Pilpres Amerika Serikat (AS) 2016. Kandidat yang berlaga yaitu Donald Trump dan Hillary Trump dianggap beberapa kali melakukan kesalahan sendiri yang menyulitkan bagi masing-masing kubu. Hal serupa juga kerap dilakukan untuk menggambarkan kebijakan Teresa May di Inggris beberapa bulan terakhir jelang masa-masa krusial keputusan soal Brexit.
Mengulang Kesalahan
Jika ditarik ke konteks politik Indonesia terkini, ada beragam kesalahan sendiri yang dilakukan oleh kandidat petahana Jokowi. Tak diprovokasi atau dipancing oleh siapapun, berbagai kebijakan kandidat nomor urut 01 itu menuai respons yang cukup negatif dari masyarakat. Celakanya, kesalahan-kesalahan ini dilakukan hampir secara beruntun.
Rencana pembebasan narapidana terorisme Abu Bakar Ba’asyir menjadi salah satu kebijakan yang menuai respons negatif dari masyarakat. Bagaimana tidak, beberapa orang tidak bisa menerima mengapa seorang dengan rekam jejak Ba’asyir bisa keluar dari penjara atas restu presiden.
Begitu negatifnya sorotan masyarakat akibat kebijakan ini membuat majalah Tempo menggambarkan bahwa elektabilitas Jokowi bisa turun hingga empat persen. Beberapa orang yang sempat memutuskan akan memilih Jokowi mulai memikirkan opsi untuk memilih tidak memilih alias golput akibat wacana tersebut.
Seolah belum cukup, rencana pembebasan Ba’asyir itu masih ditambah dengan remisi masa tahanan yang diberikan kepada seorang narapidana kasus pembunuhan. Remisi tersebut diberikan kepada I Nyoman Susrama yang diketahui pernah menjadi caleg PDIP.
Respons masyarakat menjadi sangat buruk karena penerima remisi itu terpidana pembunuhan berencana seorang wartawan. Kalangan masyarakat sipil dan media tampak terpukul kala remisi bagi Susrama ternyata tetap jalan terus meski diprotes keras.
Hal itu tentu masih belum termasuk dengan banyak kebijakan lain yang muncul lebih dahulu ketimbang dua kebijakan kontroversial tersebut.
Jika diperhatikan, kesalahan-kesalahan tersebut bukanlah respons dari lawan Jokowi dalam Pilpres 2019. Banyak dari kebijakan itu diambil Jokowi karena terkait dengan pembisik-pembisiknya sendiri baik itu tim kampanye atau menteri di kabinetnya.
Pada kasus wacana pembebasan Ba’asyir misalnya, banyak yang menganggap bahwa ada singgungan dengan kiprah Yusril Ihza Mahendra, pengacara tim kampanye Jokowi. Sementara, dalam kasus remisi Susrama, Menkumham Yasonna Laoly menjadi pihak yang dianggap memiliki kaitan dengan kebijakan tersebut.
Dalam konteks tersebut, perkataan pengamat ekonomi terkemuka Faisal Basri bahwa musuh terbesar Jokowi bukanlah lawan politiknya boleh jadi benar adanya. Kebijakan-kebijakan di atas menjadi gambaran bahwa Jokowi seperti tengah menggali kuburan untuk dirinya sendiri.
Beratkan Langkah Jadi Juara?
Jika melihat bagaimana Djokovic bisa mempecundangi petenis sekelas Nadal, minimnya jumlah unforced error tampak menjadi salah satu kunci penampilan primanya. Merujuk pada hal tersebut, berbagai unforced error dari Jokowi bisa saja membuat ia bernasib seperti Nadal alih-alih seperti Djokovic.
Sebagaimana disebut oleh Bitecofer di atas, sebuah kampanye yang profesional adalah kampanye yang minim kesalahannya. Dalam konteks tersebut, kesalahan-kesalahan sendiri yang tak perlu dilakuakn menjadi gambaran bahwa ada hal yang tak profesional dalam kampanyenya di Pilpres 2019 ini.
Hal tersebut tergolong ironis bagi kandidat yang digambarkan akan menjadi kampiun di Pilpres 2019 dengan mudah. Padahal, sebagaimana digambarkan Chow di atas, unforced error merupakan hambatan untuk mencapai kemenangan dalam Pemilu.
Chow telah mengatakan dengan cukup keras dan jelas. Unforced error memang manusiawi, tetapi bukan sesuatu yang tak terhindarkan. Pada titik ini, Jokowi seharusnya bisa meminimalisir kebijakan-kebijakan kontroversial yang tak dipaksa oleh gerak-gerik lawannya.
Pada titik ini, layaknya tengah berada di lapangan tenis, Jokowi tengah terus-menerus memberikan poin bagi lawannya, Prabowo Subianto. Poin tersebut tidak sepenuhnya lahir karena kepiawaian rivalnya tersebut, melainkan kesalahan yang ia buat sendiri melalui kebijakan kontroversial yang boleh jadi tidak mendesak.
Pada akhirnya, seperti dalam pertandingan Djokovic vs Nadal, pemain yang paling sedikit kesalahannya memiliki peluang juara lebih besar. Selama beberapa bulan ke depan, jika Jokowi berhasil melakukan comeback dan memperbaiki kesalahan-kesalahan sendiri yang terlanjur terjadi, mungkin ia bisa bernasib seperti Djokovic. Sementara itu, jika ia gagal menyadari bahwa ia tengah menggali lubang kuburnya sendiri, maka bukan tidak mungkin ia akan bernasib seperti Nadal. (H33)