Revisi UU Penyiaran mengalami stagnansi selama hampir setahun di periode pemerintahan ini. Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Agung Suprio mengatakan bahwa perdebatan yang keras ada pada lembaga mana yang berhak menjadi operator single mux.
PinterPolitik.com
Revisi atas UU No. 32 Tahun 2002 ini sebenarnya sudah mulai digagas sejak tahun 2008. Pada masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu I itu, RUU ini gagal lolos walau masuk di dalam Prolegnas. Begitu pula ketika diusulkan pada 2010, kegagalan yang sama dihadapi oleh RUU ini.
Kemudian, pada masa jabatan Kabinet Kerja, di bulan Desember 2016, RUU ini ingin ‘dilanjutkan’ namun dengan catatan harus terjadi pembahasan dari awal. Hal ini disebabkan tidak adanya prinsip takeover yang bisa dilakukan karena perubahan susunan kabinet.
Rapat Pembahasan RUU Penyiaran Berjalan Alot https://t.co/oRzcGAO0F4 pic.twitter.com/vzzzNnJoyi
— Liputan6.com (@liputan6dotcom) October 3, 2017
Secara substansi, revisi ini ingin mengubah sistem penyiaran analog ke digital dan dari multi mux menjadi single mux dalam kontrol penyiaran. Single mux yang didorong oleh pemerintah bertujuan memberi kuasa lebih kepada pemerintah dalam pemberian izin penyiaran. Prinsipnya, frekuensi radio yang terbatas harus dikembalikan kepada negara untuk kepentingan rakyat.
Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) mengatakan, banyak sekali terdapat kepentingan yang menyebabkan stagnansi proses RUU ini. Apa saja ribut-ribut yang terjadi di sini? Apa keuntungan dan kerugian yang didapat oleh Presiden Joko Widodo?
Hati-hati Penyiaran
Tarik menarik kepentingan dalam RUU revisi ini terjadi karena tekanan dari berbagai pihak, seperti pemerintah, pebisnis media, dan pengamat media yang pro-publik. Pemerintah sebagai pihak pengusul memegang inisiatif dan alur rancangan kebijakan ini secara dominan.
[pdf-embedder url=”https://pinterpolitik.com/wp-content/uploads/2017/11/draf-ruu-penyiaran-2-feb-2016.pdf”]
Poin penting dari usulan pemerintah ini adalah diperkuatnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk mengatur ‘infrastruktur penyiaran’ dengan sistem multi mux. Menurut tenaga ahli Kemkominfo Hendri Subaktiyo, yang dimaksud infrastruktur di sini adalah Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS).
Menurutnya, kedua pedoman itu harus diperkuat kontrolnya oleh institusi pemerintah. Sehingga, implikasi yang muncul bukanlah pengaturan konten oleh pemerintah, tapi penegasan rambu penyiaran oleh pemerintah. Kemenkominfo menolak apabila ada tudingan otoritarianisme pers dalam revisi UU Penyiaran ini.
“Propaganda is to a democracy what the bludgeon is to a totalitarian state.”
-Noam Chomsky-
Seluruh pembahasan dan perdebatan kemudian dirangkum oleh Pansus Komisi I menjadi draf RUU dan diajukan ke Badan Legislasi (Baleg DPR). Sayangnya, polemik timbul ketika Baleg DPR membentuk Panitia Kerja (Panja) khusus yang ditengarai oleh para pengamat, banyak mengubah konten dari draf UU tersebut.
Perubahan-perubahan tersebut dinilai sarat muatan politis. Baleg mengubah sejumlah rancangan aturan seperti pemberian hak frekuensi analog (frekuensi lama) kepada Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) dengan harga yang murah. Baleg juga disebut berencana membentuk Organisasi Lembaga Penyiaran yang berisi perwakilan LPS.
Begitu ramai perdebatan di kalangan regulator, publik tidak boleh lupa siapa yang berpotensi mendapatkan untung/rugi besar dari kebijakan ini. Para penguasa dan perusahaan penyiaran swasta.
Jokowi Memegang Semua
Media massa adalah pilar keempat (the fourth estate) dalam masyarakat. Kekuatannya dapat bersanding dengan elemen-elemen pemerintahan dan masyarakat. Media massa dapat menjadi jembatan penguasa dan masyarakat, sekaligus menjadi kekuatan seorang aktor politik. Dalam konteks demokrasi, menguasai pemberitaan di media massa adalah dulang popularitas yang efektif.
Bukan rahasia lagi, Joko Widodo memiliki kedekatan dengan banyak media massa, baik para bos besarnya maupun para wartawannya. Joko Widodo adalah media darling. Ia sadar betul kekuatan politiknya dan elektabilitasnya kelak akan sangat bergantung pada peran media massa.
Sejak masih berseragam Gubernur DKI Jakarta, Jokowi sudah menjadi ‘sahabat’ para punggawa media massa. Keseharian Jokowi yang selalu diikuti media massa mempercepat kenaikan popularitasnya pada 2014. Bahkan, sebagian orang menyebut, populisme Jokowi di 2014 turut disokong oleh kemampuan media massa.
Karenanya, menjelang Pilpres 2019 nanti, bisa jadi Jokowi ingin mendorong RUU ini untuk menjamin pemilik media pro-pemerintah tetap setia kepada pemerintah selama dua tahun sisa masa pemerintahan. Jokowi ingin berkuasa atas media dengan legalitas hukum yang absah.
Melihat sedikit ke belakang, titik balik Jokowi meraih kekuasaan besar atas media hadir secara dramatis setelah manuver Hary Tanoesoedibjo untuk merapat ke pemerintah. MNC Group sebagai perusahaan media terbesar di Indonesia kemudian ikut serta menggenjot popularitas pemerintah dengan berita-berita positif.
Draf RUU Penyiaran Dinilai Lebih Menguntungkan Industri Televisi https://t.co/HlpX1y0bi6
— Kompas.com (@kompascom) September 17, 2017
Sejak saat itu, popularitas dan keberhasilan pemerintah memang sangat gencar dipromosikan oleh MNC Group beserta Metro TV Group dan Berita Satu Group. Ketiga grup media yang besar dengan saluran televisinya tersebut konsisten di pihak pemerintah, misalnya, dengan turut mempromosikan kesuksesan pemerintahan di ulang tahun yang ketiga, kemarin.
Bisa jadi pula, Jokowi ingin meng-handle media-media yang masih setengah-setengah dengan pemerintah. TV One Group misalnya. Meskipun Golkar adalah partai pemerintah, namun TV One beserta jajaran medianya tak selalu setia memberitakan kinerja positif pemerintah. Dalam peringatan tiga tahun pemerintah kemarin, mereka meliput demonstrasi BEM SI sehari penuh.
Sementara itu, kelompok-kelompok seperti SCTV Group, Trans Corp, Kompas Group dan Jawa Pos Group tentu juga ingin diraih oleh Jokowi. SCTV Group (SCTV, Indosiar, O’Channel) yang disinyalir dekat dengan Megawati Soekarnoputri sangat berpotensi mendukung pemerintah bila situasi kondusif. Jelang semakin meningkatnya popularitas Jokowi, SCTV Group dapat turut merapat.
Begitu pula dengan televisi milik Trans Corp. yang cenderung apolitis, namun potensial untuk turut mendukung pemerintah. Kelompok media yang siarannya banyak menyajikan entertainment ini juga memiliki Detik.com dan CNN Indonesia sebagai portal daringnya. Khususnya Detik sebagai media daring nomor satu, Jokowi dapat memanfaatkannya sebagai koalisi media yang kuat.
Dalam ilmu kebijakan publik, terdapat teori penyusunan agenda (agenda setting theory). Teori ini menjelaskan bahwa media memiliki kemampuan untuk memilah agenda kebijakan pemerintah dan menyampaikannya kepada publik sesuai arahan pemerintah. Pemerintah juga mampu menguasai media sebagai alat pembentuk persepsi positif akan pemerintah.
Namun dalam praktiknya, pemerintah yang demokratis perlu bekerja sama dengan lembaga penyiaran swasta melalui aturan hukum yang sah untuk menjaga agar kesan otoritarian pers tidak terlalu kentara. Mirip-mirip rezim Soeharto yang mencengkram media dahulu, membuat regulasinya kemudian.
Mungkinkah Jokowi sudah mengatur semua ini, layaknya tuduhan otoriter yang dialamatkan oleh banyak pihak? Ataukah regulasi ini adalah strategi cerdik Jokowi untuk menggenggam lebih erat para pengusaha media?
Menjaga 2019
Perdebatan mengenai hak publik atas frekuensi siaran menjadi narasi utama yang muncul di masyarakat. Masyarakat perlu mendapatkan berita yang objektif dan berimbang dalam rangka menjadi partisipan demokrasi yang ideal.
Namun, seperti apa tayangan yang objektif dan berimbang itu? Apakah dengan kebebasan pihak penyiar swasta maka objektivitas dapat diraih? Ataukah justru dengan kooptasi yang besar dari pemerintah, maka tayangan televisi mampu benar-benar menghadirkan kepentingan rakyat?
Perdebatan dapat terus bergulir, tapi Jokowi tetap hegemonik. Ia sudah memiliki modal yang besar dengan kuasanya atas media massa. Seiring dengan terus merapatnya politisi pemilik media ke dalam koalisinya, Jokowi secara otomatis mengikat mereka dengan kontrak politik.
Melalui dorongan revisi UU Penyiaran ini, bukan tidak mungkin Jokowi ingin mengontrol semua media untuk setia hingga 2019 menjelang. Jokowi ingin meneken kepatuhan koalisi medianya dengan legitimasi hukum yang kuat dan absah.
Jokowi adalah presiden yang kokoh karena telah memegang pilar militer, BUMN, dan konglomerasi. Memegang pilar keempat, yakni media massa dapat menjadikan jalan Jokowi di 2019 begitu mulus. Bila sukses, sudah pasti ribut-ribut dualisme kemenangan Metro TV vs TVOne seperti Pilpres 2014 lalu tidak perlu terjadi.
Jokowi bisa menang dengan mudah. Jokowi, Si Raja Media Baru. (R17)