Site icon PinterPolitik.com

Jokowi, Putin, dan ‘Kesalahan’ Retno

jokowi putin dan kesalahan retno

Presiden Joko Widodo (Jokowi) (dua dari kiri) bersama Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi (kanan). (Foto: Antara)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya memutuskan untuk mengundang Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky ke KTT G20 2022 pada November nanti – setelah negara-negara Barat seperti Amerika Serikat (AS) meminta demikian. Mengapa polemik diplomatik ini bisa terjadi? Bagaimana peran Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi di balik negosiasi-negosiasi Rusia-Ukraina di G20?


PinterPolitik.com

Siapa bilang aksi-aksi negosiasi dan diplomasi tidak membuat mereka yang terlibat menjadi berdebar-debar jantungnya? Mungkin, kita bisa mengamati bagaimana sulitnya negosiasi yang terjadi antar-negara dalam film Bridge of Spies (2015) yang dibintangi oleh Tom Hanks.

Dalam film tersebut, seorang pengacara asal Amerika Serikat (AS) yang bernama James B. Donovan mendapatkan tugas untuk menjadi negosiator di antara sejumlah negara di era Perang Dingin, yakni dengan Jerman Timur dan Uni Soviet. Donovan diharuskan untuk membahas mengenai pertukaran tahanan politik dan perang di antara AS dengan negara-negara itu.

Tentunya, tugas Donovan ini bukanlah perkara mudah. Pasalnya, baik Uni Soviet maupun Jerman Timur, sama-sama memiliki permintaan mereka masing-masing. Belum lagi, Donovan juga harus berkoordinasi dengan pemerintah AS di Washington D.C.

Meski begitu, Donovan akhirnya berhasil menyelamatkan tahanan-tahanan politik yang sebelumnya ditangkap Uni Soviet dan Jerman Timur. Kisah sukses ini pun sebenarnya didasarkan pada kisah nyata dari Donovan itu sendiri.

Bukan tidak mungkin, kerumitan diplomasi dan negosiasi seperti ini juga harus dihadapi oleh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Bagaimana tidak? Indonesia merasa bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin tetap berhak untuk diundang hadir dalam KTT G20 2022 – meski AS dan sejumlah negara anggota G20 menolak kehadiran Putin.

Di satu sisi, AS akhirnya meminta agar Jokowi mengundang Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky bila Putin bisa hadir. Mungkin, prinsipnya adalah agar mereka berdua bisa sama-sama hadir dan berbincang soal solusi damai.

Beberapa waktu lalu pada April 2022, misalnya, Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi melakukan sejumlah kunjungan ke negara-negara Eropa. Retno pun menemui sejumlah petinggi negara-negara Eropa, seperti Menlu Prancis Jean-Yves Le Drian. 

Tidak hanya Retno, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan juga melakukan kunjungan ke AS dan bertemu sejumlah petinggi dan pebisnis negeri Paman Sam. Pemerintahan Joe Biden di AS pun menjadi salah satu pihak yang getol mendorong Indonesia agar mengundang Ukraina di KTT G20 2022.

Bila benar kunjungan yang dilakukan oleh Retno di Eropa dan Luhut di AS ini berkaitan dengan tekanan-tekanan diplomatik dari AS dan negara-negara Eropa terkait kehadiran Rusia dan Ukraina di KTT G20, strategi diplomasi apa yang sebenarnya digunakan oleh pemerintahan Jokowi? Mengapa, setelah sebelumnya menyatakan ketegasan terkait KTT G20, Indonesia malah memutuskan untuk menuruti permintaan AS dan negara-negara Eropa?

Diplomasi ‘Bisik-bisik’ ala Jokowi?

Satu hal yang paling dikenal dari gaya dan cara diplomasi yang diambil Indonesia, yakni diplomasi yang tidak dilaksanakan secara terbuka. Saking seringnya gaya diplomasi ini digunakan, Indonesia sampai identik dengan istilah “diplomasi diam-diam” atau “queit diplomacy”.

Biasanya diplomasi diam-diam digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk menjaga hubungan baik dengan banyak pihak. Terkadang, diplomasi seperti ini dinilai dibutuhkan ketika menghadapi situasi-situasi yang genting atau emergency.

Pendekatan diplomasi seperti ini pernah digunakan oleh Menlu Marty Natalegawa pada tahun 2012 silam – ketika negara-negara anggota Association of South East Asian Nations (ASEAN) gagal menghasilkan pernyataan resmi bersama (joint communique) terkait sengketa Laut China Selatan (LCS). Atas instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Marty akhirnya melakukan diplomasi diam-diam dengan berkunjung ke berbagai pemerintahan negara-negara ASEAN.

Cara diplomasi diam-diam ini bahkan diakui oleh Marty sebagai cara terbaik untuk mempertahankan dan memperoleh kepercayaan (trust) di antara negara-negara ASEAN. Baginya, dalam kerangka ASEAN, cara ini lebih baik dibandingkan diplomasi megafon (megaphone diplomacy). 

Cara yang sama akhirnya juga digunakan oleh penerus Marty, Retno Marsudi. Mantan Duta Besar (Dubes) Indonesia untuk Belanda yang kini jadi Menlu tersebut menggunakan pendekatan diplomasi diam-diam ketika terjadi krisis Rohingya di Myanmar yang berujung pada memanasnya hubungan antara Myanmar dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). 

Sekitar tahun 2017, pemerintahan Jokowi mulai menjauh dari posisi OKI yang dianggap terlalu konfrontasional terhadap Myanmar. Mengacu pada tulisan Claire Q. Smith dan Susannah G. Williams yang berjudul Why Indonesia Adopted ‘Quiet Diplomacy’ over R2P in the Rohingya Crisis, Indonesia akhirnya berusaha mengambil posisi tengah antara Myanmar dan OKI agar bisa menjaga hubungan baik di antara keduanya.

Bukan tidak mungkin, cara yang sama dilakukan dalam situasi ketegangan antara Rusia dan Ukraina, yakni dengan melakukan diplomasi ‘bisik-bisik’ di antara negara-negara yang berkepentingan – seperti upaya-upaya Retno yang disebutkan di bagian awal tulisan. Lagipula, Indonesia juga menjadi negara yang memiliki kepentingan tertentu di antara negara-negara yang bersitegang, seperti Eropa, Rusia, dan AS.

Namun, apakah benar Indonesia harus ditekan terlebih dahulu agar pimpinan diplomat bisa melangsungkan jurus diplomasi ‘bisik-bisik’ mereka? Mungkinkah segala tekanan dari kekuatan-kekuatan asing di G20 bisa dicegah?

Polemik Putin, Gara-gara Retno?

Terdapat sebuah analogi yang menarik dari Iver B. Neumann terkait peran diplomat dalam politik internasional. Dalam tulisannya yang berjudul To Be a Diplomat, Neumann menganalogikan bahwa ada tiga naskah yang dimainkan oleh para diplomat.

Naskah pertama adalah naskah birokratis – yang mana mengharuskan diplomat untuk fokus pada rutinitas yang ada. Naskah kedua adalah naskah heroik – yang mana mengharuskan seorang diplomat untuk fokus pada satu tugas untuk menciptakan perubahan. Sementara, yang terakhir adalah naskah mediator yang mengharuskan diplomat untuk mewujudkan tujuan di luar entitas politik sehalus mungkin.

Menurut Neumann, tiga naskah ini tidak bisa dipertemukan. Justru, tiga naskah ini harus dilaksanakan pada prinsip juggling (satu sama lain).

Tentunya, terdapat sejumlah peran yang bisa diambil oleh seorang diplomat. Melanjutkan tiga naskah yang disebutkan Neumann tadi, Corneliu Bjola menyebutkan sejumlah gaya kepemimpinan diplomatik dalam tulisannya yang berjudul Diplomatic Leadership in Times of International Crisis.

Tiga pemimpin diplomat ini terdiri dari the maverick, the congregator, dan the pragmatist. The maverick adalah pemimpin yang memiliki gagasan yang kuat tetapi tidak bisa menginspirasi aktor-aktor lain. Di sisi lain, the congregator adalah diplomat pemimpin yang bisa membangun konsensus tetapi tidak memiliki visi yang kuat. Sementara, terakhir, the pragmatist adalah diplomat pemimpin yang bisa membangun visi yang kuat sekaligus membangun hubungan yang beresonansi.

Tiga gaya kepemimpinan diplomatis inilah yang mungkin perlu diperhatikan oleh para pegiat diplomasi Indonesia. Bila diamati, Menlu Retno – dan juga Marty – mungkin merupakan seorang congregator yang bisa membangun jembatan dan konsensus di antara banyak pihak – bila dilihat dari penggunaan pendekatan diplomasi diam-diam dalam sejumlah situasi seperti polemik Rusia-Ukraina. 

Namun, bukan tidak mungkin, Jokowi juga memerlukan seorang pragmatist yang bisa memiliki visi yang kuat guna menghadapi tekanan-tekanan dari berbagai kekuatan asing. Sebagai Presiden G20, inilah kesempatan bagi seorang pragmatist untuk menanamkan visi yang kuat dan mengajak negara-negara lain berjalan secara bersesuaian – apalagi Jokowi sendiri memiliki visi agar ekonomi global bisa berjalan sesuai kepentingan banyak negara.

Boleh jadi, Indonesia sebenarnya pernah memiliki seorang Menlu yang merupakan seorang pragmatist, yakni Ali Alatas yang menjabat pada tahun 1988-1999. Ketika Ali menjabat sebagai penasihat diplomatik di era SBY, Indonesia memainkan peran penting untuk mengajak negara-negara ASEAN untuk menyepakati ASEAN Charter – sebuah kesepakatan yang mengandung prinsip-prinsip ASEAN.

Kesuksesan diplomatik Ali Alatas juga mengantarkannya menjadi calon Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun, kemungkinan masa depan kariernya di PBB ini disebut diveto oleh Presiden Soeharto.

Terlepas dari itu, posisi Alatas yang dihormati dan bisa menjadi the pragmatist ini bukan tidak mungkin perlu dipelajari oleh para insan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) saat ini. Siapa tahu Retno dan para diplomat Indonesia suatu hari nanti harus beraksi bak Tom Hanks di film Bridge of Spies? Bukan begitu? (A43)


Exit mobile version