Cross BorderJokowi-Putin Bangun Poros Baru?

Jokowi-Putin Bangun Poros Baru?

- Advertisement -

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden Rusia Vladimir Putin bertemu di Kremlin, Moskow, Rusia, pada 30 Juni 2022 lalu. Terdapat juga wacana agar dua negara ini masuk dalam satu blok yang sama di tengah menurunnya dominasi Amerika Serikat (AS) dalam panggung politik dunia.


PinterPolitik.com

“If I respect you, we unify and stop the enemy from killing us” – Kendrick Lamar, “Mortal Man” (2015)

Dalam seri, film, dan komik yang bertemakan pahlawan super, kerap kali penonton dan pembaca disajikan narasi permusuhan antara dua pihak, yakni pihak pahlawan (heroes) dan pihal musuh (villains). Pada umumnya, heroes memiki tujuan baik untuk memerangi kejahatan para villains.

Namun, terdapat juga manusia dan makhluk super yang tidak jatuh pada dua kategori tersebut. Biasanya, karakter-karakter yang memiliki kemampuan khusus ini disebut sebagai anti-heroes.

Biasanya, karakter-karakter yang jatuh pada kategori ini adalah mereka yang tidak memiliki kesamaan visi dan nilai dengan para heroes. Namun, ini bukan berarti mereka tidak memiliki semangat untuk membela apa yang mereka yakini benar.

Salah satu contoh karakter anti-hero yang paling populer adalah Deadpool. Namun, sosok manusia berkemampuan untuk regenerasi selnya sendiri ini sebenarnya tidak sendiri. Masih ada banyak tokoh anti-heroes lain di dunia komik.

Bahkan, para anti-heroes ini membentuk kelompok mereka sendiri. Salah satunya adalah Thunderbolts. Kelompok yang dipimpin oleh Red Hulk dan beranggotakan Deadpool, Elektra, Agent Venom, dan Punisher ini merupakan inisiatif yang tidak disponsori oleh pemerintah – berbeda dengan Avengers yang memiliki tangan-tangan pemerintah di baliknya.

Boleh dibilang Thunderbolts ini adalah kelompok “tandingan” bagi kelompok-kelompok superheroes seperti Avengers. Pasalnya, ada juga beberapa tindakan Thunderbolts yang bergerak di luar tatanan aturan yang established – seperti ketika Deadpool ingin menculik aktor Ryan Reynolds.

Mungkin, kelompok “tandingan” ala anti-heroes ini juga hadir di dunia nyata, seperti dalam panggung politik internasional. Pasalnya, mulai muncul wacana dari Ketua Duma Negara Rusia Vyacheslav Volodin agar Rusia bersama negara-negara seperti Indonesia, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), India, Brasil, Meksiko, Iran, dan Turki membentuk sebuah kelompok ‘G8’ baru – yang mana bisa saja menandingi dominasi G7.

Seperti yang diketahui, G7 merupakan kelompok tujuh negara yang berisikan Amerika Serikat (AS) dan negara-negara sekutunya – seperti Britania (Inggris) Raya, Prancis, Jerman, Jepang, Italia, dan Kanada, serta Uni Eropa (UE). Sebelumnya, kelompok ini adalah G8 – yang mana Rusia akhirnya didepak akibat manuvernya untuk menganeksasi Krimea.

Bukan Hanya Jokowi Rusia Ukraina

Lantas, mengapa Rusia kini semacam mengajak-ajak negara-negara lain untuk membentuk semacam kelompok “tandingan”? Apa kemudian dampak lanjutan dari kemunculan G8 baru di masa mendatang?

Poros Baru, Kekuatan Baru?

Seperti yang dijelaskan di atas, kelompok-kelompok “tandingan” seperti ini biasanya hadir sebagai alternatif. Bukan tidak mungkin, kelompok “tandingan” juga memiliki tujuan untuk mengimbangi kekuatan kelompok yang asli.

Strategi seperti ini sebenarnya umum dalam dinamika dan permainan politik, termasuk dalam panggung politik dunia. Layaknya politik domestik, distribusi kekuatan di antara negara-negara.

Mengacu pada penjelasan John J. Mearsheimer dalam tulisannya yang berjudul Bound to Fail: The Rise and Fall of the Liberal International Order, tatanan inilah yang mengatur berbagai interaksi yang dijalankan antar-negara – misal melalui rangkaian rezim, aturan, dan norma. Tatanan dunia yang paling terlihat jelas sejak Perang Dingin berakhir pun adalah tatanan liberal yang dibangun oleh AS.

Baca juga :  Endorse Jokowi = Hak Bernegara?

Tatanan ini sebagian besar memiliki ciri-ciri keterbukaan sebagai normanya. Soal perekonomian dan perdagangan, misalnya, perdagangan bebas tanpa batas seakan-akan menjadi norma utama dalam rezim tersebut – melalui pendirian organisasi-organisasi internasional seperti Bank Dunia (WB), Dana Moneter Internasional (IMF), dan World Trade Organization (WTO) yang sebelumnya didahului oleh General Agreement on Tariffs and Trade (GATT).

Seiring berjalannya waktu, tatanan dunia liberal yang dibangun AS tidaklah hanya berbatas pada organisasi-organisasi tersebut saja. Muncul kerangka-kerangka organisasional lainnya yang turut menentukan tatanan dunia liberal – salah satunya melalui G7.

Organisasi yang terdiri dari tujuh demokrasi dengan ekonomi maju – dan UE – tentu saja memiliki pengaruh yang cukup besar dalam menentukan pilihan-pilihan kebijakan negara-negara lain. Bukan tidak mungkin, akhirnya pilihan-pilihan ini hanya ditentukan oleh negara-negara tersebut.

Gambaran ini setidaknya sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Stewart M. Patrick dalam tulisannya yang berjudul The G7 Summit: An Exclusive Club. Setidaknya, G7 sebagai organisasi memiliki peran untuk menentukan agenda-agenda dunia, seperti persoalan ekonomi dan isu perubahan iklim.

Jokowi ke Ukraina untuk Gandum

Namun, keanggotaannya yang eksklusif membuat G7 dinilai seenaknya sendiri. Acap kali, kegiatan-kegiatan KTT G7 juga didatangi oleh berbagai demonstran anti-globalisasi yang mengkritik G7 karena nasib banyak negara hanya ditentukan oleh segelintir negara.

Bisa jadi, kehadiran G8 yang baru – di luar eksistensi G20 – dapat memberi wadah suara bagi negara-negara di luar G7. Apalagi, Rusia yang sebelumnya merupakan salah satu anggota dari kelompok G8 yang lama (kini G7) bisa saja kini memiliki urgensi lebih untuk mendapatkan wadah baru di tengah kepungan sanksi dari Barat.

Meski Rusia merasa tidak puas dengan tatanan dunia saat ini, mengapa lantas negara tersebut mengajak negara-negara lain – mulai dari India, Tiongkok, hingga Indonesia? Mungkinkah ajakan “poros” baru ini memiliki dasar yang masuk akal bagi Indonesia dkk?

Jokowi-Putin Sama-sama Kesal?

Politik internasional memang merupakan anarki. Setiap negara pun memiliki kepentingan mereka masing-masing. Namun, di tengah anarki tersebut, bukan tidak mungkin kerja sama bisa terbentuk dan terbangun.

Pandangan soal kemungkinan kerja sama dalam anarki ini setidaknya bisa dijelaskan oleh pendekatan neoliberalisme karena kepentingan negara-negara bisa bertemu – menjadi kepentingan bersama (common interests). Dengan strategi-strategi kerja sama, negara pun bisa mendapatkan potensi manfaat dan keuntungan – mengacu pada buku Robert Keohane yang berjudul After Hegemony.

Bukan tidak mungkin, dalam wacana soal pembentukan G8, kepentingan bersama ini pun hadir di antara delapan negara potensial tadi. Tentunya, untuk mendalaminya, perlu juga mengetahui posisi negara-negara tersebut terhadap negeri Paman Sam yang merupakan pembangun utama tatanan dunia liberal.

George Friedman dalam bukunya yang berjudul The Next 100 Years menyebutkan sejumlah negara yang bisa berusaha mengancam dominasi AS pada abad ke-21. Beberapa di antaranya adalah Meksiko, Tiongkok, hingga Rusia yang menginginkan “pertandingan ulang” (rematch). 

Baca juga :  Haji Isam: Yury Kovalchuk-nya Prabowo?

Seperti yang disebutkan di atas, Rusia memiliki ketidakpuasan tersendiri akibat serbuan sanksi ekonomi dan arsitektur keamanan di Eropa. Dan, bila mengacu pada teori pergeseran kekuatan (power transition theory) dari buku A.F.K. Organski berjudul World Politics, bila ketidakpuasan ini semakin memuncak, semakin memuncak pula potensi konflik antara negara penantang dan negara hegemon.

Persoalannya adalah negara penantang tidak hanya datang dari Rusia. Tiongkok juga disebut-sebut menjadi negara penantang bagi AS. Dengan diplomasi Xi Jinping yang semakin asertif, ketidakpuasan Tiongkok terhadap AS juga semakin memuncak – disertai dengan tudingan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan perang dagang.

Rusia Siap Rudal NATO

Tidak hanya Tiongkok dan Rusia, kekesalan yang memuncak terhadap AS juga dimiliki oleh Iran. Dengan geo-strategi AS – bersama Israel dan Arab Saudi – yang berusaha mengepung Iran di kawasan Timur Tengah, Iran memiliki perasaan tidak aman yang besar.

Setelah berkeliling di Eurasia dan Timur Tengah, lantas, bagaimana dengan Meksiko dan Brasil yang letaknya berada di halaman belakang AS langsung? Justru, ini adalah alasan yang lebih besar mengapa Meksiko dan Brasil memiliki ketidakpuasan terhadap AS.

Sebagai “domain” dari kawasan “halaman belakang” AS, dua negara ini secara tidak langsung dan mau tidak mau harus mengikuti apa kata sang hegemon. Meksiko, misalnya, sempat dipaksa AS untuk membangun tembok di perbatasan. 

Sementara, Brasil – dan negara-negara Amerika Latin – memiliki ketidaksukaan terhadap bagaimana AS suka mencampuri urusan politik di kawasan ini. Pada era Perang Dingin, Brasil menjadi salah satu negara yang politik domestiknya dicampuri oleh Paman Sam – melalui penggulingan João Goulart pada tahun 1964.

Lantas, bagaimana dengan tiga negara lainnya – yakni Turki, India, dan Indonesia? Mungkinkah tiga negara ini juga memiliki kepentingan yang sejalan dengan Rusia, Tiongkok, dan kawan-kawan?

Tiga negara ini bisa dibilang memiliki dilema yang cukup besar dengan semakin terbelahnya masyarakat internasional antara dua kekuatan, yakni AS dan Tiongkok. Sejauh ini, baik Recep Tayyip Erdoğan, Narendra Modi, maupun Joko Widodo (Jokowi), mereka memainkan upaya pengimbangan (balancing) di antara dua raksasa geopolitik – baik secara ekonomi maupun strategis.

Namun, bukan tidak mungkin ketidakpuasan bisa hadir di antara negara-negara ini. Indonesia – serta negara-negara ASEAN, misalnya, semakin tidak puas dan tidak sabar dengan pasifnya peran AS di kawasan Asia Tenggara. Sejauh ini, ancaman dari Tiongkok tetap hadir sedangkan ketergantungan ekonomi terhadap negeri Tirai Bambu semakin meningkat.

Di sisi lain, AS hingga kini tidak memberikan “tandingan” nyata atas apa yang dibutuhkan oleh Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara, misal kepentingan perdagangan dan investasi. Bukan tidak mungkin, pemerintahan Jokowi semakin kehabisan kesabaran atas pemerintahan Biden.

Pada intinya, wacana G8 yang baru ini bisa saja terwujud apabila kepentingan negara-negara ini semakin konvergen. Bila Paman Sam tetap diam dan tidak “berkutik”, bukan tidak mungkin kemunculan organisasi “anti-heroes” ini benar-bener terjadi di masa mendatang. (A43)


spot_imgspot_img

More from Cross Border

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Nuklir Oppenheimer Justru Ciptakan Perdamaian?

Film Oppenheimer begitu booming di banyak negara, termasuk Indonesia. Menceritakan seorang Julius Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika yang berperan penting pada Proyek Manhattan, proyek...

Oppenheimer, Pengingat Dosa Besar Paman Sam?

Film Oppenheimer baru saja rilis di Indonesia. Bagaimana kita bisa memaknai pesan sosial dan politik di balik film yang sangat diantisipasi tersebut?  PinterPolitik.com  "Might does not...

Zelensky Kena PHP NATO?

Keinginan Ukraina untuk masuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mendapat “hambatan” besar. Meski mengatakan bahwa “masa depan” Ukraina ada di NATO, dan bahkan telah...

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Club de Politica #18

Kira-kira, siapa saja ya mereka? Yuk, ikutan diskusi santai bareng PinterPolitik.com! Kali ini, kita bakal diskusi soal relasi pemerintah dan konglomerat, nih, yang menariknya memang...

Soldiers and Politactical Gambit

Menariknya gelombang generasi baru purnawirawan non-jenderal ini memilih Partai Demokrat, Partai NasDem, dan Partai Gerindra  Realitanya, yang penting logistik sama koneksi gak sih?  Gimana menurut kalian?...