Segala dinamika yang terjadi di sekitaran Pilpres 2024 memang membuat banyak pihak bertanya-tanya soal seberapa besar sebetulnya kekuatan politik Presiden Jokowi. Di awal-awal periode pertama kekuasaannya, ia pernah dicap sebagai presiden terlemah pasca reformasi. Kini, banyak yang menyebutnya sebagai salah satu presiden terkuat dalam sejarah Indonesia. Profesor Kishore Mahbubani bahkan menyebut Jokowi sebagai presiden yang “jenius”.
“All things are subject to interpretation whichever interpretation prevails at a given time is a function of power and not truth”.
– Friedrich Nietzsche
Menyebut Jokowi sebagai presiden yang kuat sebetulnya bukan tanpa alasan. Jika merunut laporan Morning Consult Political Intelligence pada September 2023 lalu, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Jokowi (approval rating) boleh jadi adalah yang tertinggi di dunia. Ini merujuk pada survei Litbang Kompas yang menempatkan approval rating Jokowi di angka 75 persen, dan survei lembaga lain macam SMRC dan LSI yang memberikan angka 80 persen.
Approval rating pemerintahan Jokowi berjarak sangat jauh dari Lula da Silva (50 persen), Joe Biden (40 persen), Justin Trudeau (40 persen), Emmanuel Macron (26 persen), Olaf Scholz (25 persen), dan Mark Rutte (25 persen).
Fakta itu menjadi hal yang penting untuk dijadikan catatan mengingat dalam 2 tahun terakhir Indonesia dihadapkan pada periode sulit ketika pandemi Covid-19 menghantam segala sektor kehidupan dan melahirkan kesulitan di sana-sini. Kemampuan Jokowi menekan kemungkinan gejolak dari setiap kebijakan yang diambil pemerintah dianggap sebagai pembenaran fakta posisi politiknya yang makin stabil dan kuat.
Konteks menguatnya posisi politik Jokowi ini disoroti secara spesifik oleh Profesor Greg Fealy dari Australian National University. Dalam ulasannya di East Asia Forum, Fealy menyebut pemerintahan Jokowi kini berdiri di dua trend. Pertama adalah kecenderungan semakin mengakarnya atau menguatnya posisi politik presiden, dan yang kedua adalah adanya fenomena pembalikkan reformasi demokrasi dan hak asasi manusia.
Kondisi-kondisi tersebut beralasan jika melihat bagaimana pemerintahan Presiden Jokowi meng-handle berbagai isu yang berkembang di masyarakat. Sejak pembubaran ormas-ormas macam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI), narasi kontra demokrasi memang menjadi interpretasi utamanya.
Sementara pengesahan aturan macam omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja telah bergerak keluar dari intisari demokrasi dalam pembuatan kebijakan atau produk hukum yang seharusnya mendasarkan diri pada aspirasi masyarakat. Ini belum soal hak-hak masyarakat sipil yang kini jadi pergunjingan pasca kasus-kasus macam sengketa tambang di Desa Wadas beberapa waktu lalu.
Tentu pertanyaan yang kemudian muncul adalah benarkah Jokowi telah berubah dari status presiden terlemah dalam sejarah Indonesia – demikian yang pernah diungkapkan oleh Profesor Jeffrey Winters di tahun 2015 lalu – menjadi presiden terkuat yang dimiliki Indonesia pasca Reformasi 1998?
Kemudian dengan status Jokowi pasca 2024 dan kini ada nama putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka yang ikut bertarung di Pilpres 2024, akankah Jokowi layak dianggap sebagai presiden terkuat yang pernah dimiliki Indonesia dalam konteks sosok tanpa kekutan politik mumpuni – bukan militer dan bukan ketua partai – namun mampu menciptakan stabilitas politik dan pembangunan berkesinambungan?
Digdaya Jokowi
Status presiden terlemah yang pernah disematkan oleh Jeffrey Winters muncul bukan tanpa alasan. Ia berangkat dari predikat Jokowi yang bukan seorang elite partai politik nasional katakanlah layaknya Megawati Soekarnoputri.
Bahkan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam segala kekurangannya dan gonjang-ganjing kekuasaannya adalah pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) – hal yang membuat status politiknya juga lebih superior dibandingkan Jokowi yang hanya kader partai biasa.
Lalu, Jokowi juga bukan petinggi militer layaknya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Faktor militer ini penting karena menjadi salah satu variabel penentu kekuasaan seseorang – meminjam kata-kata pemimpin Tiongkok Mao Zedong: “Political power grows out of the barrel of a gun”. Kekuatan politik keluar dari balik senjata. Jokowi jelas tak berstatus penguasa senjata dalam konteks status kemiliteran.
Lalu, apa yang sebenarnya telah dilakukan oleh Jokowi sehingga posisi politiknya menjadi kuat seperti sekarang ini?
Well, jika berkaca dari para pemikir macam Thomas Hobbes atau Carl Schmitt, salah satu faktor penentu pengaruh politik seseorang adalah legitimasi politiknya. Hobbes membahasakannya dalam relasi konsep dominium atau dominion yang umumnya identik dengan apa yang disebut sebagai controlling power.
Dominium itu sendiri berasal dari kata dominus yang artinya tuan. Dengan demikian, political power bisa hadir jika seorang pemimpin mampu mengukuhkan status relasi tuan-hamba. Dalam konteks Jokowi, sangat mungkin mantan Wali Kota Solo itu memahami konteks controlling power ini.
Sementara Schmitt menekankan pada apa yang disebut sebagai constituent power atau kekuasaan konstituen. Ini umumnya mengacu pada legitimasi kepemimpinan sebagai akibat dari pemberian suara masyarakat. Jokowi jelas punya modal constituent power ini jika berkaca dari popularitas dan bagaimana ia diterima di masyarakat luas.
Kalau berkunjung ke wilayah Indonesia Timur – misalnya di Nusa Tenggara Timur – Jokowi disambut layaknya raja, idola, mungkin juga ada yang menganggapnya sebagai Ratu Adil. Dan Jokowi sadar betul kebesaran citra politiknya tersebut.
Jokowi Akan Tetap Kuat
Pada titik ini, Jokowi memang bisa dianggap berhasil mencapai apa yang disebut sebagai political mastery. Beberapa penulis macam Colin Gautrey dari Warwick Business School menyebutkan bahwa political mastery berdiri di atas beberapa pilar.
Pilar-pilar tersebut adalah “motif” yang merujuk pada pemahaman tentang agenda, lalu ada “konteks” yang merujuk pada pemahaman keseluruhan situasi, kemudian “strategi” yang merujuk pada tujuan dan cara mencapainya, lalu “kesimpulan” merujuk pada kemampuan menganalisis secara menyeluruh, kemudian “keputusan” yang merujuk pada pembuatan keputusan yang tepat, dan yang terakhir adalah “aksi” yang merujuk pada kemampuan untuk menentukan tindakan-tindakan apa yang harus diambil.
Jika mampu mensinergikan semua pilar tersebut, niscaya seseorang akan mampu menjadi master atau tuan dalam politik.
Kemudian, sudah jadi rahasia umum bahwa seorang pemimpin yang berkuasa di 2 periode akan mengalami fenomena pelemahan kekuasaan – hal yang sering dibahasakan sebagai lame duck period. Ini terjadi karena di sistem politik yang membatasi kekuasaan presiden hanya sampai 2 periode, ada kecenderungan sang penguasa dianggap tak lagi menjadi penentu keberlanjutan politik di periode berikutnya sebab ia tak bisa lagi mencalonkan diri untuk periode selanjutnya.
Namun, dalam kasus Jokowi, banyak yang menilai bahwa sang presiden tengah berusaha untuk menepis status tersebut. Di tengah pandemi Covid-19 dan serba ketidakpastian ekonomi misalnya, Jokowi berhasil memaksimalisasi otoritasnya sebagai penguasa dan membatasi resistensi yang muncul di masyarakat. Dan kini pembuktian kekutan politiknya juga sangat terlihat lewat Gibran yang maju bersama Prabowo Subianto.
Kemudian, koalisi pemerintahannya saat ini tengah ada di kondisi yang sangat kuat. Tercatat mungkin hanya Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menjadi oposisi kekuasaannya di parlemen. Sedangkan partai-partai lain telah menjadi bagian dari kekuasaan politik pemerintah. Artinya, kekuatan untuk pembentukan aturan hukum dan pembuatan keputusan-keputusan di ranah legislatif menjadi sangat terkontrol.
Jokowi juga akan tetap kuat di akhir periode kekuasaannya karena narasi politik jelang Pemilu dan Pilkada Serentak di 2024. Pasalnya, beberapa kepala daerah yang memimpin daerah lumbung suara macam Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur akan habis masa jabatannya sekitar 6 bulan jelang pemungutan suara.
Nah, otoritas untuk memilih pejabat sementara atau pelaksana tugas kepala daerah ini akan ada di tangan Jokowi. Dengan demikian, jika membaca relasi politik kekuasaan di daerah dan efeknya terhadap perolehan suara dari masyarakat di daerah tersebut terhadap kandidat atau partai tertentu, jelas siapa-siapa yang dipilih untuk menjadi pejabat sementara kepala daerah itu bisa ikut menentukan peta politik pasca 2024.
Hal lain yang juga penting adalah endorsement politik Jokowi sendiri. Partai-partai dan kandidat jelas akan diuntungkan jika Jokowi memberikan dukungannya pada mereka. Ini tentu akan membuat posisi politik Jokowi tetap diperhitungkan hingga selesai masa jabatannya. Tak heran, partai seperti PDIP memang berupaya sangat keras untuk berada dalam bayang-bayang pengaruh politik Jokowi, meski hubungannya kini cenderung paans dingin.
Pada akhirnya, perdebatan apakah Jokowi masih kuat atau sudah melemah kekuasaannya memang tak pernah bisa disimpulkan secara utuh. Masyarakat hanya bisa membaca variabel-variabel yang ditampilkan saat ini. Sebab, seperti kata Friedrich Nietzsche di awal tulisan: semuanya adalah tentang interpretasi. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)