Masuknya Ketua Umum (Ketum) PKB, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) ke poros Anies Baswedan telah menjadikan Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024) terisi oleh orang-orang terdekat Presiden Joko Widodo (Jokowi). Apakah ini adalah sesuatu yang baik untuk pembangunan Indonesia? Atau sebaliknya?
Di era modern ini, tampaknya tidak ada produk kultur-pop lain yang mampu menawarkan pengalaman sekaligus sensasi terlibat dalam dunia politik sedalam video game.
Tengok saja franchise game strategi Total War, yang dipandang cukup legendaris oleh kalangan penggemar game strategi. Dalam game-game Total War, para pemain diberi kesempatan untuk tidak saja memperbesar pengaruh negaranya di dunia, tetapi di saat bersamaan juga harus berhadapan dengan gejolak politik domestik yang bisa menghancurkan karir politiknya.
Nah, salah satu kunci agar kita bisa memenangkan mode karir di game-game Total War adalah para pemain pada fase awal permainan perlu mengonsolidasikan aliansi politik domestik terlebih dahulu. Salah satu cara yang paling efektif untuk melakukan hal tersebut adalah dengan opsi menempatkan politisi-politisi terpercaya di masing-masing kubu politik yang terdapat di dalam negara kita. Hal ini dilakukan agar kubu-kubu tersebut tidak melakukan penolakan terhadap kita jika kita mengambil keputusan yang kontroversial, seperti menyatakan perang pada negara lain.
Menariknya, dalam persoalan politik dunia nyata, keadaan di Indonesia saat ini sepertinya tidak jauh berbeda dengan opsi yang bisa kita ambil dalam game Total War tadi.
Kita tengok saja berita deklarasi bakal calon presiden (bacapres) dan bakal calon wakil presiden (bacawapres), Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Cak Imin). Penunjukkan Cak Imin ini telah memunculkan asumsi bahwa semua poros yang akan bermain pada Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024) telah diisi oleh orang-orang terdekat Presiden Joko Widodo (Jokowi), karena Cak Imin dan PKB adalah salah satu pendukung yang paling setia pada Jokowi setidaknya semenjak Pemilihan Umum 2014 (Pemilu 2014).
Oleh karena itu, dengan masuknya Cak Imin ke poros Anies, lalu dengan fakta bahwa poros lain telah diisi oleh Prabowo Subianto, selaku Menteri Pertahanan (Menhan) Jokowi, dan Ganjar Pranowo, selaku orang yang berpartai sama dengan Jokowi, hampir bisa dipastikan bahwa terlepas dari poros manapun yang akan menang pada 2024, mereka adalah orang-orang yang memiliki kedekatan kepada Jokowi.
Hal ini lantas memunculkan pertanyaan menarik, mungkinkah ini artinya Jokowi telah menjadi salah satu presiden Indonesia yang pengaruh politiknya paling powerful?
Jokowi dan Kemunculan Kembali Integralisme Indonesia
Salah satu hal yang menarik tentang kepresidenan Jokowi adalah konsolidasi politik yang sangat kuat. Contoh yang mencolok adalah bergabungnya Ketua Umum Gerindra, Prabowo, ke dalam kabinet Jokowi pada tahun 2019. Konsolidasi ini bahkan menarik perhatian pengamat internasional, seperti Joshua Walker dari Australian National University.
Dalam artikelnya di New Mandala yang berjudul Captain, striker, and the integralist state, Walker mencermati bergabungnya Jokowi dan Prabowo pada tahun 2019 sebagai indikasi dari munculnya kembali teori integralisme Indonesia.
Teori yang pertama kali diperkenalkan oleh ilmuwan politik bernama David Bourchier ini, menjelaskan bahwa budaya politik Indonesia cenderung melihat persaingan dan oposisi politik sebagai gangguan terhadap stabilitas politik dan agenda pemerintahan. Bourchier mengembangkan teori ini berdasarkan pengamatannya terhadap pemerintahan Orde Baru (Orba). Integralisme Indonesia pada saat itu menurutnya membuat para politisi melihat Presiden Soeharto sebagai “Ayah” yang pandangannya selalu dianggap baik untuk Indonesia.
Yang menarik adalah, menurut pengamatan Bourchier, politik integralisme ini tidak berasal dari masa Orba, melainkan merupakan warisan politik dari masa kolonialisme Belanda. Saat Belanda membangun sistem politiknya di Indonesia, mereka membawa filosofi “negara organik,” yang menganggap negara sebagai organisme yang membutuhkan nutrisi untuk bertahan hidup.
Nah, cara untuk memastikan nutrisi selalu tersedia bagi negara adalah dengan memastikan bahwa sistem yang berlaku dapat berfungsi dengan konsisten dari waktu ke waktu, bahkan ketika pemimpinnya berganti. Menurut Bourchier, Belanda kemudian menerapkan ini dengan “memelihara” keluarga-keluarga priyayi tertentu di Indonesia.
Dasar teori ini menjadi dasar bagi klaim Walker bahwa Jokowi, melalui konsolidasi oposisinya, telah menjadi satu-satunya presiden setelah Reformasi yang mampu menghidupkan kembali integralisme Indonesia.
Namun, klaim teori yang disampaikan Walker sepertinya tidak hanya terbatas pada konsolidasi politik saja. Dengan pengisian semua poros Pilpres 2024 oleh orang-orang dekat Jokowi, tampaknya integralisme versi Jokowi telah mencapai tingkat baru yang signifikan, di mana hampir bisa dipastikan terlepas dari poros manapun yang memenangkan Pilpres 2024 nanti, mereka akan diisi oleh orang-orang yang kemungkinan besar akan melanjutkan program-program peninggalan Jokowi.
Apalagi, narasi yang disampaikan Jokowi ketika dirinya dituding cawe-cawe persoalan Pilpres 2024 pada Juni silam adalah hal tersebut perlu dilakukannya karena Indonesia harus punya sinergi antar periode pemerintahan agar bisa menjadi negara maju. Bila kita berkaca pada teori yang disampaikan Walker, ini adalah indikasi kuat bahwa Jokowi, entah sadar atau tidak, sepertinya memang telah membangkitkan integralisme Indonesia dan filosofi negara organik.
Lantas, pertanyaan lanjutannya adalah, bagaimana ini semua akan berdampak pada legacy Jokowi?
Ter-powerful Setelah Soeharto?
Peradaban manusia diduga kuat baru mulai belajar mencatat sejarah pada 5.000 tahun lalu, melalui relief-relief yang ditinggalkan oleh kerajaan-kerajaan di Mesopotamia. Akan tetapi, selama 5.000 tahun itu, peradaban manusia modern hanya mengingat beberapa kejadian penting saja yang memang memiliki keunikan ceritanya tersendiri.
Namun, sejarah Pilpres 2024 yang digadang-gadangkan akan diisi oleh “All Jokowi’s Men” sepertinya akan menjadi catatan sejarah yang paling diingat. Ini karena semenjak Indonesia melaksanakan Pemilu setelah reformasi, Pilpres kita selalu diisi oleh kandidat-kandidat yang berasal dari kubu yang berlawanan. Sekarang, untuk pertama kalinya, mereka akan diisi oleh orang-orang yang punya kedekatan dengan presiden yang sedang berkuasa.
Atas dasar ini, bisa kita asumsikan bahwa Jokowi mungkin saja akan menjadi presiden kedua Indonesia yang pengaruh politiknya paling powerful, setelah Soeharto. Tentunya, kita tidak bisa mengatakan bahwa pemerintahan yang selanjutnya akan benar-benar “sama” dengan rezim Jokowi sekarang, akan tetapi kalau kita berkaca pada pernyataan dari Prabowo atau Ganjar, yang berniat ingin melanjutkan pembangunan rezim sekarang, mungkin saja wanti-wanti integralisme yang diperingatkan Walker adalah sesuatu yang nyata.
Sebelumnya, patut diingat bahwa ini bukan berarti keberlanjutan adalah sesuatu yang buruk bagi demokrasi. Kalau kalian adalah orang yang meyakini filosofi negara organik, jelas sah-sah saja bila kalian percaya bahwa pemerintahan selanjutnya harus diisi oleh orang-orang yang bisa melanjutkan pembangunan peninggalan pemerintahan sebelumnya.
Terlebih lagi, pemerintahan Jokowi memang meninggalkan beberapa program yang memerlukan sinkronitas tinggi dengan pemerintahan selanjutnya agar dapat selesai, contoh besarnya tentu adalah program Ibu Kota Negara (IKN).
Pada akhirnya, tulisan ini hanya membawa kita semua kepada perenungan, apakah fenomena All Jokowi’s Men ini adalah bukti bahwa jiwa politik Indonesia merupakan politik “gotong royong”? Atau justru ini semua adalah sesuatu yang secara perlahan harus kita ubah kembali? Well, mungkin ini bisa jadi bahan renungan yang menarik sebelum kita tidur malam ini. (D74)