HomeNalar PolitikJokowi-Prabowo, Siapa Pilihan AS?

Jokowi-Prabowo, Siapa Pilihan AS?

Tulisan di Future Development Brookings Institute soroti arti Pilpres 2019 bagi Amerika Serikat.


Pinterpolitik.com

[dropcap]P[/dropcap]ilpres 2019 dianggap sebagai pertaruhan bagi demokrasi yang ada di negeri ini. Banyak penulis dari mancanegara menyoroti masa depan demokrasi Indonesia melalui masing-masing kandidat yang ada. Salah satu sorotan ini muncul misalnya dalam Future Development milik Brookings Institute.

Dalam tulisan yang dibuat oleh Lex Rieffel bersama Alexander Arifianto, digambarkan bagaimana Amerika Serikat (AS) akan memandang hasil Pemilu Indonesia dan pengaruhnya dalam konteks demokrasi. Tulisan tersebut mengambil kesimpulan bahwa hubungan AS dan Indonesia cenderung akan lebih baik dari sisi tersebut jika kandidat nomor urut 01, Joko Widodo (Jokowi) yang memenangkan pertarungan secara telak.

Kesimpulan tulisan tersebut tergolong menarik seiring dengan munculnya isu bahwa ada intervensi asing di Indonesia. Dalam konteks tersebut, pertanyaan apakah benar AS cenderung akan lebih menyukai Jokowi menjadi hal yang penting untuk diketahui lebih lanjut.

Lalu, apakah benar anggapan bahwa hubungan AS akan lebih baik jika Jokowi berhasil memenangi pertarungan dari Prabowo Subianto dan mengapa tulisan di Brookings Institute itu bisa mengambil kesimpulan demikian?

Menjaga Hubungan dengan Paman Sam

Demokrasi kerap menjadi slogan utama bagi negara-negara Barat, terutama AS. Bagi negeri Paman Sam tersebut, penyelenggaraan demokrasi di suatu negara kerap menjadi salah satu alasan mereka untuk menjalin hubungan.

Dalam konteks Indonesia belakangan ini, demokrasi memang tengah berada dalam tanda tanya besar. Penulis seperti Tom Power atau Edward Aspinall dari Australia menyoroti adanya pergeseran menuju otoritarianisme di era saat ini. Oleh karena itu, Pilpres 2019 menurut mereka akan menjadi pertaruhan apakah demokrasi tersebut akan berlanjut atau tidak.

Menurut Rieffel dan Arifianto dalam tulisan di Future Development, disebutkan bahwa baik Jokowi maupun Prabowo sama-sama sosok yang kurang berkomitmen kepada demokrasi. Mereka menyebut bahwa Indonesia kemungkinan akan sedikit menjauh dari demokrasi dalam waktu dekat.

Dalam tulisan tersebut digambarkan bahwa Jokowi memiliki  kecenderungan lebih tinggi untuk terhubung dengan nilai-nilai AS ketimbang dengan pemerintahan di bawah kendali Prabowo. Rieffel dan Arifianto menyebut bahwa pemerintahan Jokowi akan lebih menghormati HAM dan juga pelaksanaan hukum.

Sementara itu, Prabowo digambarkan sebagai pemerintahan yang akan lebih disukai oleh Presiden AS saat ini, Donald Trump. Hal ini dikarenakan Prabowo memiliki pendekatan yang kuat dan cenderung otoriter pada kebijakan domestik dan kebijakan luar negeri yang lebih keras.

Berdasarkan hal terebut, mereka kemudian menyebut bahwa Jokowi akan menjadi kandidat yang lebih baik bagi hubungan Indonesia-AS dalam jangka panjang. Ia disebut memiliki kemungkinan lebih besar untuk memperbaiki institusi demokrasi yang ada di Indonesia.

Haluan Lembaga

Brookings Institution sendiri merupakan sebuah institusi think tank yang memproduksi penelitian yang mendalam. Berdasarkan yang tertulis dalam laman resminya, Brookings Institution menyebut bahwa penelitian yang mereka buat dimaksudkan untuk menciptakan ide baru untuk menyelesaikan masalah di tingkat lokal, nasional dan global.

Secara spesifik, laman Future Development milik Brookings Institution sebenarnya memiliki profil tersendiri. Rubrik blog ini mulanya hadir di situs milik Bank Dunia di tahun 2013, sebelum akhirnya hadir di situs Brookings Institution di tahun 2015.

Jika dilihat dalam jajaran kontributornya, blog tersebut memang banyak diisi oleh penulis yang terafiliasi dengan Bank Dunia. Ada nama seperi Shanta Devarajan yang menjabat sebagai Senior Director, Development Economics di Bank Dunia dan Wolfgang Fengler yang adalah Lead Economist, Trade and Competitiveness di lembaga internasional tersebut.

Dari segi politik, Brookings sebenarnya mengklaim diri sebagai institusi yang bersifat non-partisan. Meski begitu, beberapa pihak mencoba membedah posisi politik dari lembaga tersebut. Hasilnya, sebagian besar media maupun institusi lain melabeli Brookings sebagai intitusi yang berhaluan tengah dan juga liberal.

Memang, dalam beberapa kesempatan, lembaga ini juga dicap sedikit berhaluan konservatif. Cap ini diberikan misalnya oleh blogger politik terkemuka AS, Matthew Yglesias. Meski begitu, jika dilihat, lembaga ini memang lebih banyak dicap liberal atau tengah.

Dilihat dari afiliasi politik, sebenarnya posisi lembaga tersebut cukup terbaik antara Partai Republik maupun Demokrat. Para ahli dari lembaga ini sama-sama pernah mengabdi untuk pemerintahan di bawah kendali Republik maupun Demokrat.

Meski demikian, jika dilihat dari total donasi dari lembaga ini, ada kecenderungan Brookings lebih dekat dengan Demokrat. Jika ditotal, sejak Pemilu 1990, anggota Brookings Institution menyumbangkan US$ 853,017 kepada kandidat dari Demokrat dan US$ 26,104 kepada kandidat dari Republik. Jika dipersentasekan, 96 persen donasi dari lembaga ini lari untuk kandidat dari Demokrat.

Dari segi pendanaan, Brookings sebenarnya menerima banyak jenis donor untuk operasi mereka. Pada tahun 2014 misalnya, mereka sempat mengalami kontroversi di mana terungkap fakta bahwa organisasi tersebut menerima dana dari pihak asing. Kedutaan Besar Qatar misalnya, hingga saat ini masih tercatat sebagai salah satu pendonor tertinggi lembaga tersebut.

Di luar itu, lembaga ini juga menerima pendanaan dari pihak lain seperti perorangan, lembaga donor atau korporasi. Dalam jajaran pendonor tertinggi, ada nama-nama Anne T. dan Robert M. Bass, Bill & Melinda Gates Foundation, The Hutchins Family Foundation, Philip Knight dan David M. Rubenstein.

Nama-nama itu tergolong menarik. Anne dan Robert Bass misalnya, tercatat banyak memberikan dana untuk kandidat dari Partai Demokrat. Sementara itu, Philip Knight, sang pendiri Nike, belakangan memberikan dukungan kepada kandidat dari Partai Republik untuk posisi Gubernur Oregon.

Tak hanya itu, berdasarkan artikel laman berita Forbes, Brookings diketahui mendapatkan pendanaan dari sejumlah institusi pemerintah termasuk Kantor Kepresidenan Barack Obama. Artikel tersebut menggambarkan bahwa Brookings menerima banyak bantuan dari pemerintahan Obama dan kelompok-kelompok yang terafiliasi dengan pemerintah. Hal ini membuat Brookings Institution dianggap cenderung partisan dan dekat dengan kepentingan kekuasaan dan di sekelilingnya.

Kecenderungan Politik

Jika melihat pada hal-hal tersebut, maka bisa ditarik spekulasi mengapa Brookings Institution berkesimpulan bahwa Jokowi dianggap lebih baik untuk hubungan Indonesia-AS dan lebih berpotensi memperbaiki institusi demokrasi di Indonesia.

Secara haluan politik, Brookings cenderung lebih ke tengah dan liberal. Tak hanya itu, lembaga ini juga pernah menikmati bantuan dana di era pemerintahan Obama. Selain itu, 96 persen donasi politik dari lembaga tersebut ternyata berlabuh untuk kandidat dari Partai Demokrat.

Dalam konteks tersebut, menurut Mahmood Ahmad, lembaga think tank yang menerima dana dari kelompok tertentu, memiliki kecenderungan untuk bekerja sesuai dengan keinginan pemberi dana tersebut. Sementara, Brookings sempat menikmat banyak dana dari pemerintahan Obama dan kelompok-kelompok di sekelilingnya.

Merujuk pada hal tersebut, ada kecenderungan bahwa mereka akan berjarak dengan pemerintahan AS saat ini di bawah Donald Trump yang menjadi ‘musuh’ dari Partai Demokrat dan kelompok-kelompok liberal. Boleh jadi ada kecenderungan bahwa pihak yang tak sejalan dengan Trump, akan mendapat nada lebih positif dari organisasi tersebut.

Brookings Institute rilis tulisan yang sebut hubungan AS-Indonesia lebih baik jika Jokowi menang telak. Share on X

Kondisi Brookings yang demikian tergolong jauh dengan penggambaran sosok Prabowo  di Indonesia. Prabowo misalnya kerap dianggap sebagai sosok yang lebih ke kanan ketimbang Jokowi. Tak hanya itu, dalam tulisan tersebut juga telah nyata bahwa Prabowo mirip dengan Trump.

Berdasarkan hal-hal tersebut, boleh jadi memang ada alasan mengapa Jokowi dianggap lebih baik untuk AS dalam jangka panjang merujuk pada tulisan itu, padahal komitmen Jokowi pada demokrasi sedang amat dipertanyakan. Jokowi memiliki kecenderungan lebih dekat atau mirip dengan Demokrat jika dibandingkan Prabowo yang lebih mirip dengan Trump.

Selain itu, melihat bahwa blog Future Development mulanya berasal dari Bank Dunia dan diisi oleh kontributor terafiliasi lembaga tersebut, ada kecenderungan lain yang membuat tulisan itu bisa berkesimpulan Jokowi lebih baik untuk AS. Belakangan, pemerintahan Jokowi memang tengah membangun relasi dekat dengan Bank Dunia.

Kedekatan  Jokowi dengan Bank Dunia itu bisa saja menguatkan bahwa ada hal lain yang mendasari argumen dari tulisan tersebut. Sebagai blog yang diasuh oleh lembaga internasional tersebut, boleh jadi ada kecenderungan untuk bertendensi pada pihak yang lebih dekat pada Bank Dunia seperti Jokowi.

Pada akhirnya, tidak ada yang tahu pasti siapa yang dianggap paling demokratis oleh AS. Tulisan di Future Development Brookings Institute itu hanyalah satu penggambaran peluang saja, selebihnya hanya Paman Sam yang tahu hatinya untuk siapa. (H33)

Baca juga :  Haji Isam: Yury Kovalchuk-nya Prabowo?
spot_imgspot_img

#Trending Article

Mistikus Kekuatan Dahsyat Politik Jokowi?

Pertanyaan sederhana mengemuka terkait alasan sesungguhnya yang melandasi interpretasi betapa kuatnya Jokowi di panggung politik-pemerintahan Indonesia meski tak lagi berkuasa. Selain faktor “kasat mata”, satu hal lain yang bernuansa dari dimensi berbeda kiranya turut pula memengaruhi secara signifikan.

Ketika Chill Guy Hadapi PPN 12%?

Mengapa meme ‘Chill Guy’ memiliki kaitan dengan situasi ekonomi dan sosial, misal dengan kenaikan PPN sebesar 12 persen pada Januari 2025?

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...