Diskursus tentang populisme otoritarian semakin hangat akhir-akhir ini. Perbincangan tersebut turut menyeret kondisi politik di Indonesia jelang Pilpres 2019.
Pinterpolitik.com
“Memang ada sebuah sepatu berbentuk populisme, namun tak ada satu pun kaki yang cocok mengenakannya.”
:: Isaiah Berlin ::
[dropcap]S[/dropcap]alah satu diskursus politik yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan publik adalah menguatnya populisme otoritarian.
Jurnalis Max Walden dalam sebuah tulisan di Al Jazeera menyebutkan bahwa di tengah menguatnya pemimpin populis otoriter serta tren kemunduran demokrasi secara global, Indonesia dan Malaysia akan menjadi “suar” demokrasi.
Sementara beberapa penilitian lain menyebutkan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang akan terkena dampak dari “angin” populisme otoritarian tersebut, termasuk mewabah dalam diri Prabowo Subianto maupun Joko Widodo (Jokowi) – dua kandidat yang akan bertaruk pada Pilpres 2019 mendatang.
Tentu saja dua pendapat yang saling bertolak belakang tersebut memiliki nilai kebenarannya sendiri-sendiri, sehingga semakin menarik untuk diperbincangkan.
Apakah kekecewaan terhadap kinerja demokrasi di Indonesia akan benar-benar melahirkan masyarakat yang kritis, atau malah melahirkan pemilih yang merindukan pemimpin populis tapi otoritarian yang ditandai oleh kehadiran pemimpin kuat?
Menguatnya Populisme Otoritarian
Bulan lalu, negara berpenduduk paling padat di Amerika Latin, Brazil, memilih presiden barunya. Jair Bolsonaro, seorang mantan militer dan senator sayap kanan yang dikenal karena pandangan pro-senjata dan pro-penyiksaan, memenangkan kontestasi yang diwarnai berbagai skandal tersebut.
Di tempat lain di dunia, Presiden Tiongkok Xi Jinping, Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Turki Recep T. Erdogan, Perdana Menteri Hungaria Viktor Orban, dan Presiden Filipina Rodrigo Duterte adalah beberapa nama yang telah mendominasi berita utama pemimpin yang memelopori pawai otoritarianisme dunia. Bahkan, presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump oleh beberapa pihak dianggap sedang menuju arah yang sama.
Pada Januari 2018, Indeks Demokrasi Economist Intelligence Unit melaporkan bahwa demokrasi elektoral melanjutkan “kemunduran yang mengganggu” di seluruh dunia. Bahkan majalah Time beberapa waktu lalu menyatakan bahwa pola dasar pemimpin baru telah muncul. Dunia saat ini berada di era para pemimpin yang kuat (strongman).
Kondisi ini menggambarkan bahwa populisme bisa mendapatkan persemaian yang subur di tengah masyarakat yang menghadapi krisis. Situasi krisis ini secara akurat didefinisikan oleh Christina Deiwiks dalam tiga bentuk.
Pertama, kondisi krisis ekonomi, kemiskinan, pengangguran, ketimpangan pertumbuhan, dampak globalisasi, eksploitasi sumber daya alam dan lain-lain, menjadi humus yang subur bagi lahirnya klaim-klaim populisme.
Kedua, populisme merupakan kritik tajam atas kegagalan demokrasi representatif (representative democracy). Ketiga, kesenjangan ekonomi yang terjadi di tengah masyarakat ditambah ketimpangan janji-janji demokrasi tersebut, kemudian dimanfaatkan oleh pemimpin-pemimpin populis untuk retorika politik yang melenakan.
Sementara itu, dalam bukunya, Margaret Canovan membagi populisme menjadi tiga jenis.
Pertama, populisme wong cilik, yang berorientasi pada petani, borjuis kecil, kaum buruh, dan selalu antagonistik terhadap elite politik dan kaum borjuasi besar yang dianggap selalu punya skenario untuk menindas rakyat kebanyakan. Populisme jenis ini tidak sepakat dengan ide-ide kemajuan yang merupakan produk kapitalisme yang sangat ditentangnya.
Kedua, populisme revolusioner, yang merupakan perwujudan kolektif menolak segala macam bentuk elitisme dan ide-ide tentang kemajuan, serta menggalang ide-ide pembaruan yang revolusioner. Tatanan dan institusi politik dinilai tidak lebih dari perwujudan dominasi elite atas rakyat, sehingga harus diubah dan direbut melalui dukungan penuh pada pemimpin revolusioner yang dianggap mewakili kepentingan rakyat banyak.
Dan terakhir, yang ketiga, populisme otoriter, yang mengharapkan munculnya para pemimpin kharismatik dari sebuah proses demokratis. Pemimpin yang lahir dari jenis ini bisa mengarah pada otoritarianisme dan totaliter jika lama berkuasa.
Saat ini, kecenderungan arah rezim di banyak negara adalah populisme otoritarian. Angin perubahan ini didorong oleh menguatnya populisme, yang secara bersamaan dengan tumbuhnya tingkat ketidakpercayaan publik pada sistem demokrasi. Seperti yang ditulis The Economist pada 2016, bahwa di berbagai belahan dunia – dari Rusia hingga Tiongkok, serta dari India hingga Mesir – kepimimpinan “macho” yang identik dengan sosok strongman tengah mengambil tempat.
Populisme otoritarian mengharapkan lahirnya para pemimpin kharismatik yang melampaui politisi medioker. Walaupun demikan, meski Jair Bolsonaro misalnya, terpilih secara demokratis sebagai presiden, ia menang bukan melalui proses rasionalitas politik, tapi atas dasar ikatan irasionalitas Bolosonarian – sebutan untuk pendukungnya – yang mengidolakan pemimpin yang kuat dan kharismatis.
Populisme jenis ini kemudian melahirkan kultus sehingga Bolsonaro yang populis bisa memerintah melalui cara-cara yang tidak demokratis. Perihal tersebut sudah disampaikan oleh Bolsonaro pada waktu kampanyenya, misalnya saja ia akan menggunakan instrumen kekerasan untuk melawan kelompok kriminal.
Apa yang dilakukan oleh Bolsonaro ini juga dilakukan oleh Duterte di Filipina, Putin di Rusia, dan banyak pemimpin lainnya.
Populisme Otoriter Indonesia, mungkinkah?
Jika demikian, di manakah posisi Jokowi dan Prabowo dalam arus populis otoritarian tersebut?
Beberapa penelitian sudah menyebutkan bahwa dua tokoh yang akan bertarung pada Pilpres 2019 ini memiliki peluang untuk menjadi populis otoriter.
Misalnya saja Edward Aspinall, dalam Oligarch Populism: Prabowo Subianto’s Challenge to Indonesian Democracy menyebut bahwa populisme Prabowo sebagai populisme oligarkis (oligarch populism) dengan kecenderungan populisme otoritarian. Prabowo memang kerap mengkritik para elite. Namun, latar belakang dirinya yang nyatanya berasal dari kelompok elite mau tidak mau membuat sudut pandang Prabowo menjadi bias.
Prabowo menjual isu tentang kebocoran kekayaan nasional, utang, melambatnya pertumbuhan ekonomi, hingga isu-isu nasionalisme lainnya yang memiliki kecenderungan pada sikap ultranasionalis, yang justru spesifik pada isu kelompok etnis atau ras tertentu.
Pergerakan spektrum Prabowo yang ada di “kanan”, menempatkan dirinya pada jajaran bertipikal populis otoritarian, seperti yang diidentifikasi oleh Aspinall.
Di pihak lain, Jokowi juga disebut sebagai sosok yang “memutar” haluannya menjadi otoriter, sejalan dengan yang diteliti oleh Tom Power, akademisi dari Australia National University. Menurut Power, Jokowi telah memanfaatkan instrumen negara untuk kepentingan Pilpres 2019.
Misalnya saja dengan mempolitisasi lembaga hukum sampai instansi militer demi memenuhi tujuan politiknya. Jokowi dinilai takut menghadapi isu-isu yang selama ini mendera dirinya, oleh sebab itu ia berlaku lebih ofensif dengan melucuti peluang kekuatan lawan.
Sayangnya, tendensi pro-otoriter tidak hanya bisa ditemukan di Indonesia. Brexit di Inggris, kejayaan Trump di Amerika, populisme Le Pen di Perancis, atau suksesnya propaganda anti-imigrasi Viktor Orban di Hungaria juga menunjukkan indikasi tren yang sama di seluruh dunia.
— Zahra Amalia (@zahraamalias) November 26, 2018
Namun, tesis keduanya tidak cukup kuat sebab belum ada bukti yang benar-benar menunjukkan Jokowi ataupun Prabowo akan menjadi sosok populis otoritarian, katakanlah seperti yang ditampilkan Bolsonaro atau Duterte.
Jokowi, meskipun sudah dicap oleh Power sebagai pemimpin yang kini otoriter, namun tidak membatasi kebebasan pers dan media maupun mengancam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti yang terjadi di negara-negara Asia Tenggara lainnya, katakanlah di Thailand atau Myanmar misalnya. Jokowi di sisi yang lain malah cenderung menopang dukungan melalui pembangunan infrastruktur dan membela kepentingan masyarakat kecil, seperti pemberian sertifikat tanah atau dana desa.
Sementara pada Prabowo, kesan strongman sebenarnya lebih melakat pada dirinya. Kondisi itu tidak terlepas dari fakta historisnya yang pernah menjadi bagian dari tentara. Selain itu, sikapnya yang tegas dan mengebu-gebu saat di atas podium menguatkan dugaan tersebut.
Namun, bagi Prabowo untuk menjadi pemimpin yang otoriter mungkin saja tidak akan benar-benar terjadi. Sebab, Prabowo sendiri dikelilingi oleh banyak kelompok dan juga banyak kepentingan.
Selain itu, dengan partisipasi aktif dari masyarakat akan memungkinkan kecilnya tokoh populis otoriter. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Max Walden seperti disebutkan di awal, bahwa sejak reformasi, pondasi demokrasi Indonesia semakin kuat.
Sejak saat itu, terlihat fenomena kebebasan media atau pers yang semakin cair. Munculnya aktor-aktor politik non tradisional – termasuk anggota serikat pekerja, aktivis hak asasi manusia dan kelompok feminis – juga menjadi tanda sistem demokrasi masih bekerja. Selain itu, kebangkitan kelompok Islamis yang kuat serta berdirinya lembaga anti korupsi dan perlindungan hak asasi manusia adalah cermin bahwa Indonesia masih akan merasakan demokrasi lebih lama.
Terkait hal tersebut, Saiful Mujani, William Liddle serta Kuskridho Ambardi dalam buku berjudul Voting Behavior in Indonesia Since Democratization: Critical Democrats menyebutkan bahwa gairah politik Indonesia masih bagus. Ketiga penulis tersebut berkesimpulan bahwa semenjak reformasi, telah lahir kelompok yang dinamakan dengan demokrat kritis.
Kelompok ini berkomitmen tinggi pada demokrasi, tapi amat kritis terhadap pengejawantahannya. Tidak aneh jika mereka menuntut kualitas demokrasi dan kinerja pemerintah yang lebih baik.
Secara optimistis mereka menyebut bahwa masa depan demokrasi Indonesia cukup cerah. Sebab, masyarakat sipil yang aktif terlibat dalam penentuan kebijakan publik dan perang melawan korupsi serta berpartisipasi dalam Pemilu akan melahirkan kepemimpinan nasional yang menyumbang bagi konsolidasi dan jalan demokrasi.
Muslim Sebagai Penyangga Demokrasi
Walden dalam analisisnya tersebut juga memasukkan unsur Islam sebagai perekat bagi sistem demokrasi di Indonesia. Meski para pengamat politik dari Barat berpendapat bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi, namun sejak tahun 2004 Indonesia telah menyelenggarakan Pemilu yang berlangsung kompetitif dan dianggap bebas serta adil oleh para pengamat lainnya.
Kelompok muslim Indonesia didominasi oleh muslim moderat, di mana mereka biasanya aktif terlibat dalam proses-proses demokrasi. Terkait hal tersebut, Robert W. Hefner, Indonesianis asal AS, memberikan komentar sehubungan dengan meningkatnya populisme sejak Pilkada DKI Jakarta 2017.
Pemimpin populis otoriter tidak akan lahir di Indonesia selama adanya kelompok masyarakat yang demokrat kritis. Share on XIa mengatakan bahwa kelompok Islam di Indonesia majemuk dan dewasa dalam partisipasi politik. Modal ini bisa digunakan untuk mendorong proses demokrasi yang semakin kuat.
Dukungan pada demokrasi merupakan salah satu kebijaksanaan masyarakat yang diperlukan bagi penguatan demokrasi di Indonesia. Dukungan masyarakat terhadap pemerintah, maupun terhadap nilai-nilai demokrasi seperti nilai kebebasan sipil, toleransi terhadap perbedaan, sikap percaya pada sesama, serta partisipasi dalam kehidupan sosial, berkorelasi dengan indeks demokrasi yang diukur secara objektif.
Oleh sebab itu, dengan dukungan tersebut akan mencegah pemerintahan demokrasi jatuh ke dalam kekuasaan otoriter.
Jika demikian, apakah Jokowi atau Prabowo akan menjadi pemimpin yang populis otoriter kelak? Tidak ada yang tahu pasti, sehingga menarik untuk ditunggu. Apalagi, diskursus politik saat ini begitu cair. (A37)