Site icon PinterPolitik.com

Jokowi-Prabowo Rebutan Milenial

Jokowi-Prabowo Rebutan Milenial

Foto: Tampang.com

“Ma’ruf Amin itu Milenial juga, dan Milenial itu bukan masalah umur,” – Oesman Sapta Odang, Ketum Partai Hanura


Pinterpolitik.com

[dropcap]D[/dropcap]ari ratusan juta penduduk dengan varian kelompok yang ada di Indonesia, nampaknya kelompok milenial memiliki tempat khusus bagi dua kubu yang akan berkontestasi di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 nanti.

Pemberitaan politik sehari-hari selalu dihiasi oleh pernyataan yang menyebut tentang milenial. Tidak mengherankan jika para capres-cawapres beserta partai koalisinya saling mengklaim dirinya paling milenial, meski sering “maksa” dan akhirnya terkesan konyol.

Misalnya saja pernyataan Ketua Umum Partai Hanura, Oesman Sapta Odang (OSO), yang menilai bahwa Ma’ruf Amin adalah kiai yang milenial. Ini sama halnya dengan pernyataan Sandiaga Uno, cawapres yang mendampingi Prabowo Subianto, yang menganggap bahwa the new Prabowo orangnya sangat asik dan cair, dengan begitu bisa lebih dekat dengan kelompok milenial.

Dua klaim tersebut menunjukkan bahwa kata milenial kini menjadi komoditas politik. Lantas, kenapa milenial menjadi penting dalam perhelatan Pilpres mendatang dan bagaimana para kandidat melakukan pendekatan untuk memikat suara kelompok tersebut?

Milenial itu Siapa?

William Strauss dan Neil Howe secara luas dianggap sebagai pencetus istilah milenial. Mereka menciptakan terminologi ini pada tahun 1987. Tulisan tentang kelompok milenial bisa ditemukan dalam buku-buku mereka, misalnya Generations: The History of America’s Future Generations, 1584 to 2069 (1991) dan Millennials Rising: The Next Great Generation (2000).

Kelompok ini yang lahir antara tahun 1982-2004, menurut mereka akan menguasai peta peradaban di milenium baru. Sebab, kelompok milenial lahir dan besar di era informasi dan teknologi, mereka menguasainya dan menjadikannya sebagai alat untuk berkuasa – menggantikan dua ‘mainan’ usang abad 20: ideologi dan perang.

Generasi milenial adalah kelompok yang secara diakronik (antar waktu) menjalani perkembangan pesat teknologi informasi tersebut. Hal ini kemudian yang melekatkan identitas high-tech pada kelompok milenial.

Berdasarkan data Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) pada Desember 2017, jumlah generasi milenial dengan rentang umur 17-34 tahun mencapai 34,4 persen dari total 265 juta populasi Indonesia. Pemilih dalam rentan usia ini bisa naik hingga 55 persen pada 2019 nanti. Sementara itu, KPU memprediksi jumlah pemilih muda saat ini diperkirakan mencapai 70-80 juta atau 35-40 persen dari 139 juta pemilih.

 

Sementara itu, survei yang dilakukan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) bertajuk “Ada Apa dengan Milenial? Orientasi Sosial, Ekonomi, dan Politik” menunjukkan bahwa kelompok milenial lebih memilih televisi dan media online sebagai sumber informasi mereka, dibandingkan radio dan surat kabar.

Dalam survei tersebut tercatat, 79,3 persen kelompok milenial menonton televisi setiap hari dan 54,3 persen berselancar di media online. Sebaliknya, 57,2 persen generasi milenial mengaku tak pernah mendengarkan radio dan 56 persen tidak pernah membaca surat kabar.

Pada survei yang dilakukan CSIS tahun 2017 tersebut juga diketahui bahwa 81,7 persen milenial memiliki akun Facebook, 70,3 persen menggunakan Whatsapp, 61,7 persen merupakan pengguna Blackberry Messenger, 54,7 persen memiliki akun Instagram, 23,7 persen memiliki akun Twitter, dan 16,2 persen memiliki akun Path.

Artinya, dengan keterlibatan dan interaksi yang intensif dari kalangan milenial tersebut di media sosial menjadi penting dalam era internet seperti sekarang ini.

Dengan fakta tingginya kelompok milenial dan aktifnya mereka dalam dunia media sosial, tentu tidak mengherankan jika kelompok ini menjadi lahan subur bagi kepentingan politik elektoral. Apalagi, kampanye politik belakangan ini juga marak menyasar platform sosial media.

Julian Zelizer, dalam tulisannya di CNN dengan judul Who Will Grab Millennial Vote? menyebutkan bahwa suara kelompok milenial berpengaruh besar dalam pembuatan opini, penggalangan dana, serta pengorganisasian politik. Julian menulis hal tersebut untuk mengomentari Pilpres di Amerika Serikat tahun 2016.

Pernyataan tersebut nyatanya coba digunakan oleh para politikus di Indonesia untuk mendulang suara di tahun 2019 nanti. Banyak wacana tentang milenial yang dinarasikan oleh kontestan politik.

Misalnya saja Jokowi, setidaknya sudah dua kali sang petahana menggunakan simbol-simbol yang lekat dengan anak muda. Pada saat tur di Sukabumi beberapa waktu lalu, Jokowi datang membawa motor jenis chopper berwarna kuning emas. Gayanya menyita banyak perhatian, dan tentu saja menuai pro maupun kontra.

Yang terbaru, ketika Jokowi beraksi pada saat pembukaan Asian Games 2018 di Gelora Bung Karno. Jokowi melakukan aksi teatrikal dengan cara meloncati truk dan meliuk-liuk di gang sempit dengan motor gede – tentu saja dengan menggunakan pemeran pengganti (stuntman). Atraksi itu merupakan upaya Jokowi untuk mendekatkan diri kepada kelompok milenial pasca dikritik karena memilih generasi tua sebagai pendampingnya.

Sementara itu, di kubu lawan sudah melekat sosok milenial yang merepresentasikan anak muda dalam diri Sandiaga Uno. Sebagai orang termuda dari empat tokoh yang ada, Sandiaga dengan mudah melabeli diri paling milenial. Meski begitu, potret Sandiaga sebagai anak muda belum tentu sejalan dengan realisasi politik yang dijanjikan.

Perlombaan status paling milenial ini juga coba digunakan pada citra Prabowo. Melalui Sandiaga, sosok Prabowo coba direka ulang dengan label the new Prabowo, yang menurut Sandiaga lebih asik dan cair. Perubahan imaji ini seolah menggambarkan perubahan citra Prabowo yang sebelumnya tegas dan militeristik.

Pada titik ini, tak berlebihan jika rujukan milenial dalam ucapan politikus di Indonesia terkesan sekadar gimmick. Namun, gaya-gayaan itu bukannya tanpa efek. Masalahnya, membeli dukungan kaum muda selalu punya dampak yang tak main-main di Indonesia. Yang paling keras terkena dampak itu tak lain adalah anak muda sendiri.

Ke Mana Milenial di 2019?

Jika dikaji lebih jauh, sebenarnya apa sih yang bisa diberikan oleh kelompok milenial bagi pembangunan politik, khususnya di Indonesia?

Dengan besarnya ceruk pemilih milenial dalam Pilpres 2019, tentu ada peran penting yang bisa dimainkan oleh kelompok ini. Milenial tidak boleh hanya menjadi kelompok pasif apalagi hanya sebagai komoditas politik saja.

Kelompok ini unik, dan berbeda dengan generasi lain. Hal ini banyak dipengaruhi oleh masifnya penggunaan ponsel pintar, meluasnya internet dan munculnya jejaring media sosial. Ketiga hal tersebut banyak mempengaruhi pola pikir, nilai-nilai dan perilaku yang dianut.

Kelompok milenial adalah generasi yang “melek teknologi”. Hasil riset yang dirilis oleh Pew Research Center  secara gamblang menjelaskan keunikan kelompok ini dibanding generasi-generasi sebelumnya. Yang mencolok dari kelompok milenial dibanding generasi sebelumnya adalah soal penggunaan teknologi dan budaya pop/musik. Kehidupan kelompok milenial tidak bisa dilepaskan dari teknologi terutama internet dan hiburan seolah sudah menjadi kebutuhan pokok bagi generasi ini.

Dalam dunia politik, kelompok milenial akan menjadi aktor utama di Indonesia masa kini dan yang akan datang. Dengan jumlah yang cukup besar, mereka akan menjadi pemimpin masa depan, dan menjadi penentu ke mana arah negara ini akan tertuju.

Ella S. Prihatini, kandidat doktor University of Western Australia, pada akhir 2017 melakukan penelitian terhadap perilaku milenial Indonesia yang tengah memasuki tahun politik 2018-2019.

Hasilnya, dalam artikel berjudul Mapping the ‘Political Preferences’ of Indonesia’s Youth yang terbit di The Conversation, kebanyakan generasi milenial yang kesadarannya tumbuh di era reformasi ini sangat terbuka terhadap nilai-nilai kesetaraan gender, independen secara politik, serta berani mengambil pilihan ideologi politik yang berbeda dari lingkungan keluarga mereka.

Dengan bekal data di atas, setidaknya bisa dianalisa kelompok milenial ini dengan 3 karakteristik. Yang pertama, milenial adalah kelompok yang kreatif (creative). Kelompok ini biasa berpikir out of the box, kaya akan ide dan gagasan, serta mampu mengkomunikasikan ide dan gagasan tersebut dengan cemerlang.

Yang kedua, kelompok ini lebih terkoneksi (connected). Mereka adalah kelompok yang pandai bersosialisasi terutama dalam komunitas yang mereka ikuti, utamanya lewat media sosial.

Karakteristik ketiga ialah kepercayaan diri (confidence), yang mana generasi milenial ialah orang-orang yang sangat percaya diri, berani mengemukakan pendapat, dan tidak sungkan berdebat melalui medsos. Strauss dan Howe telah menyebut dua hal itu akan dipakai generasi milenial untuk berkuasa, maka penggunaan keduanya pun jelas menjadi sebuah laku politik.

Dengan karakter seperti itu, kelompok milenial setidaknya bisa memainkan peranan politik langsung yang terbuka dan kreatif. Kelompok milenial memiliki sikap politik yang dinamis dan peduli. Dalam hal ini, kebanyakan sikap politik mereka cenderung berbanding terbalik dengan generasi sebelumnya, meskipun tidak menutup kenyataan masih banyak juga milenial yang suka akan ide-ide konservatisme.

Dalam konteks Pilpres 2019, kelompok milenial bisa memberikan pendapatnya melalui lini media sosial yang mereka miliki, tentu pendapat itu harus disertai dengan tanggung jawab dan penuh dengan gagasan-gagasan yang membangun. Selain itu, kelompok ini bisa mengawal Pilpres ke arah yang progresif, menekan masing-masing kandidat untuk tidak larut dalam janji kampanye yang memabukkan.

Sulit membayangkan jika para politikus Indonesia hari ini benar-benar akan merealisasikan jargon-jargon politik mereka terkait kepentingan kelompok milenial. Nampaknya kelompok milenial hanya direproduksi sebagai bahan-bahan kampanye di media sosial demi pemenangan elektoral semata. Jadi, untuk kelompok milenial, sebaiknya tidak terbuai oleh janji-janji politikus.

Sudah sepatutnya jika kelompok milenial menjadi asa bagi kemajuan negara. Apalagi, tahun 2020 kelompok ini menjadi tulang punggung Indonesia, dengan rentang usia produktif 20 hingga 40 tahun. Tentu saja, masa depan ada di tangan mereka. (A37)

 

Exit mobile version