Site icon PinterPolitik.com

Jokowi-Prabowo Rebutan Jusuf Kalla?

Jokowi-Prabowo Rebutan Jusuf Kalla?

Dukungan JK akan menentukan siapa yang memenangkan Pilpres 2019. (Foto: Antara)

JK dikabarkan menolak untuk bergabung dengan tim pemenangan Jokowi-Ma’ruf. Pada saat yang sama ia juga menerima kunjungan Prabowo-Sandi dalam tajuk “sowan kekeluargaan”. Berbekal status king maker paling berhasil, publik masih menebak-nebak, akan ke mana dukungan politik Daeng Ucu nanti?


PinterPolitik.com

“Siapa bilang Jokowi tidak punya pengalaman. Dia kan gubernur DKI, pengalamannya lewat Wali Kota Solo. Tapi jangan tiba-tiba karena dia terkenal di Jakarta, tiba-tiba dicalonkan presiden, bisa hancur negeri ini, bisa masalah negeri ini.”

:: Jusuf Kalla, terkait wacana pencalonan Jokowi sebagai presiden di tahun 2013 ::

[dropcap]K[/dropcap]isah tentang Jusuf Kalla (JK) mungkin tidak semendebarkan pengakuan Profesor Mahfud MD tentang “penikungan” terhadap dirinya sebagai cawapres Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan segala macam intrik politik yang bertebaran di belakangnya. Namun, sama seperti Mahfud, faktor JK sepertinya akan menjadi salah satu penentu hasil akhir Pilpres 2019 nanti.

Setidaknya, hal itulah yang tergambar dari kunjungan pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno ke kediaman sang wapres sehari yang lalu. Pertemuan ini mungkin dianggap sebagai silaturahmi biasa oleh banyak pihak.

Prabowo sendiri misalnya mengakui bahwa ia menemui JK sebagai bagian dari budaya orang timur untuk sowan ke tokoh yang lebih senior. Prabowo mengakui jika dirinya dan JK sudah menjalin hubungan yang dekat untuk waktu yang cukup lama.

Kata-kata Prabowo ini tentu saja tipikal “cuap-cuap” politisi di depan kamera pewarta. Kita tentu ingat bagaimana pada Pilpres 2014 lalu situasi sedikit “panas” sempat terjadi dalam salah satu debat capres-cawapres. Kala itu JK yang berpasangan dengan Jokowi sempat menanyakan pertanyaan yang “menjebak” Prabowo tentang penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu – titik lemah karir politik sang jenderal.

Artinya, kunjungan Prabowo-Sandi kali ini tentu saja bukan hanya sekedar apa yang oleh Prabowo disebut sebagai “sowan kekeluargaan”. Tetapi lebih daripada itu, tentu saja kunjungan ini punya sifat yang sangat politis. Prabowo jelas berharap ada “restu” politis JK – dukungan bagi dirinya dan Sandi.

Harapan Prabowo ini bukan tanpa alasan, mengingat pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, JK adalah orang yang mengusulkan Anies Baswedan sebagai calon gubernur yang diusung oleh kubu Prabowo. Oleh karenanya, sangat wajar jika Prabowo berharap ada kesinambungan hubungan politik di antara keduanya untuk Pilpres 2019 nanti.

Sementara, nyatanya di kubu yang berbeda, posisi politik JK juga sangat diharapkan oleh Jokowi. Sang petahana sempat menawarkan JK untuk menjadi ketua tim pemenangan. Belakangan, JK disebut menolak tawaran tersebut, sehingga banyak pihak bertanya-tanya, akan ke mana dukungan politik sang wapres untuk Pilpres 2019 nanti.

Kubu Jokowi sendiri mengklaim JK akan menjadi bagian dari tim pemenangannya, sekalipun hanya bagian dari dewan pengarah saja. Namun, klaim tersebut menimbulkan kesan bahwa JK tetap diharapkan menjadi bagian dari pendukung Jokowi. Sementara, di kubu Prabowo pun ada kesan bahwa JK diharapkan kembali memberikan “restu”, sama seperti pada Pilkada DKI Jakarta lalu.

Ini menunjukkan ada perebutan pengaruh JK oleh dua kandidat yang akan bertarung nanti. Tentu pertanyaannya adalah seberapa signifikan pengaruh JK terhadap hasil akhir Pilpres nanti?

JK, The Real King Maker?

Faktanya, jika kita tarik ke belakang, JK hampir selalu menjadi bagian dari kemenangan politik dalam panggung politik nasional.

Pada tahun 2004 misalnya, siapa yang menduga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Partai Demokrat yang baru seumur jagung bisa memenangkan kontestasi Pilpres. Faktor JK sebagai cawapres memainkan porsi yang cukup besar bagi kemenangan SBY – yang oleh think tank milik Kongres Amerika Serikat, Congressional Research Service (CRS) disebut sebagai the thinking general. 

Peniliti LIPI, Ikrar Nusa Bakti pada saat itu menyebut bahwa JK punya setidaknya beberapa faktor yang menunjang kemenangan SBY, antara lain pengaruh yang besar di Indonesia timur, perannya yang besar dalam menyelesaikan konflik di beberapa wilayah (Poso, Maluku, Aceh), posisinya sebagai pengusaha sekaligus teknokrat yang religius, serta track record yang cukup baik.

Hal serupa juga terjadi pada Pilpres 2014 ketika JK berpasangan dengan Jokowi. Kalla effect – jika boleh disebut demikian – mampu mengantarkan Jokowi menjadi orang nomor satu di negeri ini. Padahal, saat itu Jokowi justru digadang-gadang akan berpasangan dengan Abraham Samad.

Pada akhirnya, pilihan dijatuhkan kepada JK yang nyatanya saat itu sudah tidak lagi berkuasa di Partai Golkar. Tanpa Golkar pun JK masih mampu membawa kemenangan untuk Jokowi, berbekal pengaruh ketokohannya yang masih kuat.

Lain lagi dengan kasus Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Saat itu, JK bahkan disebut-sebut punya dukungan politik yang berseberangan dengan Jokowi. Jokowi mendukung partnernya saat memimpin Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Sementara, JK mendukung Anies Baswedan yang kala itu diusung oleh Prabowo.

Bahkan nama Anies disebut-sebut sebagai usulan dari JK. Lagi-lagi, JK berhasil membawa pasangan tersebut memenangkan kontestasi politik di ibukota – terlepas dari berbagai selentingan yang beredar bahwa ia ikut “mendukung” penggunaan isu SARA yang pada akhirnya mengguncang posisi politik Jokowi sebagai kepala negara.

Dari ketiga konteks kontestasi elektoral tersebut, jelas terlihat faktor JK punya dampak yang sangat besar bagi kemenangan kontestan tertentu. JK terlihat lebih sukses menjadi king maker ketimbang bertarung untuk dirinya sendiri.

Dominannya faktor king maker pada JK itu terbukti saat Pilpres 2009 ketika pria yang dikenal dengan nama kecil Daeng Ucu itu maju sebagai capres dan ia harus gigit jari menjadi kontestan peraih suara paling sedikit.

Sementara sebaliknya, di 2004 dan 2014, JK menjadi faktor penentu kemenangan SBY dan Jokowi. Bayangkan, jika tahun 2004 SBY tak berpasangan dengan JK, maka bermodalkan Demokrat sebagai partai baru, SBY tentu lebih kesulitan memperoleh kemenangan, bahkan mungkin saja akan kalah dari Megawati Soekarnoputri sebagai petahana.

Hal yang sama juga terjadi pada Jokowi di 2014. Jika tidak berpasangan dengan JK, sangat mungkin Jokowi tidak akan mampu meraih kursi RI-1, mengingat hasil akhir perolehan suara dua kandidat saat itu cukup tipis. Demikian pula hal yang sama terjadi pada Pilkada DKI Jakarta 2017.

Pada titik ini, JK memainkan posisi yang sangat vital sebagai king maker berbekal pengaruh, status ekonomi, juga kekuatan lobi politik pria yang terkenal dengan slogan “lebih cepat lebih baik” itu.

Fakta-fakta inilah yang membuat sangat mungkin ia “diperebutkan” oleh Jokowi dan Prabowo. Kedua kubu melihat JK sebagai faktor penentu. Mengamankan dukungan Daeng Ucu bahkan akan berpeluang menentukan hasil akhir Pilpres nanti. Tentu pertanyaanya, siapa yang akan didukung mantan Ketua Umum Partai Golkar itu?

Sang Determinant Factor

Pada titik ini, JK memang menjadi faktor penentu – determinant factor hasil Pilpres 2019 nanti. Determinant factor adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan variabel yang menjadi penentu sesuatu terjadi atau tidak terjadi.

Dalam konteks posisinya sebagai pengusaha, JK ikut menentukan hasil Pemilu layaknya Koch bersaudara atau George Soros di Amerika Serikat. Studi Martin Gilens dan Benjamin Page menyebutkan memang posisi “orang kaya” lebih banyak mempengaruhi hasil akhir Pemilu. JK saat ini menduduki peringkat ke-54 dalam daftar orang terkaya di Indonesia tahun 2018 versi Globe Asia. 

Sementara sebagai oligark politik, pengaruh JK sebagai politisi senior juga tidak bisa dianggap remeh. JK pernah menjabat sebagai Ketua Umum Golkar – artinya ia masih punya “kaki-kaki politik” di partai kuning tersebut.

JK juga pernah menjadi Ketua Dewan Masjid Indonesia – organisasi yang juga tidak bisa dianggap remeh posisinya. Ia juga pernah menjadi bagian dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang posisi politiknya – terutama korps alumninya – tidak bisa dikesampingkan. Belum lagi bicara soal kemampuan JK dalam melakukan lobi politik yang terlihat sangat handal.

Artinya, memang sangat mungkin siapa yang didukung JK nanti bisa diramalkan akan menjadi pemenang Pilpres 2019. Dengan Jokowi hubungan JK selalu mengalami pasang surut – kadang sejalan, kadang berseberangan. Sementara dengan Prabowo, secara politik bisa jadi musuh, bisa juga jadi kawan – bergantung pada kepentingan yang ingin dicapai.

Dengan demikian, siapa yang akan didukung JK kembali pada aktualisasi kepentingannya. Siapa yang dapat menjamin kepentingan politik dan bisnisnya, maka orang itulah yang akan didukung. JK memang melihat peluang Jokowi memenangkan kembali kursi RI-1 jauh lebih besar. Hal itu pula yang membuatnya sempat kembali “berhasrat” maju lagi menjadi cawapres jika saja gugatannya di Mahkamah Konstitusi (MK) berhasil.

Namun, dengan belum diputuskannya gugatan tersebut dan sudah dipilihnya cawapres masing-masing pasangan, maka yang bisa dilakukan JK adalah mengamankan kepentingannya, katakanlah misalnya terkait proyek listrik 35 ribu MW yang berpotensi ikut menjeratnya secara hukum.

Aktualisasi kepentingan itulah yang akan menentukan posisi politik Daeng Ucu, dan bahkan mungkin akan menentukan hasil Pilpres nanti. Yang jelas, JK adalah politisi yang bergerak berbasis kepentingan.

Ia pernah menyebut Jokowi akan membawa kehancuran pada negeri ini jika dicalonkan sebagai presiden, namun pada akhirnya ia juga yang mengantar Jokowi menjadi presiden. Ia pernah menyinggung jejak HAM Prabowo, tetapi juga mengiyakan status “sowan kekeluargaan” Prabowo-Sandi.

So, menarik untuk ditunggu, akan ke mana JK melabuhkan sauh Kalla Group-nya. (S13)

Exit mobile version