Baik Jokowi maupun Prabowo sama-sama menggunakan populisme sebagai senjata untuk merebut massa jelang Pilpres 2019. Dalam spektrum yang berbeda, keduanya menjadi pertautan strategi kampanye mengeruk suara pemilih mayoritas. Siapa yang akan menang?
PinterPolitik.com
“Simply because something is a populist movement doesn’t make it either good or bad.”
:: P. J. O’Rourke, komedian ::
[dropcap]P[/dropcap]opulisme mungkin menjadi salah satu istilah politik yang paling populer beberapa tahun belakangan. Kemenangan Donald Trump pada Pilpres Amerika Serikat (AS) tahun 2016 menjadi salah satu tonggak naiknya popularitas gerakan politik yang satu ini, seiring juga dengan makin politisnya para komedian Late Night Show macam Stephen Colbert, Jimmy Fallon, Jimmy lain dengan Kimmel di belakangnya, dan selusin nama host TV yang kerap mengritik sang presiden.
Faktanya, populisme yang dalam catatan paling usang telah ada sejak Korah memimpin pemberontakan terhadap Nabi Musa, atau kisah Publius Clodius Pulcher, politisi populis yang hidup di era Romawi saat Julius Caesar berkuasa, kini menemukan kembali perwujudannya di era politik kontemporer.
Hal serupa juga terjadi di Indonesia, khususnya menjelang Pilpres 2019. Makin mengerucutnya kubu politik jelang pesta demokrasi tersebut menimbulkan perdebatan tentang strategi politik apa yang akan digunakan untuk saling mengalahkan.
Layaknya pertarungan tinju, di sudut merah ada Joko Widodo (Jokowi), sang petahana yang setia dengan strategi politik blusukannya. Sementara di sudut biru – karena sepertinya akan ada dua partai biru di koalisi tersebut – ada Prabowo Subianto, penantang di 3 gelaran Pilpres yang masih setia dengan gagasan nasionalisme dan kampanye “bocor, bocor, bocor” terkait kekayaan nasional.
Menariknya, dua kubu ini sama-sama mengusung populisme, sekalipun di spektrum yang berbeda. Jokowi memang dikenal sebagai tokoh yang populis sejak menjabat sebagai Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta. Sementara Prabowo juga belakangan kerap menggunakan strategi yang sama saat mengkapitalisasi dukungan politik, misalnya ketika ia bicara tentang “pencurian” kekayaan nasional.
Bloomberg bilang Jokowi mengutamakan populisme dibanding reformasi.
Untuk pemilu, populisme lebih penting drpd reformasi. Reformasi mendatangkan musuh dan issue, populisme setidaknya susah dikritik.. pic.twitter.com/nlox70eC86
— Daemoen (@Mentimoen) May 4, 2018
Populisme sendiri secara sederhana bisa diartikan sebagai gerakan politik yang mengkapitalisasi suara mayoritas masyarakat dan membenturkannya dengan sekelompok elite atau penguasa.
Memang masih banyak perdebatan tentang pengertiannya, namun kebanyakan ahli sepakat bahwa gerakan mengkapitalisasi suara mayoritas secara politik untuk melawan kelompok tertentu dan memenangkan Pemilu, merupakan bagian dari populisme.
Lalu, bagaimana dua kubu yang akan bertarung menggunakan gerakan politik ini?
Distopia Populisme Jokowi-Prabowo
Secara spesifik, beberapa pemikir menyebut populisme lebih tepat disebut sebagai strategi politik, ketimbang ideologi politik atau ekonomi.
Kurt Weyland – seperti dikutip dari tulisan Edward Aspinall – menyebut populisme sebagai strategi politik ketika seorang politisi dengan karakter personal tertentu, membangun kekuatan dan dukungan secara langsung tanpa terikat institusi dari sejumlah besar masyarakat yang mayoritas adalah pengikut yang tidak teroganisir. Pada titik ini, populisme memang melewati batasan institusi, entah itu partai politik maupun yang sejenisnya.
Baik Jokowi maupun Prabowo memang menjadi wajah populisme – seperti yang sempat disinggung di awal – pada spektrum yang berbeda. Bicara soal spektrum, maka yang dimaksudkan tentu saja adalah konsepsi left-wing dan right-wing atau kiri dan kanan dalam politik.
Dua spektrum politik ini memang masih menjadi perdebatan, khususnya apabila berbicara dalam konteks Indonesia. Berbeda dengan AS misalnya, yang jelas secara kepartaian sudah memberikan distingsi antara Partai Demokrat yang liberal-progresif dengan Partai Republik yang konservatif, nyatanya partai-partai politik di Indonesia justru berada pada spektrum politik yang membingungkan.
Sekalipun beberapa ahli politik sempat membuat klasifikasi ideologi kepartaian – yang nyatanya sebagian besar menunjukkan bahwa parpol di Indonesia kebanyakan ada di tengah-tengah – tidak ada jaminan bahwa partai kiri seperti PDIP misalnya, yang secara ideologis sangat sosialis justru melahirkan kebijakan-kebijakan yang bisa pro pasar bebas – bagian dari pemikiran kelompok kanan.
Selain itu, beberapa penulis menyebut distingsi kiri dan kanan tidak banyak dipedulikan serta “terpinggirkan” di masyarakat, termasuk karena kuatnya rezim Orde Baru membentuk opini negatif tentang “kiri” pasca tragedi 1965.
Secara garis besar, spektrum politik kiri memang dicirikan oleh adanya pasar yang adil (fair trade), egalitarianisme, gerakan yang progresif, sosialisme, equality (persamaan), serta keberpihakan pada kelompok pekerja dan rakyat kecil. Sementara spektrum politik kanan dicirikan oleh pasar bebas (free trade), kondisi masyarakat yang tradisionalis-elitis, adanya status quo, konservatisme, equity (keadilan), meritokrasi, dan cenderung berpihak pada pengusaha.
Dalam konteks populisme, Jokowi cenderung ada di spektrum politik kiri, terutama jika melihat aksi-aksinya yang langsung turun ke masyarakat dan memperlakukan rakyat secara egaliter. Selain itu, kebijakan untuk menekan harga BBM dan beberapa barang kebutuhan pokok saat terjadi defisit di APBN misalnya, menjadi program populisme lain untuk menarik suara masyarakat kecil.
Padahal kebijakan ini sering menjadi peringatan khusus bagi Jokowi yang kerap disampaikan oleh banyak pengamat dan ahli ekonomi karena bisa berdampak pada investasi dan iklim usaha, yang pada titik tertentu lebih banyak berhubungan dengan kepentingan elite ekonomi.
Jokowi pada satu titik lebih cenderung memperhatikan kepentingan rakyat kecil, sekalipun dalam beberapa momen juga tidak melupakan pengusaha. Spektrum kiri Jokowi juga diperkuat dari latar belakangnya yang bukan berasal dari kelompok elite. Ia juga lebih dekat dengan kelompok-kelompok masyarakat yang ingin menyuarakan perubahan, progresif dan terpinggirkan.
Hal ini sesuai dengan jargon kampanyenya pada Pilpres 2014 lalu, yang berbunyi: Jokowi adalah Kita. Siapa “kita”? Tentu semua lapisan masyarakat bisa mengasosiasikan kelompoknya dengan Jokowi.
Sebaliknya, populisme Prabowo ada di spektrum politik kanan. Edward Aspinall menyebut populisme Prabowo ini sebagai oligarch populism atau populisme oligarkis. Prabowo memang kerap mengritik para elite. Namun, latar belakang dirinya yang nyatanya berasal dari kelompok elite mau tidak mau membuat sudut pandang Prabowo menjadi bias. Hal ini berbeda dengan Jokowi yang lebih sering menyamakan dirinya dengan rakyat biasa.
Menurut Aspinall, Prabowo mengambil model populisme yang sama dengan Thaksin Shinawatra dan Hugo Chavez. Populisme Prabowo juga bisa disebut sebagai pluto populism, yakni populisme yang berasal dari pemikiran orang kaya dan berharta.
Prabowo menjual gagasan kebocoran kekayaan nasional, utang, pertumbuhan ekonomi yang melambat, hingga isu-isu nasionalisme – pada titik tertentu terkesan mengarah ke ultranasionalis, yang justru spesifik pada isu kelompok etnis, agama atau kebudayaan tertentu. Isu bubarnya Indonesia juga menjadi salah satu distopia populisme Prabowo.
Populisme itu dalil Prabowo akhir2 ini, dari soal bubarnya nkri sampe keroposnya proyek infrastruktur.
— Nur Muhamad Lutpy (@nurmuhamadlutpy) March 31, 2018
Kubu Prabowo juga cenderung bergerak di spektrum kanan karena menggunakan isu-isu spesifik macam agama hingga konsepsi pribumi-nonpribumi dalam kampanye politiknya. PKS misalnya yang menjadi bagian koalisi Prabowo adalah salah satu partai sayap kanan.
Selain itu, latar belakang Prabowo sebagai bagian dari kelompok elite dan oligarki juga membuat konsepsi populismenya cenderung ada di spektrum kanan. Aspinall juga menyebut Prabowo sebagai tipikal authoritarian populist.
Tentu saja dari penjelasan-penjelasan tersebut masih melahirkan kesulitan untuk secara lugas mengatakan bahwa Jokowi adalah populis kiri dan Prabowo ada populis kanan. Namun, jika berkaca dari persepsi masyarakat, tidak dapat dipungkiri bahwa Jokowi cenderung dipersepsikan kiri – termasuk lewat berbagai isu komunisme dan sejenisnya – sementara Prabowo dipersepsikan kanan.
Khusus untuk Prabowo ada beberapa catatan yang menyebutkan bahwa konsepsi Partai Gerindra yang didirikannya dengan cita-cita “greater Indonesia” adalah gerakan kanan ultranasionalis yang punya cita-cita sama dengan Partai Indonesia Raya (Parindra).
Selain itu, Gerindra adalah salah satu partai yang ingin mengembalikan konstitusi negara ini ke UUD 1945 versi asli sebelum amandemen. Sekalipun beralasan untuk tujuan kedaultan ekonomi, perlu menjadi catatan bahwa versi awal UUD 1945 belum memasukkan batasan kekuasaan presiden, hal yang punya korelasi dengan konsepsi politik gerakan kanan.
Artinya, sekalipun spektrum kiri dan kanan tidak begitu jelas dalam politik di Indonesia, namun ada kecenderungan yang bisa digunakan untuk mengasosiasikan baik Jokowi maupun Prabowo dengan salah satu spektrum politik tersebut.
Persoalannya adalah apakah populisme dengan dua versi yang berbeda ini akan menguntungkan masyarakat? Jawabannya tentu saja kembali pada bagaimana gagasan tersebut nantinya diaplikasikan dalam program dan kebijakan.
Siapa yang Menang?
Kebangkitan populisme kanan memang sedang terjadi di banyak negara di dunia. AS dengan Donald Trump-nya yang tentu saja kanan dan Eropa dengan para pemimpin ultra kanan-nya, telah menjadi barometer kebangkitan gerakan politik kanan itu. Namun, apakah hal itu berarti Prabowo yang menggunakan strategi kampanye serupa bisa pula memenangkan kontestasi politik ini?
Jawabannya tergantung seberapa kuat isu ini diejawantahkan dalam kampanye politik. Prabowo mungkin lebih diuntungkan jika dibandingkan Jokowi karena “kiri” punya cita rasa yang cenderung negatif di negeri ini. Orde Baru – dengan Prabowo sebagai salah satu bagian darinya – berhasil mengkonstruksi negativisme spektrum politik kiri.
Selain itu, strategi politik populisme kanan nyatanya berhasil pada Pilkada Jakarta 2017 lalu. Isu agama dan etnositas masih akan menjadi komoditas primordial pendulang suara. Jika mampu mengkapitalisasi hal tersebut, Prabowo berpeluang mendapatkan momentum politik yang menguntungkan.
Selain karena malas diidentikan dengan oposisi (yang kritiknya jarang substansial itu), orang malas mengkritik pemerintah karena Jokowi berhasil memadukan populisme dan teknokrasi yang selama ini dianggap bertentangan. Kapan-kapan saya tulis.
— Dendy Raditya Atmosuwito (@DendyRadityaA) July 25, 2018
Sayangnya, Jokowi juga telah menerapkan counter strategy yang brilian untuk menghadapi isu agama ini, misalnya kalau pada akhirnya ia memilih sosok yang agamis sebagai cawapres.
Jokowi juga diuntungkan karena gerakan politik yang diusungnya adalah representasi masyarakat banyak, dengan dirinya sendiri diasosiasikan sebagai bagian dari masyarakat tersebut. Sementara, Prabowo sangat identik dengan golongan elite.
Peluang terbesar Prabowo adalah mengkapitalisasi isu ekonomi yang nyatanya memang menjadi titik lemah pemerintahan Jokowi. Ini tentu saja akan menjadi pembuktian seberapa hebat ilmunya sebagai putra dari begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo. Ia bisa mengritik kegagalan ekonomi Jokowi dan menyebutnya sebagai “janji manis kampanye” yang tidak terwujud.
Prabowo bisa mencari pendamping yang tepat dari golongan ekonom, atau setidaknya membuat tim kampanye yang berfokus pada eksplorasi isu tersebut.
Lalu, siapa yang akan menang? Menarik untuk ditunggu. (S13)