Site icon PinterPolitik.com

Jokowi-Prabowo, Ketakutan Politik Minoritas

Jokowi-Prabowo, Ketakutan Politik Minoritas

Pilpres 2019 dipenuhi isu yang timbulkan ketakutan politik di kalangan minoritas. (Foto: istimewa)

Dengan kondisi pemilih mayoritas umat muslim yang diprediksi akan terpecah di dua kubu, suara kelompok minoritas berpotensi akan menentukan hasil akhir Pilpres 2019. Namun, warna kampanye yang dicecari isu komunisme dan khilafah berpotensi menimbulkan ketakutan di kelompok-kelompok tersebut. Di kubu Jokowi ada sosok Ma’ruf Amin yang dikenal karena kebijakan-kebijakannya yang kontroversial terhadap minoritas, terutama fatwanya yang mengantar Ahok ke jeruji besi. Sementara di kubu Prabowo, isu khilafah menjadi “gorengan” yang menimbulkan keputusasaan politik.


PinterPolitik.com

“Even if you are a minority of one, the truth is the truth.”

:: Mahatma Gandhi ::

[dropcap]S[/dropcap]ebuah percakapan pendek terjadi di antara dua mahasiswa asal Nusa Tenggara Timur (NTT) di warung kopi dekat dermaga kota Maumere. Edward, seorang keturunan Tionghoa yang orang tuanya punya toko di pusat kota, bertukar pikiran dalam kebingungan dengan Marianus, seorang aktivis organisasi kampus yang ayahnya bekerja sebagai pegawai di kantor bupati.

Dua sahabat karib ini – saking kentalnya, mungkin seperti kisah Damon dan Pythias di zaman Yunani kuno – membangun kegelisahan mereka tentang siapa yang akan mereka dukung di Pilpres 2019 mendatang. Pasalnya, keduanya mewakili entitas minoritas di negeri ini: kelompok Kristen dan Tionghoa.

Kegelisahan itu beralasan, apalagi pasca Joko Widodo (Jokowi) memilih Ma’ruf Amin – tokoh yang terkenal karena kebijakan-kebijakan kontroversialnya terhadap minoritas. Banyak pemilih dari kelompok ini yang mulanya mendukung petahana, mulai meragukan pilihan politiknya – hal yang terbukti dalam sebuah survei dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA.

Global Wealth Report 2016 yang dikeluarkan oleh Credit Suisse Research Institute menyebutkan 49,3 persen kekayaan nasional Indonesia hanya dikuasai oleh 1 persen populasi. Share on X

Ketakutan kemudian bertambah setelah isu khilafah dan negara Islam dilekatkan terhadap Prabowo Subianto, seiring berkumpulnya kelompok-kelompok garis keras di kubu sang jenderal. Dalam kebingungan itulah muncul ketakutan tentang pilihan politik mana yang harus diambil oleh kelompok minoritas ini.

Isi percakapan Edward dan Marianus ini setidaknya punya warna serupa dengan apa yang ditulis oleh aktivis Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (Komtak), Zeng Wei Jian di portal RMOL.co.

Tulisannya yang berjudul “Tionghoa di Belakang Prabowo” itu berbicara tentang bagaimana dukungan kelompok minoritas saat ini menjadi salah satu fokus penting yang berpotensi menentukan hasil akhir Pilpres 2019 mendatang.

Wei Jian mengawali tulisannya dengan cerita tentang pertemuan antara Prabowo Subianto dengan beberapa tokoh Tionghoa, di antaranya Chen Yi Jing (Chandra Suwono), Thomas Henoch dan Yap Hong Gie. Nama terakhir adalah putra dari Yap Thiam Hien, seorang pengacara dan salah satu pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Menurut Wei Jian, dukungan dari tokoh-tokoh tersebut membuktikan bahwa isu khilafah yang menimbulkan ketakutan di banyak kelompok Tionghoa dan non-muslim adalah hoaks yang dibuat untuk mendiskreditkan Prabowo.

Tulisan tersebut menarik untuk dibahas karena menampilkan fakta tentang pilihan politik kelompok minoritas. Bahkan, dalam konteks tersebut, ada kesan bahwa baik Jokowi maupun Prabowo, sama-sama berjuang untuk memperebutkan ceruk-ceruk suara kelompok minoritas ini.

Golongan yang dimaksud bisa berasal dari kelompok-kelompok non-muslim, Tionghoa, Indo-Arab, serta kelompok lainnya. Apalagi, dengan konteks makin kuatnya politik identitas beberapa tahun terakhir – utamanya pasca Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu – perdebatan politik yang melibatkan kelompok minoritas etnis dan agama memang mendapatkan tempat tersendiri dalam panggung politik nasional.

Persoalannya, dengan fabrikasi kampanye yang belakangan diwarnai dengan isu komunisme dan khilafah, memang menimbulkan ketakutan yang mendalam dari kelompok-kelompok minoritas tersebut – Wei Jian menggunakan istilah fabricated fear atau ketakutan palsu yang diciptakan untuk menipu.

Tentu pertanyaannya adalah apakah benar warna kampanye tersebut adalah narasi yang dikonstruksi? Atau justru demikianlah kenyataan yang sebenarnya terjadi dan sedang coba dinafikan oleh Wei Jian?

Fabricated Fear, Dilema Ketakutan Minoritas

“Bukan Prabowo yang minta dukungan FPI (Front Pembela Islam), saudara-saudara. Bukan. Tapi, kalau orang mau dukung kita, masa kita mau nolak?”

Kata-kata tersebut adalah jawaban Hashim Djojohadikusumo saat berbicara di hadapan komunitas Tionghoa sebelum Pilpres 2014 lalu. Saat itu, adik Prabowo tersebut ditanya tentang pandangan politik sang kakak terhadap agama-agama lain.

Konteks pernyataan Hashim ini kemudian mendapatkan panggung yang lebih besar, terutama pasca Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Kala itu, kasus penodaan agama yang dilakukan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang adalah seorang Tionghoa non-muslim, memang sempat mempertajam gesekan mayoritas-minoritas tersebut. Ahok saat itu adalah lawan Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang diusung Prabowo.

Terlepas dari fakta penodaan agama yang dilakukannya, kasus Ahok ini sangat penting karena pria kelahiran Belitung Timur itu adalah idola banyak orang, terutama di kalangan kelompok minoritas. Kinerja Ahok yang dianggap bersih, membuat dirinya mendapatkan banyak pendukung.

Kasus Ahok juga menjadi sentral ketakutan politik minoritas karena kampanye politik yang terjadi pasca kasus tersebut digaungkan dengan menggunakan sentimen tersebut. “Jangan dukung partai yang mendukung penista agama”, atau “jangan pilih calon yang mendukung penista agama” adalah beberapa contohnya.

Memang, tidak semua kelompok non-muslim dan Tionghoa mendukung Ahok. Zeng Wei Jian – yang dikutip pemikirannya di tulisan ini –adalah salah seorang yang anti Ahok. Selain itu, kepentingan ekonomi-politik banyak pengusaha Tionghoa dan non-muslim yang “tidak tersalurkan” di era Ahok berkuasa juga membuat tidak sedikit dari antara mereka yang tidak suka pada mantan suami Veronica Tan itu.

Namun, tidak dapat dipungkiri, identitas minoritas Ahok memang menciptakan ketakutan politik. Wei Jian menyebutnya sebagai fabricated fear atau ketakutan palsu yang bertujuan untuk menipu. Tetapi, apakah benar demikian?

Di satu sisi, memang apa yang disebut Wei Jian itu benar. (Baca: BIN dan Paradoks Radikalisasi Masjid) Ketakutan palsu memang bisa diciptakan untuk mempengaruhi pilihan politik orang. Namun, konteks fabricated fear ini pada akhirnya bisa benar-benar melahirkan real fear atau ketakutan yang sesungguhnya, terutama di kalangan masyarakat bawah.

Pandangan ini beralasan jika melihat pernyataan mantan Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Bachtiar Nasir pada Mei 2017 lalu. Seperti dilansir dari Reuters, saat itu Nasir mengatakan akan mendorong lahirnya kebijakan affirmative action – sebuah program yang bertujuan untuk memberikan lebih banyak kemudahan bagi mereka-mereka yang menurutnya didiskriminasi, secara khusus bagi masyarakat pribumi-muslim Indonesia.

Menurut Nasir, kebijakan yang mirip dengan yang diterapkan di Malaysia ini penting karena kekuasaan ekonomi yang – secara spesifik ia sebut – dikuasai oleh kelompok Tionghoa, telah menciptakan ketimpangan ekonomi yang sangat tidak adil bagi mayoritas masyarakat Indonesia.

Di Malaysia, ras Melayu memang mendapatkan banyak kemudahan dibandingkan ras atau suku lain, misalnya dalam hal akses pendidikan, kesempatan karier, kemudahan membeli rumah, dan lain sebagainya.

Angin kesuksesan Aksi Bela Islam yang berdampak pada kekalahan Ahok, memang membuat Nasir menargetkan persoalan ketimpangan ekonomi tersebut sebagai proyek selanjutnya.

Wacana Nasir ini punya roh yang sangat kuat. Apalagi, arah narasi yang dibangun mencampuradukkan entitas Tiongkok dan Tionghoa – dua identitas yang sebetulnya berbeda. Hal inilah yang membuat kampanye-kampanye politik tersebut sukses menekan pemerintahan Jokowi, mengingat nama terakhir punya banyak proyek kerja sama dengan Tiongkok.

Fabricated fear tersebut pada akhirnya memang benar-benar menimbulkan ketakutan jika affirmative action ini benar-benar terjadi. Program yang punya pertalian panjang sejak era Soekarno ini dianggap justru akan mempertajam perbedaan dan melahirkan gesekan politik yang lebih besar – hal yang tentu menakutkan bagi kelompok minoritas.

Minoritas, Kunci Kemenangan?

Jika demikian, lalu apa yang sebetulnya bisa dipetik dari persoalan ini?

Hal yang utama tentu saja adalah bahwa kondisi yang terjadi saat ini berpotensi melahirkan gesekan-gesekan terhadap keutuhan bangsa. Isu kampanye politik dengan menggunakan identitas memang menggerus marwah ke-Indonesiaan yang diperjuangkan oleh para pendiri negara ini.

Oleh karena itu, hal ini perlu dicegah agar tidak berdampak makin parah. Jangan sampai proses politik lima tahunan justru menghancurkan pondasi negara yang sudah dibangun sejak tujuh dekade lalu.

Salah satu caranya adalah lewat kebijakan yang diarahkan untuk menyelesaikan persoalan kebangsaan ini dari akarnya. Pasalnya fabricated fear itu bisa berubah menjadi real fear karena adanya ketimpangan ekonomi.

Ini sesuai dengan Global Wealth Report pada tahun 2016 yang dikeluarkan oleh Credit Suisse Research Institute yang menyebutkan bahwa sekitar 49,3 persen kekayaan nasional hanya dikuasai oleh 1 persen dari keseluruhan penduduk Indonesia.

Fakta dalam laporan tersebut memang membuat “kebencian” yang muncul terhadap minoritas dengan mudah dibangkitkan dan “dimainkan”. Komunitas Tionghoa misalnya, berjumlah sekitar 5 persen dari populasi keseluruhan masyarakat Indonesia, tetapi menguasai sektor-sektor konglomerasi besar. (Baca: Aksi Afrimatif, Indonesia Jiplak Malaysia?)

Pencapaian yang sebetulnya tidak mengherankan jika melihat etos kerja orang-orang Tionghoa yang memang luar biasa kuat untuk meningkatkan perekonomian mereka, bisa menimbulkan kecemburuan sosial yang berujung pada konflik.

Pemerintah memang perlu mengedepankan persoalan pemerataan kesejahteraan sebagai solusi utama. Setidaknya hal itulah yang menjadi inti dari apa yang disuarakan oleh Bachtiar Nasir.

Konteks tersebut sesuai dengan pemikiran Francis Fukuyama yang menyebutkan bahwa ada kecenderungan belakangan ini konflik yang terjadi adalah akibat digesernya benturan kelas ekonomi – yang lahir akibat kapitalisme – antara yang kaya dan yang miskin, ke arah benturan identitas. Jika akar persoalan ini tidak diselesaikan, maka sampai kapan pun fabrikasi ketakutan politik akan menjadi alat politik yang efektif, dan pada saat yang sama juga destruktif.

Sementara, dalam konteks Pilpres 2019, konteks isu minoritas ini memang menjadi penentu. Pasca memilih Ma’ruf Amin sebagai cawapres, banyak pendukung Jokowi dari kalangan non-muslim yang berpotensi mengalihkan dukungan politiknya ke Prabowo-Sandi.

Prabowo sebetulnya bisa memanfaatkan hal ini menjadi keuntungan politik. Namun, kemasan politiknya juga perlu diubah, terutama dalam konteks merangkul semua orang. Narasi politik Prabowo dengan kelompok-kelompok Islam garis keras misalnya, perlu sedikit digeser agar lebih terbuka terhadap kelompok non-muslim.

Jika hal itu bisa terjadi, maka kebingungan yang terjadi di antara Edward dan Marianus dalam kisah di awal tulisan ini bisa terselesaikan, dan Zeng Wei Jian juga tidak perlu bersusah payah meyakinkan orang Tionghoa lain untuk mendukung Prabowo. (S13)

Exit mobile version