Site icon PinterPolitik.com

Jokowi-Prabowo Jualan Komunis?

Jokowi Prabowo jualan komunis isu kebangkitan PKI

Foto: BBC

Isu kebangkitan selalu digunakan pada momen-momen politik. Seperti hantu, semua saling membicarakan, meski tidak bisa ditemui.


Pinterpolitik.com

[dropcap]K[/dropcap]ebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan sejumlah isu miring lainnya akan terus bermunculan pada saat Pemilihan Pilpres 2019. Salah satu upaya untuk merawat ingatan tentang kejinya PKI itu adalah dengan mendorong masyarakat menonton kembali film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI yang dirilis pada 1984 dengan cerita soal peristiwa seputar tragedi 1965.

Ketua Tim Pemenangan Joko Widodo (Jokowi) dan Ma’ruf Amin di Jawa Barat, Dedi Mulyadi berencana akan menggelar acara nonton bareng (nobar) film tersebut di Kantor DPD Partai Golkar Jabar. Dedi beralasan dirinya mengajak untuk nobar karena selama ini pendukung Jokowi selalu mendapat stigma alergi terhadap film yang banyak memuat adegan kekerasan itu.

Sebelumnya, sudah banyak beredar imbauan bahkan perintah dari tokoh-tokoh publik untuk menyaksikan film tersebut. Beberapa di antaranya adalah Gatot Nurmantyo dan Rizieq Shihab.

Isu PKI akan terus ditunggangi dan menjadi alat yang efektif untuk menggaet pemilih, apalagi mayoritas masyarakat Indonesia masih kental dengan nuansa pola pikir tentang komunisme yang berhasil ditanamkan Orde Baru. Share on X

Gatot pada saat masih menjabat sebagai Panglima TNI memerintahkan secara langsung kepada jajarannya untuk mendistribusikan film dan melakukan nobar film tersebut. Bahkan dirinya baru-baru ini meminta agar KSAD dan Panglima TNI untuk memerintahkan hal yang serupa.

Sementara itu, Rizieq Shihab dari Arab Saudi menyerukan masyarakat agar menonton film yang penuh dengan adegan berdarah itu di berbagai lokasi.

Memasuki bulan September memang isu tentang komunisme dan variannya semakin meningkat. Apalagi memasuki masa kampanye Pilpres seperti ini, ada beberapa pihak yang menggunakan isu komunisme untuk mendapatkan keuntungan secara politik.

Lantas pertanyaannya adalah bagaimana signifikansi isu ini dalam konteks Pilpres 2019?

Hantu-Hantu Komunis

Dari sekian cerita realisme magis novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan, satu cerita yang mendapatkan perhatian yakni tentang hantu-hantu komunis.

Eka menulis novel itu dengan merekam ulang jejak sejarah secara dinamis. Melalui novel itu, sketsa pembunuhan para anggota komunis di Halimunda – tempat yang difiktifkan penulis – disajikan secara lantang, tegas dan frontal.

Dalam pembersihan gerakan komunis yang dikisahkan dalam novel itu, diperkirakan 500.000 orang dicurigai telah dibunuh, dan PKI secara efektif dihilangkan. Namun, Eka nyatanya memiliki sisi humor yang satire juga, dengan menampilkan wujud propagandanya (pasca pembantaian) sebagai hantu-hantu komunis yang kembali bangkit dan menghantui para tentara dan seluruh warga di pelosok Halimunda.

Eka menulis: “Serangan hantu-hantu itu, hantu-hantu orang komunis, paling dirasakan oleh Sang Shodancho. Selama bertahun-tahun sejak peristiwa pembantaian tersebut, ia menderita insomnia yang parah, dan kalau pun tidur, ia menderita tidur berjalan. Semua orang di kota itu merasakan hantu-hantu tersebut, mengenali dan takut oleh mereka.”

Barangkali beberapa tahun belakangan ini, kondisi sosial negeri ini, sama seperti cerita Eka Kurniawan, merasakan kembali kehadiran hantu komunis. Seperti dikotomi hantu pada umumnya, ia seolah-olah hadir, namun sulit untuk dibuktikan. Hal itu pada akhirnya hanya memberikan kecemasan dan kegelisahan.

Berkat rezim Soeharto, orang-orang komunis dan tertuduh komunis di Indonesia jadi serupa hantu. Mereka diabaikan sekaligus ditakuti. Mereka dimusuhi, tetapi tabu dibicarakan. Padahal, komunisme tak pernah ada lagi di ruang-ruang publik, bahkan ruang privat sekalipun.

Sementara itu, banyak kajian yang menyebut jika saat ini isu komunis seolah dihidupkan kembali – termasuk lewat penayangan film G30 S/PKI – hanya untuk kepentingan sempit oleh pihak tertentu. Padahal jika ditelusuri lebih jauh, rasanya sulit untuk membayangkan komunis hidup lagi di negeri ini.

Bayangkan saja, semenjak Orde Baru berkuasa, praktis paham ini sudah diberangus dan tidak mendapatkan tempat sedikit pun. Jangankan para anggota komunis, yang tertuduh komunis saja mendapatkan dampak secara langsung. Hal ini bisa dilihat dari berbagai penelitian baik oleh peniliti Indonesia maupun luar negeri.

Selain itu, paham ini juga mendapatkan pemberangasunnya secara kultural, misalnya bisa dilihat dalam karya Wijaya Herlambang yang berjudul Kekerasan Budaya Pasca 1965. Buku itu menceritakan kekerasan secara sistematis yang dilakukan oleh rezim Orde Baru terhadap komunis maupun yang tertuduh komunis dari ranah fisik dan budaya.

Hal tersebut bahkan masih langgeng hingga kini. Jadi, bagaimana bisa hantu komunis itu hidup kembali?

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris menerangkan jika isu tentang komunisme akan “digoreng” pada momen seperti Pemilu, terutama Pilpres. Isu ini masih akan mendapatkan perhatian karena sebagian besar masyarakat kita masih menganggap bahwa PKI dan kroninya adalah simbol kejahatan.

Tentu saja hal ini untuk kepentingan politik semata. Bagi pihak yang memanfaatkan isu ini akan memposisikan diri sebagai pihak yang paling memiliki andil untuk memerangi komunisme. Komunisme masih dijadikan sebagai musuh bersama.

Langgengkan Kekerasan Budaya

Berbicara mengenai hiruk pikuk pemutaran film G30S/PKI, sudah sepatutnya juga menyinggung dimensi lain dari pembuatan film tersebut, serta dampak yang ditimbulkannya hingga saat ini.

Bagi sebagian orang, film G30S/PKI adalah propaganda belaka. Dalam bukunya, selain membahas secara kritis film tersebut, Wijaya Herlambang juga mengajukan analisanya terhadap beberapa produk kebudayaan dalam kanon sastra dan film.

Tesis utama Herlambang adalah bahwa antikomunisme adalah ideologi yang jadi wacana utama masyarakat Indonesia sejak awal sejarah Orde Baru dan bahwa sesudah pembantaian terhadap para anggota PKI pada 1965, ada kekerasan bahasa dan kekerasan budaya untuk membenarkan dan menormalisasi pembantaian itu.

Dalam konteks kekerasan itu, Johan Galtung menjabarkannya sebagai satu kesatuan yang terdiri dari tiga poin, yakni kekerasan langsung (fisik), kekerasan struktural dan kekerasan kultural (budaya).

Dengan bingkai seperti tesis Herlambang di atas, maka konsep kebebasan berekspresi atau humanisme universal yang didengungkan oleh kelompok Manifestasi Kebudayaan (Manikebu) – kelompok yang memiliki andil besar terhadap penghancuran kelompok kiri pasca 1965 – menjadi sebuah paradoks.

Konsep ini tak lebih menjadi wacana rekayasa Central Intelligent of America (CIA) untuk membasmi kaum komunis, seperti data-data yang diajukan oleh Herlambang lewat bukunya.

Bagi masyarakat yang mengkonsumsi baik karya sastra maupun film dari misalnya Goenawan Mohamad, Arief Budiman, Soe Hok Gie, taufik Ismail, dan lain sebagainya, tentu akan terpapar paham kekerasan budaya tersebut.

Dalam karya sastra dan film itulah Orba berusaha melegitimasi kekerasan langsung kepada kelompok komunisme, dengan mencitrakan komunis sebagai ideologi sesat yang berkhianat dan akan menghancurkan negara.

Langgam Budaya Jadi Alat Politik Elektoral

Peneliti SMRC, Sirajuddin Abbas berpendapat bahwa opini kebangkitan PKI di masyarakat tidak terjadi secara alamiah, melainkan menjadi hasil mobilisasi opini kekuatan politik tertentu. Pendapat ini seolah menegaskan bahwa isu-isu PKI di tahun politik merupakan agenda tersembunyi dari kekuatan politik tertentu untuk menjatuhkan lawan politik.

Jika merujuk pada pernyataan Dedi Mulyadi di awal, tentunya bisa dipahami bahwa usaha Dedi itu adalah bagian dirinya untuk meredam isu PKI yang selama ini selalu menyasar ke pihak Jokowi.

Berdasarkan hasil penelitian Indikator Politik Indonesia, ada korelasi antara massa yang menolak PKI dengan massa yang berpotensi untuk ditarik ke dalam sebuah kekuatan politik sejumlah partai yang ikut Pemilu 2019.

Maka demi kepentingan politik elektoral, bukan tak mungkin isu kebangkitan PKI akan menjadi senjata politik yang mewarnai kontestasi Pilpres di tahun mendatang. Isu ini akan terus ditunggangi dan menjadi alat yang efektif untuk menggaet pemilih, apalagi mayoritas masyarakat Indonesia masih kental dengan nuansa pola pikir tentang komunisme yang berhasil ditanamkan Orde Baru.

Pertanyaannya adalah apakah isu ini masih akan efektif digunakan di tengah masyarakat yang makin melek informasi seperti saat ini? Menarik untuk ditunggu. (A37)

Exit mobile version