Elite ekonomi diharapkan bisa berperan dalam program pemerintah agar penyelesaian masalah-masalah di negeri ini dapat berjalan maksimal.
PinterPolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]eketika setelah genderang Pilpres ditabuh, berbagai program kampanye dari para kandidat segara mengemuka. Visi dan misi baik dari kubu Joko Widodo-Ma’ruf Amin maupun dari Prabowo Subianto-Sandiaga Uno kini bisa dibaca publik untuk dibandingkan.
Bagi beberapa orang, visi dan misi masing-masing kandidat ini terlihat sama saja. Bagi mereka, sulit untuk melihat adanya kontras antara kedua kandidat itu dari segi program yang ditawarkan. Nyaris semua program-program tersebut berada di tataran yang sangat ideal, tetapi kerap kali tidak mudah diimplementasikan.
Proses implementasi ini boleh jadi akan mudah jika semua pemangku kepentingan mau terlibat dalam program-program tersebut. Secara khusus, HS Dillon – seorang tokoh HAM dan ekonomi-sosial – menyebut bahwa peran elite tergolong krusial untuk menjalankan sejumlah program yang akan dijalankan para capres dan cawapres.
Para elite, dalam konteks ini elite ekonomi memang kerap mewarnai politik Indonesia. Pertanyaannya kemudian adalah ke mana para elite tersebut akan berlabuh di Pilpres 2019? Akankah mereka kompak mendukung satu kubu atau mengambil peran lain dalam gelaran nanti?
Berharap Elite Ekonomi
Idealnya, untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di negeri ini, semua pihak harus mau ikut ambil bagian. Tidak hanya pemerintah, masyarakat dari berbagai elemen juga seharusnya memiliki andil dalam menghadapi masalah-masalah tersebut.
Secara spesifik, kelompok elemen masyarakat yang paling diharapkan berperan besar adalah para elite ekonomi. Hal ini dikarenakan begitu besarnya kekuatan yang mereka miliki. Nyaris sebagian besar kegiatan ekonomi negeri ini dipegang oleh segelintir elite dengan kekayaan melimpah.
Ada yang bisa menjelaskan ke saya, apa perbedaan fundamental di antara keduanya?
Berhadiah isi ulang GoPay Rp500.000 pic.twitter.com/vUONduuDHf— Paramita Mohamad (@sillysampi) September 26, 2018
Dalam konteks pajak misalnya, para elite memiliki potensi yang paling besar jika dibandingkan dengan pihak-pihak lain. Penerimaan pajak negeri ini yang kerap menjegal pembangunan bisa jadi terselesaikan jika para elite mau terlibat.
Jika merujuk pada Vilfredo Pareto, kelompok elite ini terdiri atas elite yang memerintah (governing elite) dan elite yang tidak memerintah (non-governing elite). Elite yang memerintah boleh jadi lebih mudah dikendalikan dan diinstruksikan untuk sejalan dengan pemerintah. Akan tetapi, elite yang tidak memerintah tidak selalu demikian.
Para non-governing elite yang dimaksudkan adalah para elite ekonomi. Sering kali kelompok semacam ini tidak mudah diatur oleh pemerintah. Mereka kerap kali memiliki posisi yang berseberangan dengan program-program yang dibuat oleh pemerintah.
Hal ini berbeda dengan governing elite yang umumnya bisa dipegang oleh pemerintah. Para governing elite ini dapat digambarkan sebagai para pejabat publik di berbagai level dari tingkat pusat hingga daerah. Para gubernur dan bupati/wali kota misalnya lebih mudah digerakkan ketimbang para elite ekonomi di negeri ini.
Sebagai ilustrasi, pemerintahan Jokowi saat ini memiliki kuasa yang cukup kuat terhadap para governing elite. Para menteri dan kepala daerah banyak yang mau terlibat dalam program pemerintah meski beberapa berasal dari partai yang berbeda. Hal ini tampaknya tidak berlaku untuk para non-governing elite yaitu para elite ekonomi. Ada indikasi bahwa para elite ekonomi tidak sepenuhnya sejalan dengan program pemerintahan Jokowi.
Sulit untuk bisa mengharapkan para elite ini benar-benar terlibat dalam memperbaiki masalah yang ada di negeri ini. Mereka memang memiliki kekuatan ekonomi yang mumpuni, akan tetapi, jika meminjam bahasa yang digunakan Dillon dalam tulisannya, kelompok elite ini tidak selalu public spirited atau memiliki keinginan untuk membantu komunitas di sekelilingnya. Selalu ada aspek kepentingan pribadi mereka yang harus dipenuhi jika ingin terlibat dalam program seorang presiden hasil Pemilu.
Elite yang Terbelah
Jika merujuk pada visi dan misi serta pernyataan para kandidat, sepertinya belum ada program yang benar-benar jelas dan spesifik bisa meraih hati para elite. Bahkan, keduanya bisa saja membuat kebijakan yang memberatkan para elite terkait dengan program ekonomi kerakyatan mereka.
Umumnya, para elite semacam itu membutuhkan insentif khusus agar mau terlibat dan mendukung program pemerintah. Dalam politik Indonesia, insentif yang dimaksud bisa saja berupa posisi yang penting dalam tataran oligarki, seperti yang diungkapkan oleh Jeffrey Winters.
Sejauh ini, sulit untuk melihat siapa capres yang benar-benar disukai oleh para elite ekonomi negeri ini. Apalagi jajaran teratas orang terkaya negeri ini belum secara terang-terangan memberikan dukungan atau penolakannya kepada capres tertentu.
Memang, sejauh ini sudah ada beberapa nama taipan yang secara resmi berada di kubu masing-masing capres. Baik Jokowi maupun Prabowo sudah sama-sama memiliki elite pendukung yang berasal dari 150 orang terkaya di negeri ini.
Dari kubu Jokowi misalnya, ada beberapa nama penghuni 150 orang terkaya yang berasal dari partai-partai pengusungnya. Melalui dukungan partai ia berhasil mengamankan taipan-taipan seperti Hary Tanoesoedibjo, Jusuf Kalla, Surya Paloh, Rusdi Kirana, hingga Oesman Sapta Odang. Di luar elite ekonomi yang merangkap elite partai, Jokowi juga mengamankan dukungan dari Erick Thohir dan Rosan Roeslani.
Hal serupa berlaku di kubu Prabowo. Di tim pemenangannya terdapat nama-nama top seperti Hashim Djojohadikusumo, Sandiaga Uno, Tommy Soeharto, dan juga Siti Hardijanti Rukmana yang berasal dari partai-partai pendukungnya.
Berdasarkan kondisi tersebut, tersebarnya elite-elite ekonomi negeri ini menggambarkan terjadinya pembelahan elite. Pembelahan elite semacam ini umumnnya dilakukan untuk meningkatkan kemungkinan political survival para elite. Hal ini diungkapkan misalnya oleh Qi Zhang, Mingxing Liu, Dong Zhang, dan Victor Shih. Memang, pembelahan elite yang dimaksud tidak sama persis dengan yang dikatakan oleh mereka, tetapi tetap ada tujuan yang sama yaitu political survival.
Mencari Political Survival
Para non-governing elite kemudian memiliki kemungkinan untuk melakukan langkah wait and see hingga pemilihan telah menghasilkan pemenang. Jika merujuk pada pendapat Winters di atas, para elite ini baru akan memberi dukungan pada pemenang untuk menjamin posisi mereka dalam tatanan oligarki.
Saat ini boleh jadi terlihat bahwa elite-elite ini terbelah. Akan tetapi, demi political survival, bisa saja mereka langsung mendukung rezim yang berkuasa pasca penetapan hasil.
Jika political survival tersebut sudah tercapai, boleh jadi para elite mau membantu dan terlibat dengan pemerintah yang berkuasa. Hal itu tentu dengan catatan, pemerintah mau memenuhi terlebih dahulu kepentingan pribadi para elite dengan berbagai upaya political survival mereka.
Idealnya, para elite ekonomi ikut terlibat untuk menyelesaikan masalah negeri ini Share on XPerkara public spirited boleh jadi tidak akan menjadi hal yang dominan di dalam keterlibatan mereka dalam program pemerintah Jokowi. Hal ini terkait dengan privilese elite yang dikemukakan oleh C. Wright Mills.
Mills menyebut bahwa para pemimpin korporasi memiliki peran yang lebih besar dalam proses politik. Meski benar mereka mau terlibat dalam program pemerintah, mereka tetap akan berusaha untuk mempengaruhi pemerintah agar sesuai dengan kebutuhan mereka.
Di titik itu, baik Jokowi maupun Prabowo harus mampu memberikan jaminan kepada para elite untuk bisa menjalankan agenda political survival mereka. Di satu sisi, hal ini dapat bermanfaat untuk mendukung peluang mereka agar menang di Pilpres 2019. Di sisi yang lain, hal itu juga bermanfaat agar ada partisipasi elite dalam berbagai program yang akan mereka jalankan.
Pada akhirnya, memang para elite tidak bisa diharapkan agar tulus terlibat. Harus ada transaksi dalam kadar tertentu agar dukungan bisa mengalir. (H33)