“Homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi sesamanya” – Thomas Hobbes
PinterPolitik.com
[dropcap]T[/dropcap]ahun depan, Indonesia akan menggelar Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden secara serentak. Baik kubu Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin maupun kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tentu tidak bisa lagi berdiam diri. Semakin dekat dengan tahun 2019, semakin matang pula persiapan dan strategi masing-masing kubu untuk menghadapi lawan politik.
Akan tetapi, setelah dua bulan musim kampanye dimulai, publik justru disajikan tontonan mengenai kegaduhan politik. Mulai dari kasus hoaks Ratna Sarumpaet, pelaporan kubu Jokowi terhadap kubu Prabowo, hingga pembakaran bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh Banser dan rencana Aksi Bela Tauhid sebagai reaksi dari pembakaran bendera.
Mungkinkah ini pertanda bahwa situasi politik kini sudah terlihat semakin memanas? Jika benar begitu, mengapa pertarungan Pilpres kali ini justru tidak memunculkan pertarungan gagasan, visi-misi dan program dari kedua kubu?
Apalagi, survei dari Litbang Kompas menyebutkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia belum mengetahui visi-misi dari Jokowi-Ma’ruf maupun Prabowo-Sandi. Disebutkan 87,7 persen masyarakat tidak tahu visi-misi Prabowo-Sandi, sementara 84,2 persen masyarakat tidak tahu visi-misi Jokowi-Ma’ruf.
Sebagian besar masyarakat Indonesia belum mengetahui visi-misi dari Jokowi-Ma’ruf maupun Prabowo-Sandi. Share on XLantas, mengapa kedua kubu cenderung memainkan kegaduhan tersebut pada kontestasi Pilpres kali ini?
Pilpres, Politisi Jadi Serigala?
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, mengatakan ada tren kenaikan swing voters atau pemilih yang belum menentukan pilihannya pada sebulan terakhir. Hal itu dipicu oleh politik saling serang kedua kubu kandidat di Pilpres 2019.
Menurut Muhtadi, politik saling serang antara kedua kubu itu membuat publik jengah karena tidak dihadirkan tontonan kompetisi Pilpres bermutu. Padahal publik menanti-nanti pertarungan program dan gagasan dari Jokowi maupun Prabowo.
Muhtadi bisa saja benar. Pasalnya, selama ini publik memang tak mendapatkan tontonan bermutu dari para politisi yang sedang berkontestasi. Tontonan politik selalu diisi dengan isu dan retorika itu-itu saja. Kebohongan, saling lapor ke pihak kepolisian, pembakaran bendera hingga aksi-aksi reaksioner lainnya.
Politik saling serang ini memang tengah menjadi tren sejak Donald Trump berhasil mengalahkan Hillary Clinton pada Pilpres Amerika Serikat (AS) 2016 lalu dengan menekankan serangan untuk menjatuhkan lawan.
Saat itu Donald Trump sering kali menuduh lawan politiknya, misalnya dengan mengatakan kalau sertifikat lahir Barrack Obama palsu, atau bahwa Obama dan Hillary Clinton adalah pendiri ISIS, dan lain sebagainya yang mana informasi-informasi ini tidak jelas kebenarannya. (Baca: Firehose of Falsehood Prabowo, Jokowi Waspada!)
Perilaku politik Trump bisa dimaknai sebagai strategi untuk mempengaruhi pemilih. Bukan tidak mungkin, cara seperti itu juga ditiru oleh para politisi tanah air saat ini. Kedua kubu sengaja membuat gaduh ruang-ruang publik demi meraih elektabilitas sehingga tujuan-tujuan politik mereka bisa tercapai.
Mungkin ungkapan homo hominus lupus tepat untuk menggambarkan konteks politik Indonesia saat ini. Ungkapan tersebut memiliki arti bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya. Ini adalah buah pemikiran Thomas Hobbes dalam buku De Cive.
Hobbes menggambarkan kondisi manusia yang brutal, suka berperang dan penuh kekerasan sebelum negara terbentuk mengacu pada sifat dasar manusia yang dia anggap memiliki karakter hewaniah. Atas dasar itulah ia menganggap manusia adalah serigala bagi manusia lain.
Pemikiran Hobbes mungkin tepat untuk menggambarkan kondisi politik Indonesia saat ini. Hobbes mengatakan karakter hewaniah membuat manusia saling berperang satu sama lain, sehingga mereka mengesampingkan nyawa manusia lain demi meraih kemenangan.
Mungkin hal itu juga berlaku dalam dunia politik, di mana para politisi lebih mengincar kemenangan tanpa memikirkan dengan matang risiko apa yang akan dialami bangsa ini setelah kontestasi elektoral selesai. Pada titik inilah para politisi tersebut pantas disebut sebagai “serigala”.
Will Rogers pernah mengatakan bahwa politik tidak pernah mengkhawatirkan negeri. Sindiran komedian politik asal AS tersebut sepertinya juga dapat diberikan pada para politisi Indonesia saat ini.
Hal itu dikarenakan sifat “serigala” para politisi yang menggunakan cara apa saja untuk mendapatkan kekuasaan. Bila perlu tujuan itu harus dibayar dengan perpecahan bangsa Indonesia sekalipun.
Politik Hukum vs Politik Mobilisasi Massa
Politik Indonesia saat ini sudah semakin mengarah kepada politik saling tikam. Baik kubu Jokowi atau pun kubu Prabowo terindikasi sama-sama memainkan politik semacam itu. Katakanlah pada kasus Ratna Sarumpaet dan pembakaran bendera oleh Banser. Kedua kubu seperti memanfaatkan momentum itu untuk melakukan serangan.
Politik saling tikam itu mungkin bisa dipetakan sebagai pertarungan antara kubu Jokowi yang menggunakan politik hukum versus kubu Prabowo yang menggunakan politik mobilisasi massa. Kedua kubu tersebut memainkan serangan serupa, tetapi dengan peralatan berbeda.
Allan Lichtman, sejarawan dari American University pernah mengatakan bahwa petahana memiliki beberapa keuntungan ketika maju lagi dalam kontestasi politik. Satu di antara keuntungan tersebut adalah kuasa terhadap instrumen negara. Mungkin karena itulah politisasi lembaga hukum selalu identik dengan petahana karena sebagai penguasa mereka memiliki kuasa atas lembaga tersebut.
Di beberapa negara, seorang petahana bisa dengan mudah menggunakan lembaga hukum untuk menyingkirkan lawan politik. Sebut saja kasus pemenjaraan Anwar Ibrahim di Malaysia oleh Najib Razak dengan tuduhan melakukan sodomi, atau bisa juga strategi politik Xi Jinping di Tiongkok yang menyingkirkan lawan politik lewat tuduhan korupsi.
Politisasi lembaga hukum itu tak lain dimaksudkan untuk mempertahankan status quo pemerintah dari serangan-serangan oposisi. Lalu, bagaimana dengan di Indonesia?
Seperti disinggung sebelumnya, kubu Jokowi seperti mendapatkan momentum pada kasus Ratna Sarumpaet. Kubu Prabowo memang harus hati-hati karena petahana memiliki kuasa atas lembaga hukum di negara ini.
Tom Power dari Australian National University (ANU), dalam tulisan Jokowi Authoritarian Turn mengatakan bahwa Jokowi terindikasi mempolitisasi lembaga hukum untuk meraih tujuan-tujuan politiknya. Tom Power berkaca pada fenomena bergabungnya tokoh-tokoh oposisi ke pihak Jokowi setelah mereka terkena kasus hukum, seperti pada kasus Harry Tanoesoedibjo dan Tuan Guru Bajang.
Sementara, pada kasus Ratna Sarumpaet, pola itu seperti berulang. Tokoh oposisi seperti Amien Rais, Ahmad Dhani hingga Dahnil Anzar harus berurusan dengan kasus hukum karena kebohongan kasus Ratna terungkap dan mereka dianggap sebagai bagian dari kebohongan tersebut.
Jika pak Prabowo kembali duduk di atas kuda pacunya & Rocky masih menyembur2kan dusta..itu karena mereka terikat kontrak kerja. Yg pertama u/ bertarung, yg ke 2 u/ menabung. Ratna? Dia sendirian murung
— Budiman Sudjatmiko (@budimandjatmiko) October 3, 2018
Dari sini bisa dilihat bahwa kubu Jokowi telah menggunakan hukum sebagai alat untuk menyerang lawan. Beberapa lawan politik Jokowi terbukti sudah takluk dengan serangan semacam itu. Lantas, bagaimana dengan politik mobilisasi massa di kubu Prabowo?
Aktivis Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KOMTAK), Zeng Wei Jian dalam salah satu tulisannya di portal RMOL menyebut Prabowo memiliki keunggulan dibandingkan Jokowi karena berhasil menggenggam kekuatan moral – bisa juga disebut massa.
Kekuatan massa dari kubu oposisi tersebut terbukti mampu mengalahkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Pilkada DKI tahun 2017. Maka bukan tak mungkin mereka akan menggunakan peralatan serupa untuk mengalahkan Jokowi di Pilpres 2019.
Gerakan mobilisasi massa, menurut Samuel Huntington, merupakan gerakan sosial yang mengarah pada mobilisasi kekuataan rakyat demi mendukung partai politik tertentu. Sesuai dengan sifatnya, melalui kekuatan kerumunan tersebut, massa akan dapat dipengaruhi pilihannya atau mengubahnya menjadi pemilih partisan.
Tak seperti Jokowi, Prabowo tak memiliki kuasa atas lembaga hukum. Mungkin karena itulah kubu Prabowo berusaha memaksimalkan mobilisasi massa untuk memenangkan pertarungan politik, sebut saja pada Aksi Bela Tauhid pada hari ini yang pada praktiknya justru bergeser dari tujuan awal. Alih-alih menggugat tindakan Banser, massa aksi justru meneriakkan tagar #2019GantiPresiden.
Tidak usah membuat opini yang aneh-aneh untuk menyerang Pak @prabowo. Disini kami sampaikan, Pak @prabowo menolak segala sikap dan tindakan yang bersifat provokatif terkait aksi pembakaran bendera yang terjadi beberapa waktu lalu. https://t.co/EulawiIdbt
— Partai Gerindra (@Gerindra) October 26, 2018
Dari pembahasan tersebut bisa disimpulkan bahwa kedua kubu sama-sama melakukan serangan dengan peralatan politik masing-masing. Jika kubu Jokowi menggunakan hukum sebagai alat politik, kubu Prabowo menggunakan massa demi memenuhi tujuan politik mereka.
Pada titik ini, kedua kubu terindikasi telah mengesampingkan moral, melakukan pembenaran terhadap semua sarana politik, bahkan menggunakan tipuan, kekuatan paksaan dan tipu daya untuk meraih kekuasaan.
Pada titik inilah ungkapan homo hominus lupus terasa relevan untuk menggambarkan situasi politik tanah air. Publik bukan lagi menonton pertarungan program dan gagasan, melainkan seperti melihat segerombolan serigala yang siap memangsa gerombolan serigala lain demi meraih ambisi politik mereka. Lantas, sampai kapan kegaduhan politik semacam ini akan terus berlangsung? (D38)