“Jadi yang terjadi, agama dipakai untuk kepentingan politik atau agama menjadi kendaraan politik. Ini nggak benar. Tapi kalau agama dijadikan acuan moral, itu betul. Tak ada masalah.” – Syafii Maarif
Pinterpolitik.com
[dropcap]G[/dropcap]erbang pertarungan dalam tajuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 sudah dibuka. Dua kontestan yang bertarung, Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno telah menyiapkan tim pemenangan masing-masing, peluru siap dikokang.
Peta politik sudah dibentangkan, target pemilih pun sudah masuk dalam kantong bidikan kedua belah pihak. Salah satu kelompok suara yang terbesar pada Pilpres kali ini adalah para pemilih Islam. Maka tidak berlebihan jika kelompok ini menjadi incaran baik oleh Jokowi maupun Prabowo. Persoalannya tinggal bagaimana cara suara itu didapatkan.
Dewasa ini sebagian masjid cenderung lebih partisan dalam konteks politik elektoral. Share on XDua kubu mendaulat diri mendapatkan dukungan dari organisasi massa Islam. Kubu Jokowi-Ma’ruf didukung oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) berbekal Ma’ruf yang berlatar belakang tokoh agama dan petinggi di ormas tersebut. Begitu pun dengan kubu Prabowo-Sandi, yang didukung oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama, bahkan dukungan ini dibakukan dalam Pakta Integritas yang ditandatangani Prabowo saat Ijtima Ulama II beberapa waktu lalu.
Salah satu pertarungan perebutan suara Islam dari dua kontestan ini adalah dalam hal penggunaan masjid. Masjid sebagai living culture atau budaya yang hidup adalah manifestasi dari umat Islam. Masjid memiliki arti penting sebagai ruang ritus dan juga aktivitas rohani lainnya.
Sementara itu, dalam perjalanan sejarahnya, masjid tidak pernah terlepas dari fenomena politik. Bahkan peran masjid sebagai medium dakwah juga sama tuanya dengan usia Islam itu sendiri. Nabi Muhammad sadar bahwa masjid akan menjadi modal utama dalam melanjutkan misi dakwahnya untuk membangun masyarakat yang beradab. Karenanya masjid dapat bersifat multifungsi dan menjadi bagian penting dalam masyarakat Islam.
Oleh karena itu, menarik untuk dicermati peranan masjid saat ini terutama pada musim Pilpres, ketika isu politik identitas – yang mengerucut pada Islam politik – digulirkan begitu deras. Kampanye saling menjelekkan dan menjatuhkan di antara dua kubuh nyatanya juga meminjam mimbar masjid.
Lantas bagaimana arti penting masjid sebagai simbol budaya umat Islam dalam konteks sosial keagamaan dewasa ini? Serta seperti apa fenomena masjid dalam konteks partisan politik praktis?
Masjid dan Fungsi Politiknya
Baik yang pro maupun kontra sama-sama menjadikan teks-teks keislaman, ayat-ayat Al-Quran serta hadis nabi sebagai acuan atau “basis teologi keislaman” untuk memperkuat atau melegitimasi pendapat dan argumen mereka dalam konteks penggunaan masjid sebagai mimbar politik.
Kelompok yang membolehkan misalnya mengatakan dan mengklaim jika dulu Nabi Muhammad selalu menjadikan masjid sebagai medium untuk membincangkan masalah perpolitikan, selain untuk ceramah dan salat.
Pada waktu itu peran masjid begitu sentral dalam kaitan sosial kemasyarakatan, karena masjid adalah bangunan publik satu-satunya yang dimiliki oleh umat Islam. Saat itu, belum ada tempat-tempat publik yang bisa dijadikan wadah konsolidasi politik.
Dalam kajian sosial keagamaan, masjid adalah salah satu pilar dalam membangun peradaban, khususnya peradaban umat Islam. Salah satu tokoh yang bicara tentang posisi masjid dalam kajian sosial keagamaan adalah Kuntowijoyo. Kunto sadar bahwa masjid tak pernah bebas dari politik. Masjid dan politik tak pernah benar-benar saling memunggungi karena masjid dalam sosiologi Islam adalah pusat siar.
Masjid, tentunya punya peran yang lebih emansipatif sebagai pendidikan politik masyarakat. Atau bisa disebut dengan politik substantif. Politik substantif artinya berkaitan dengan nilai-nilai universal dari ajaran agama. Sifatnya mengedukasi, misalnya terkait dengan pemenuhan hak-hak dasar manusia, perlindungan hak asasi, kesamaan di depan hukum, mencegah kemungkaran, dan lain sebagainya.
Di lain pihak, dewan masjid – sebagai lembaga yang menaungi masjid-masjid – semestinya memiliki peran untuk menghadapi isu politisasi masjid ini. Upaya deklarasi menolak politisasi masjid memang sudah dilakukan oleh Dewan Masjid Indonesia (DMI) beberapa waktu lalu. Tapi nampaknya hal itu belum bisa terlihat dampaknya. Apalagi dijelaskan oleh Wakil Ketua DMI, Komjen Syafruddin bahwa deklarasi itu sifatnya bukan mengatur. Sehingga DMI tidak bisa menetapkan aturan terkait apa yang bisa dan tidak boleh dilakukan di masjid.
Syafruddin mengembalikan hal itu kepada pengurus masjid masing-masing karena itu ada pada domain mereka. Hal ini sebenarnya cukup disayangkan karena masjid pada dasarnya tidak memiliki kontrol atau aturan untuk kepentingan politik praktis, katakanlah dalam hal kampanye.
Masjid seharusnya dapat menjadi pusat gerakan perubahan sosial yang memberdayakan masyarakat. Dalam hal ini menjadi pondasi solidaritas yang lebih mengakar, yaitu solidaritas sosial dan solidaritas ekonomi.
Tentu dalam menjadikan masjid sebagai pusat gerakan perubahan sosial yang emansipatif, perlu ada keterlibatan dari takmir atau pengurus masjid untuk memetakan dan mempererat soliditas jamaahnya, kemudian perlu sinergi dengan DMI, sehingga organisasi ini bisa lebih terlihat wujud dan kontribusinya.
Politik Praktis, Ciderai Masjid
Dewasa ini sebagian masjid cenderung lebih partisan dalam konteks politik elektoral. Menyambut masa kampanye Pilpres 2019, ada kekhawatiran akan adanya kemungkinan mimbar-mimbar masjid menyeret isu-isu agama ke dalam politik praktis.
Meskipun sudah ada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang melarang kampanye dilakukan di tempat ibadah, namun itu bukan sebuah hambatan bagi para kontestan. Hal ini sudah dicermati oleh pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Adi Prayitno yang mengatakan bahwa masjid akan menjadi arena pertarungan kedua kontestan Pilpres untuk merebut suara Islam.
Politisasi masjid dapat didefinisikan sebagai penggunaan masjid sebagai alat dalam memburu kepentingan politik. Masjid dijadikan tunggangan bagi kepentingan politik tertentu, alih-alih dijadikan sebagai tempat penyadaran atau pendidikan politik.
Meskipun jejak politisasi masjid sudah berlangsung sejak lama, namun bisa dilihat perkembangan isu ini semakin marak ketika pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017 lalu. Pada saat itu, masjid dijadikan tempat mengonsolidasikan suara umat Islam.
Kini, hal tersebut berpeluang terulang lagi. Saat ini banyak masjid di Indonesia terafiliasi dengan elite partai politik tertentu. Bahkan pengurus masjid memiliki hasrat untuk menyalurkan keberpihakan politiknya melalui ceramah, terlihat dari isi khotbah yang selama ini terdengar.
Bukan hanya di Jakarta, politisasi masjid juga terjadi di berbagai wilayah lain di Indonesia. Demi memuluskan jalan kepentingan politik praktis kekuasaan, mereka tidak segan-segan memakai cara-cara menyalahgunakan fungsi masjid, memanipuasi ayat, atau oleh beberapa pihak disebut “mengelabui Tuhan”. Inilah wajah masjid di Indonesia hari-hari ini.
Politisasi masjid ini menjadi semakin spesifik dalam hubungannya dengan sebuah gerakan. Pada Pilkada DKI 2017 lalu, juga tercipta terminologi “politik salat” yang menggunakan tajuk gerakan salat subuh. Ini adalah sebuah praktik salat berjamaah yang diidentikkan dengan gerakan bela Islam, sebuah aksi politis yang menuntut Gubernur DKI Jakarta saat itu Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dipenjara karena penodaan agama.
Politisasi agama itu kalau pas kampanye rajin ke masjid, lalu stlh menang malah lupa jln ke masjid, pas kampanye berjilbab setelah menang buka aurat, pas kampanye minta restu ulama stlh menang malah menjauh dr ulama, pas kampanye tampak bertaqwa, stlh menang malah jd gila dunia.
— Hilmi Firdausi (@Hilmi28) June 28, 2018
Prof. Dr. Sumanto al Qurtuby, pengajar Antropolgi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals Arab Saudi menulis dalam sebuah artikel bahwa bentuk ritual ibadah, baik di Islam maupun agama-agama lain, bukan hanya tindakan ibadah agama semata, tetapi juga bisa disebut sebagai aksi politik jika dilakukan dengan motif dan tujuan politik tertentu.
Tulisan Prof. Sumanto itu mengomentari terkait adanya fenomena salat jum’at di jalan raya, yang pada waktu itu marak terjadi seiring aksi-aksi bela Islam. Gerakan salat berjamaah ini bisa dikatakan sebagai eksploitasi kalangan elite politik dan tokoh agama yang terlibat dalam politik praktis.
Pendapat itu mengafirmasi adanya komodifikasi terkait relasi antara agama dan politik. Komodifikasi semacam ini adalah bentuk dari komodifikasi simbol-simbol agama secara kultural konvensional.
Dalam konteks Pilpres 2019, masjid akan menjadi ladang perebutan suara meskipun sudah ada larangan resmi yang mengaturnya. Baik pengurus masjid maupun elite politik sudah memiliki hubungan yang sejalan, sehinga penggunaan masjid sebagai medium kampanye akan mudah dilakukan.
Banyak pengurus masjid kerap mengundang penceramah spesialis pengkritik pemerintah. Tidak sedikit pula pengurus masjid yang pro pemerintah dengan selalu mengundang penceramah yang senang membeberkan pencapaian atau kinerja pemerintah. Kondisi ini yang kemudian akan dimanfaatkan oleh tim sukses masing-masing kubu.
Selain melakukan kampanye secara terbuka, kontestan politik juga akan melakukan kampanye secara samar-samar, dan nampaknya ini yang akan sering terjadi di masjid-masjid. Para kandidat akan menarik simpati dan membentuk suatu persepsi tertentu di tengah-tengah masyarakat.
Cara itu bisa dilakukan dengan mengunjungi masjid-masjid tertentu, dan mengikuti ibadah di masjid tersebut dibarengi dengan memberikan bantuan logistik dan lain sebagainya. Hal ini tentu bertujuan untuk menarik simpati rakyat. Meski narasinya samar-samar, tapi pesan politiknya jelas.
Terjadinya politisasi masjid ini akan membuat polarisasi dan perpecahan dalam masyarakat. Orang akan disuguhkan oleh lebih banyak ceramah dengan tendensi politik dalam bulan-bulan ini. Sebagai agenda politik jangka panjang, hal ini tentu saja akan merugikan masyarakat itu sendiri, dan hanya politisilah yang diuntungkan. (A37)