Absennya kebijakan ekonomi pro perempuan di Pilpres 2019 kali ini idealnya menjadi konsen bagi kedua kandidat yang akan bertarung. Baik Jokowi maupun Prabowo harus banyak belajar dari kebijakan Womenomic di Jepang
“Whatever women do they must do twice as well as men to be thought half as good. Luckily, this is not difficult” – Charlotte Whitton
PinterPolitik.com
Siapa yang tak kenal Kylie Jenner. Sosialita dan pengusaha muda pemilik brand Kylie Cosmetics ini dinobatkan sebagai America’s Richest Self-Made Women versi Forbes pada 2018 lalu.
Hal ini tentu menjadi kabar yang sedikit mengejutkan. Seperti yang diketahui, Kylie Jenner dikenal sebagai anak manja keluarga Kardashian yang sudah hidup bergelimang harta sejak kecil. Namun, seluruh capaian Kylie nyatanya mampu mematahkan stigma tersebut.
Pasalnya, ia meraup keuntungan dari bisnis kosmetik yang dibangun sendiri hingga US$ 900 miliar (Rp 12,8 triliun) dalam kurun waktu kurang dari tiga tahun. Maka tak berlebihan jika Kylie Jenner dinobatkan sebagai simbol kedigdayaan ekonomi perempuan di zamannya.
Fenomena Kylie dengan kedigdayaan ekonominya juga semakin menunjukkan bahwa kesetaraan gender dan kesejahteraan ekonomi perempuan juga mengalami peningkatan.
Peringatan International Women’s Day pada 8 Maret lalu idealnya menjadi ajang bagi para perempuan di seluruh dunia, dan di Indonesia secara khusus untuk merayakan era kesetaraan gender.
Namun, nyatanya segudang persoalan perempuan di negara ini masih menghantui kaum perempuan, utamanya di bidang ekonomi.
Kate Walton dalam tulisannya di Al-Jazeera menyebutkan bahwa perempuan Indonesia kini mengalami double burden atau beban ganda. Banyak perempuan harus bekerja untuk mencari nafkah, namun di sisi lain juga harus mengerjakan segudang pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci dan mengurus anak.
Namun, meskipun perempuan memiliki beban ganda, sayangnya realitas tersebut tak didukung peningkatan kesejahteraan perempuan di ranah ekonomi, utamanya menyoal adanya fenomena pay gap atau kesenjangan jumlah upah dengan kaum pria.
Dengan melihat realitas tersebut, rasanya sulit bagi perempuan-perempuan Indonesia untuk berkiprah layaknya Kylie Jenner jika tak ada pendekatan-pendekatan sistematis yang mampu membebaskan perempuan dari belenggu-belenggu yang ada.
Tentu hal ini menjadi persoalan serius, terutama menjelang Pilpres 2019, di mana baik Joko Widodo (Jokowi) maupun Prabowo Subianto terlihat tak memiliki gagasan serius tentang perempuan, apalagi menyoal persoalan ekonominya. Lalu, bagaimana memaknai ketertindasan perempuan dalam konteks ekonomi politik tersebut jelang Pilpres 2019 ini?
Segudang Persoalan
Persoalan marginalisasi perempuan dalam bidang ekonomi adalah hal yang serius mengingat Indonesia merupakan negara dengan rasio penduduk perempuan hampir seimbang dengan rasio penduduk laki-laki.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada tahun 2018 jumlah penduduk Indonesia terdiri dari laki-laki sebanyak 133,1 juta jiwa dan perempuan sebanyak 131,88 juta jiwa.
Dengan data tersebut, perempuan seharusnya menempati posisi yang setara dalam konteks pembangunan sumber daya manusia, utamanya di bidang ekonomi.
Namun, pembangunan ekonomi yang masih maskulin-sentris nyatanya tak begitu mengakomodasi partisipasi kemandirian ekonomi perempuan.
Kesetaraan ekonomi – baik dalam sistem maupun kebijakan – masih menjadi cita-cita yang jauh bagi pembangunan kualitas perempuan di Indonesia.
Kritik utama dilontarkan oleh para ekonom feminis yang menyebut bahwa cara pandang homo economicus yang sangat mewakili pandangan maskulin dengan mengesampingkan apa yang diklaim dalam karakteristik feminin, seperti konektivitas, altruisme, dan emosionalitas masih sangat kuat.
Around 80% of women in Indonesia's poorest households work – in other people's homes, as farmers, fisherwomen, tailors, day labourers or run a kiosk or food stand. Although they have jobs, their income is still seen as supplementary, even if they earn more than their husbands do. https://t.co/0CiaQsw6i5
— Festi Noverini (@pepsigolda) March 11, 2019
Secara teoritis, menurut Julie Nelson, profesor ekonomi di University of Massachusetts Boston, makna maskulinitas dalam ekonomi ini berasal dari laki-laki yang dilabeli sebagai makhluk ekonomi rasional yang kemudian diberikan status yang relatif tinggi dalam mengejar ekonomi.
Hal ini misalnya sangat terlihat dalam konteks pay gap di Indonesi. Berdasarkan laporan dari Australia-Indonesia Partnership for Economic Governance tahun 2017, dalam wilayah kerja, perempuan Indonesia dibayar 70-80 persen dari yang didapatkan laki-laki per jamnya.
Sementara itu, laporan dari International Labor Organization pada 2014, mencontohkan pekerja garmen perempuan di Indonesia berpenghasilan 10-20 persen lebih rendah dibanding laki-laki.
Sedangkan menurut data BPS, gap pendapatan antara laki-laki dan perempuan mencapai Rp 690 ribu per bulan pada tahun 2017, menanjak secara konsisten dari dua tahun sebelumnya yang hanya mencapai Rp 370 ribu per bulan di 2015.
Beberapa ekonom feminis juga mengkritik masih adanya kompetisi yang tak menempatkan perempuan dalam aktivitas-aktivitas ekonomi prioritas.
Data tenaga kerja BPS Agustus 2017 menyebut sektor pertambangan, listrik, gas, air dan jasa keuangan masih menjadi pekerjaan dengan upah terbesar di Indonesia. Sayangnya pada sektor-sektor tersebut, jumlah tenaga kerja perempuan masih relatif rendah dibandingkan tenaga kerja laki-laki.
Kondisi ini yang pada akhirnya membuat banyak pekerja perempuan ditempatkan pada sektor unskilled job yang rentan mendapat perlakuan tidak adil.
Perlu diketahui, sekitar 80 persen perempuan di Indonesia bekerja di sektor unskilled job seperti petani, nelayan, penjahit, pekerja harian, buruh pabrik, menjalankan kios atau berjualan makanan.
Contoh lainnya adalah praktek feminisasi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang dalam praktiknya merugikan perempuan. Menurut laporan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), sebesar 62 persen dari total TKI adalah kaum perempuan. Para perempuan ini bekerja di 152 negara, mulai dari Arab Saudi hingga ke negara tetangga seperti Malaysia.
Ironinya, mayoritas dari mereka bekerja dengan keterampilan yang rendah dan hanya menempati sektor jasa seperti menjadi penjaga orang lanjut usia (lansia) dan pembantu rumah tangga (PRT).
Realitas tersebut semakin menunjukkan bahwa terdapat diskriminasi perempuan melalui sistem kerja yang tidak adil yang menyebabkan perempuan kehilangan kesempatan untuk berdikari secara ekonomi. Hal ini juga diperkuat oleh konteks budaya patriarkal yang masih kuat di Indonesia dengan laki-laki sebagai pusat hampir semua bidang kehidupan.
Oleh karenanya, segudang persoalan ini tak bisa hanya dianggap sebagai angin lalu oleh para politisi dan para pengambil kebijakan. Lalu, bagaimana isu ini seharusnya disikapi oleh kandidat-kandidat yang bersaing di Pilpres kali ini?
Womenomics, Wujud Feminisme Abe
Di tahun 2013, Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe memperkenalkan kebijakan yang dikenal sebagai womenomics alias women economics. Kebijakan ini merupakan kumpulan kebijakan yang bertujuan untuk memberdayakan perempuan di Jepang secara ekonomi.
Jepang sendiri juga memiliki persoalan yang hampir serupa dengan Indonesia dimana masih kuatnya pay gap antara laki-laki dan perempuan, Indeks Pembangunan Gender (IPG) yang rendah, hingga persoalan unskilled job bagi perempuan.
Selain itu, sebanyak 6 dari 10 pekerja perempuan adalah pekerja tidak tetap dan menghadap berbagai persoalan di ranah kerja. Oleh karenanya, realitas tersebut yang kemudian melatarbelakangi lahirnya womenomics Shinzo Abe.
Fokus dari kebijakan ini adalah untuk meningkatkan partisipasi perempuan di dunia kerja, memfasilitasi kemampuan mereka untuk tetap bekerja, dan meningkatkan jumlah perempuan di posisi kepemimpinan di berbagai sektor.
Sejak kebijakan ini diluncurkan, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan naik dari 53,1 persen menjadi 60,7 persen. Hingga pada tahun 2016, persentasenya telah mencapai 66 persen.
Kebijakan ini juga berfokus pada perubahan budaya perusahaan Jepang guna mencapai keseimbangan kerja antara laki-laki dan perempuan dalam meraih kehidupan yang lebih baik.
Beberapa kebijakan radikal juga dilakukan, misalnya pemberlakuan jam kerja enam jam untuk karyawan perempuan dengan anak di bawah usia tiga tahun pertama.
Dapat dikatakan bahwa womenomics telah berhasil, terutama dalam meningkatkan jumlah wanita dalam dunia kerja dan menyeimbangkan peran perempuan di ranah kerja dan ranah domestik.
Apa yang dilakukan Abe adalah salah satu contoh di mana terdapat pemimpin negara yang mengesampingkan sudut pandang homo economicus yang maskulin terhadap potensi ekonomi perempuan – sekalipun kebijakan ini juga dilakukan karena konteks demografi masyarakat Jepang yang makin menua dan mulai kesulitan menghadirkan angkatan kerja baru.
Abe berhasil mencontohkan bahwa pemimpin laki-laki idealnya juga harus memiliki visi yang tak mengesampingkan eksistensi perempuan yang memiliki potensi cukup besar dalam konteks pembangunan ekonomi. Meskipun womenomics di Jepang sendiri juga masih menuai pro dan kontra, kebijakan Abe adalah simbol feminisme dalam politik Jepang yang masih kental dengan budaya maskulinnya.
Sayangnya, apa yang dilakukan Abe belum menjadi inspirasi bagi para pemimpin di negeri ini. Jelang Pilpres pada April nanti, rasa-rasanya program pro-gender, utamanya tentang isu perempuan dan ekonomi, nyaris absen dari visi misi kedua kandidat yang akan bertarung.
Melihat realitas yang ada, baik kubu Prabowo maupun Jokowi memang tak memiliki visi yang kuat terhadap kebijakan pemberdayan perempuan ini.
Jokowi misalnya hanya sebatas membanggakan keberadaan menteri-menteri perempuan dalam kabinetnya tanpa ada program baru yang konkret dan spesifik berbicara tentang kepentingan perempuan di tataran yang paling kecil, termasuk dalam hal pay gap.
Sementara kubu Prabowo pun hanya terkesan mengkapitalisasi isu perempuan untuk kepentingan elektoral saja, misalnya dalam konteks dukungan emak-emak. Program konkret yang berbicara tentang kesetaraan perempuan dalam dunia kerja belaum banyak disentuh.
Realitas tersebut menunjukkan bahwa para politisi laki-laki masih gemar menempatkan perempuan sebagai objek dan alat politik yang dengan leluasa dapat dikapitalisasi dalam momentum politik dibandingkan memberdayakan mereka melalui kebijakan-kebijakan yang membangun.
Dibandingkan menyuarakan program-program pembangunan ekonomi pro perempuan, mereka lebih banyak memanfaatkan konteks posisi perempuan sebagai kekuatan elektoral dan alat kampanye demi melancarkan upaya pemenangan.
Jika sudah demikian, di era yang semakin menuntut kemajuan dan kesetaraan ini, perempuan Indonesia masih akan selalu menghadapi belenggu-belenggu subordinasi dan patriarki yang menyebabkan mereka tak mampu untuk berdikari secara ekonomi.
Inilah yang menjadi ironi, di mana tingginya angka kekerasan terhadap perempuan seringkali terjadi karena kondisi ekonomi yang rendah dan keterkungkungan perempuan terhadap akses ekonomi. Seharusnya, Jokowi dan Prabowo bisa mencontoh Abe. (M39)