Meningkatnya politik identitas jelang Pilpres 2019 yang bisa berujung pada gesekan dan perpecahan, tentu saja mengkhawatirkan. Di momen peringatan Hari Pahlawan 10 November 2018, ada baiknya kandidat-kandidat yang bersaing sedikit menoleh ke belakang dan melihat sejarah negara ini, yang salah satunya tergambar dalam perjalanan hidup AR Baswedan. Pria keturunan Arab yang lidahnya kental berbahasa Jawa itu menghabiskan masa mudanya dekat dengan banyak tokoh Tionghoa dan mendobrak batas-batas identitas yang dibuat penjajah.
PinterPolitik.com
“Indonesia semboyan persatuanku, Indonesia tanah tumpah darahku. Persatuan Arab Indonesia, makin lama makin bercahaya, kita tetap bersetia”.
:: Mars Persatuan Arab Indonesia, lirik oleh AR Baswedan, lagu oleh Syekh Akbar (ayah dari Ahmad Albar) ::
[dropcap]P[/dropcap]rogresif! Mungkin itulah kata yang cocok untuk menggambarkan sebuah foto pria keturunan Arab yang mengenakan beskap dan belangkon lengkap layaknya seorang pribumi Jawa. Dialah Abdurrahman Baswedan – lengkapnya Abdurrahman bin Awad bin Umar bin Abubakar bin Muhammad bin Abdullah bin Abdurrahman bin Ali Baswedan – pria yang ada dalam foto tersebut.
Bagaimana tidak menggemparkan, potret diri itu menghiasi salah satu halaman harian Matahari – sebuah koran berbahasa Melayu-Tionghoa di Semarang yang didirikan oleh warga Tionghoa bernama Kwee Hing Tjiat – disertai sebuah artikel yang berisi ajakan bagi warga keturunan Arab untuk mendukung dan membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Tulisan tersebut tentu saja dianggap sangat progresif karena artikel yang terbit pada 1 Agustus 1934 itu menabrak “politik kelas” masyarakat yang diciptakan pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Seorang keturunan Arab, berpakaian adat Jawa pribumi, menulis untuk koran orang-orang Tionghoa. Hal itu saja sudah lebih dari cukup untuk membuat heboh.
AR Baswedan menjadi contoh orang Indonesia sejati: bergaul dan berteman dengan siapa saja tanpa memandang batas-batas suku, agama dan ras – hal yang saat ini sepertinya sudah mulai luntur dari kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Share on XNyatanya, tulisan tersebut menjadi awal gerakan perjuangan kelompok keturunan Arab untuk menyatukan identitas dirinya sebagai bagian dari sebuah kesatuan bangsa Indonesia.
Kini, kisah progresivisme AR Baswedan itu pada akhirnya membuahkan penghargaan tertinggi yang bisa diberikan oleh negara padanya. Jelang peringatan Hari Pahlawan pada 10 November 2018, pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional pada 6 tokoh yang dianggap berjasa dan AR Baswedan adalah salah satu tokoh yang akan mendapatkan kehormatan tersebut.
Perjuangan AR Baswedan yang progresif dan menerobos batas-batas identitas sosial masyarakat saat itu untuk ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia adalah hal yang sangat berharga untuk bangsa ini.
Sayangnya, mungkin mantan jurnalis itu akan “marah-marah” jika masih hidup saat ini, apalagi dalam konteks jelang Pilpres 2019. Pasalnya, batasan identitas yang ia terobos untuk memperjuangkan ke-Indonesiaan, kini menjadi “alat legitimasi” untuk memperebutkan kekuasaan yang belakangan menjurus pada perpecahan di masyarakat.
Lalu, seperti apa pelajaran yang seharusnya diambil dari jalan perjuangan kakek dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan ini?
Ius Soli, Tanah Lahirku Tanah Airku
Ada begitu banyak kisah menarik yang mengiringi perjalanan hidup AR Baswedan. Jika ditelusuri, kakek AR Baswedan dari garis ayah bernama Umar bin Abubakar bin Muhammad bin Abdullah merupakan seorang Arab totok – sebuatan untuk orang asli Arab – yang berasal dari keluarga pedagang terkenal dari kota Syibam, sebuah kota kecil di wilayah kegubernuran (governorate) Hadramaut, Yaman.
Pada saat lahir, AR Baswedan dihadapkan pada situasi retaknya lapisan sosial dalam masyarakat Arab Indonesia, entah karena golongan marga keluarga, perkara golongan sayyid atau bukan – sebutan kehormatan untuk keturunan Nabi Muhammad SAW dari cucunya, Hasan bin Ali dan Husain bin Ali – maupun antara golongan totok dan peranakan.
Beberapa penulis menyebut situasi tersebut secara tidak langsung membentuk pribadi Baswedan menjadi cenderung progresif. Pada usia 17 tahun, Baswedan muda telah menjadi mubalig Muhammadiyah dan anggota Jong Islamiten Bond.
Sebagai keturunan Arab, ia pun mengalami diskriminasi sosial yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Saat itu terdapat kelas-kelas dalam masyarakat Indonesia. Kelas pertama adalah orang-orang Eropa, kelas kedua adalah etnis Tionghoa, Arab dan India, sedangkan kelas ketiga adalah golongan pribumi.
Walaupun hidup dalam pemisahan struktur sosial, AR Baswedan keluar dari batasan-batasan tersebut dan bergaul dengan siapa saja, baik pribumi maupun orang-orang keturunan dari etnis lain, terutama dengan orang-orang Tionghoa. Selain itu, sekalipun keturunan Arab, lidah Baswedan juga fasih dan kental dengan bahasa Jawa.
Kala itu, masyarakat keturunan Arab, Tionghoa dan Eropa lainnya memang dianggap sebagai kelas yang ada di atas golongan pribumi, sementara perjuangan kemerdekaan Indonesia umumnya diidentikan dengan gerakan kelompok pribumi.
Kiprah Baswedan yang paling menonjol tentu saja ada di dunia tulis menulis dan jurnalistik. Walaupun lahir di tengah-tengah masyarakat yang diisolasi oleh pemerintah kolonial, namun pergaulan yang ia rintis jauh melampaui batas-batas etnisnya. Itulah yang ia lakukan ketika mulai menapaki jejak-jejak karirnya dalam dunia jurnalistik. Ia bergaul erat dengan kawan-kawannya dari golongan Tionghoa, terutama dengan sesama aktivis.
Ia berkawan baik dengan Liem Koen Hian (1897-1952) – pendiri Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang juga redaktur Sin Tit Po, sebuah surat kabar Melayu-Tionghoa yang diterbitkan di Surabaya. Di koran itu pula Baswedan sempat bekerja sebagai jurnalis.
Persahabatan AR Baswedan dengan sesama aktivis, baik dari keturunan Arab, pribumi, maupun Tionghoa, sering kali digunakan untuk melawan pemerintah kolonial Belanda dan melawan masyarakat Eropa.
Selain Sin Tit Po, nama-nama seperti Soeara Oemoem, Matahari, Majalah SADAR, Nusaputra, Harian Mercusuar dan Masa Kini merupakan beberapa koran dan majalah tempat ia pernah menyalurkan karya-karyanya.
Sementara aksinya yang paling fenomenal – seperti sudah disinggung di awal tulisan – adalah ketika ia memuat tulisannya tentang pentingnya keterlibatan orang-orang keturunan Arab dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia di harian Matahari. Dalam artikel tersebut ia menyerukan pada orang-orang keturunan Arab agar bersatu membantu perjuangan Indonesia.
Ia mengajak semua keturunan Arab untuk keluar dari batas-batas perbedaan yang ada dan menganut asas kewarganegaraan ius soli: di mana saya lahir, di situlah tanah airku. Ius soli (Latin: hak untuk wilayah) merupakan hak seseorang untuk mendapatkan kewarganegaraan berdasarkan tempat lahir.
Pasca dimuatnya tulisan tersebut, pada 4 Oktober 1934, AR Baswedan mengumpulkan para peranakan Arab di Semarang dalam sebuah kongres. Saat itu, dikumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab yang menyatakan Indonesia sebagai tanah air dan akan berjuang untuk mendukung tercapainya kemerdekaan melawan Belanda.
Lalu berdirilah Persatuan Arab Indonesia yang kemudian berubah menjadi Partai Arab Indonesia (PAI), dan AR Baswedan dipilih sebagai ketua. Beberapa sumber menyebutkan bahwa PAI didirikan Baswedan terinspirasi dari PTI yang berdiri pada 1932. Sejak saat itu, PAI ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Keterlibatan Baswedan pun semakin besar setelah ikut menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang didirikan untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.
Kemudian, pasca proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, AR Baswedan tercatat pernah menjadi delegasi Indonesia untuk melobi negara-negara anggota Liga Arab agar mendapatkan pengakuan kedaulatan.
Bersama dengan Haji Agus Salim (Menteri Muda Luar Negeri), Rasyidi (Sekjen Kementerian Agama), Muhammad Natsir, dan St. Pamuncak, ia menjadi delegasi diplomatik pertama yang dibentuk oleh Indonesia.
Mereka melobi para pemimpin negara-negara Arab. Perjuangan ini berhasil meraih pengakuan pertama atas eksistensi Republik Indonesia secara de facto dan de jure oleh Mesir. Perjuangan untuk mendapatkan pengakuan tersebut tidaklah mudah.
Ada beberapa cerita yang menyebutkan bahwa AR Baswedan sampai harus menyembunyikan beberapa dokumen dalam kaus kakinya untuk menghindari pemeriksaan keamanan. Kisah keberhasilannya menyelundupkan dokumen dalam kaus kaki itu dikisahkan langsung oleh sang cucu, Anies Baswedan.
Di sisa hidupnya, AR Baswedan tetap melakoni hari-hari sebagai jurnalis dan mubalig dalam kesederhanaan. Beberapa sumber bahkan menyebutkan bahwa hingga akhir hayat, ia tidak memiliki rumah sendiri. Ia dan keluarga menempati rumah pinjaman di dalam kompleks Taman Yuwono di Yogyakarta, sebuah kompleks perumahan yang dipinjamkan oleh Haji Bilal untuk para pejuang revolusi saat Ibukota Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta.
Menembus Batas Identitas
AR Baswedan menghembuskan napas terakhirnya pada 16 Maret 1986, meninggalkan 11 orang anak. Jasa-jasanya akan diingat sebagai tokoh yang progresif pada zamannya dan berperan pada pengakuan kedaulatan negara.
AR Baswedan adalah tokoh yang berani keluar dari batas-batas yang ada di sekitarnya. Ia menjadi contoh orang Indonesia sejati: bergaul dan berteman dengan siapa saja tanpa memandang batas-batas suku, agama dan ras – hal yang saat ini sepertinya sudah mulai luntur dari kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Dalam konteks perjuangan politik, ia setidaknya menjalankan perannya sesuai dengan pemikiran Aristoteles, bahwa politik dan komunitas politik memang harus menjadi peran sentral dalam mewujudkan kehidupan berbudi luhur dalam masyarakat.
Kiprah AR Baswedan sudah lebih dari cukup untuk melaksanakan hal tersebut. Ia setidaknya menunjukkan bahwa politik itu bukan hanya sekedar soal kekuasaan saja, tetapi lebih daripada itu, harus bisa memberikan sumbangsih bagi kehidupan masyarakat.
Jelang Pilpres 2019, mungkin baik jika Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto yang bersaing memperebutkan kursi nomor 1 di negeri ini, ikut menyadari apa yang digariskan oleh AR Baswedan itu. Sekejam-kejamnya politik, memang semuanya harus ditujukan untuk melayani kepentingan masyarakat banyak.
Apalagi dengan konteks politik identitas yang dalam 5 tahun terakhir menjadi mainan utama dalam politik Indonesia, sudah selayaknya semua pihak malu dengan apa yang mereka lakukan. Mempertajam sekat-sekat identitas tentu saja akan menjadi pengkhianatan terhadap sejarah dan terhadap perjuangan tokoh seperti AR Baswedan.
Semoga gelar Pahlawan Nasional yang ia terima tidak hanya membuat masyarakat mengingat namanya saja, tetapi juga kiprah dan nilai-nilai yang ia perjuangkan untuk bangsa dan negara ini. (S13)