Pilkada 2018 akan menjadi panggung perang proxy antara Jokowi melawan Prabowo. Perebutan suara di Pulau Jawa dalam tajuk “The Battle of Javanesia” akan menjadi ajang persiapan mencari siapa pemenang Pilpres 2019, sekaligus jualan retorika penjajakan koalisi.
Pinterpolitik.com
“He who loves practice without theory is like the sailor who boards ship without a rudder and compass and never knows where he may cast.”
:: Leonardo da Vinci (1452-1519) ::
[dropcap]G[/dropcap]enderang penanda dimulainya pertempuran bertajuk Pilkada 2018 memang tinggal menghitung jam. Kegalauan politik pun menyeruak, mulai dari tuduhan netralitas aparat di antara para elit, hingga rakyat biasa yang bertanya-tanya: “Apakah hari itu kita akan libur bekerja atau tidak?” Keputusan Presiden memang telah terbit, tetapi the news must go on.
Ibarat kisah Greco-Persian War antara koalisi negara-negara Yunani Kuno melawan digdaya Kekaisaran Persia, semua kubu merapatkan barisan dan menghitung kekuatan di detik-detik akhir. Namun, fokus terbesarnya adalah tentang menguasai wilayah terbesar dari negara ini: Javanesia.
Setidaknya, hal itulah yang tergambar dalam tulisan yang dimuat oleh portal berita Singapura The Straits Times dalam tajuk tentang peluang Pilkada 2018 menentukan konstelasi politik nasional Indonesia jelang Pilpres 2019.
Dari 171 daerah yang akan menyelenggarakan pesta demokrasi lima tahunan memilih kepala daerah itu, nyatanya fokus utama masyarakat akan mengarah pada 3 Pilgub yang terjadi di Pulau Jawa – serta Pilgub Sumatera Utara (Sumut) jika dilihat dari sudut pandang kekuatan politik wilayah Sumatera – yang dianggap sebagai panggung utama perebutan suara. Kemenangan di daerah-daerah tersebut diprediksi akan menjadi gambaran besar seperti apa hasil Pilpres di 2019 nanti.
Para pemenang Pilkada. Sebuah ramalan:
1. Sumut: Djarot-Sihar
2. Jabar: RK-Uu
4. Jateng: Ganjar-Yasin
5. Jatim: Gus Ipul-Puti????
— Bonnie Triyana (@BonnieTriyana) June 25, 2018
Di daerah-daerah ini akan terjadi perang proxy antara sang petahana, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melawan Prabowo Subianto. Selain antara Jokowi dan Prabowo, tarung Pilkada ini nyatanya juga menjadi persinggungan kepentingan antara Jokowi dengan patron politik lain, termasuk dengan Megawati Soekarnoputri, sang Ketua Umum PDIP, dan menjadi ajang “raba-raba” koalisi.
Siapa yang akan menang?
The Battle of Javanesia
Tanpa mengabaikan 9 juta Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Sumatera Utara, serta 60 juta pemilih di daerah lain, tidak berlebihan jika menyebut Pilkada 2018 adalah milik hampir 90 juta warga yang bermukim di Pulau Jawa.
Dengan 3 provinsi paling padat penduduk melaksanakan pemilihan gubernurnya, tidak heran jika istilah Javanesia – Java-Indonesia – menjadi terminologi yang cukup mewakili kondisi Pilkada kali ini. Memenangkan 3 provinsi ini saja – ditambah Sumut – sudah membuat pihak manapun menguasai hampir 64 persen suara nasional pada Pilkada kali ini, atau hampir 50 persen suara nasional berdasarkan DPT untuk Pemilu 2019 nanti.
Jika merujuk pada pemberitaan di The Straits Times tersebut, di Jawa Barat (Jabar), Jokowi berpeluang menjadi pendukung utama di balik pasangan Ridwan Kamil dan Uu Ruzhanul Ulum. Sang Presiden disebut sebagai “sekutu” utama Kang Emil. Hal ini beralasan jika menilik sejarah hubungan keduanya, misalnya ketika Jokowi meminta Kang Emil tidak maju pada Pilgub DKI Jakarta beberapa waktu lalu.
Sementara Prabowo jelas mendukung Sudrajat dan Ahmad Syaikhu – pasangan yang dalam kampanyenya justru menggunakan slogan #2019gantipresiden sebagai jargon politik. Menariknya, di Pilgub Jabar ini, Jokowi berpeluang untuk berhadapan dengan patron politiknya, Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri yang mengusung pasangan TB Hasanudin dan Anton Charliyan.
Terkait Megawati, The Straits Times – Wahyudi Soeriaatmadja lebih tepatnya, sebagai penulis artikel tersebut – menggunakan istilah “awkward” untuk menggambarkan hubungan Mega dan Jokowi. Ini sekaligus membenarkan selentingan panas-dinginnya hubungan Mega dan Jokowi “sang petugas partai”.
Selain Mega, pertarungan patron di Jabar ini tentu saja juga melibatkan pasangan Deddy Mizwar dan Dedi Mulyadi alias pasangan Duo DM. Menariknya, pasangan yang diusung Demokrat dan Golkar ini – yang menurut hasil survei beberapa lembaga menjadi calon dengan elektabilitas tertinggi – roman-romannya juga memiliki “hubungan” dengan Jokowi.
Hubungan tersebut bisa ditarik dari sisi Golkar sebagai partai yang sudah mendukung Jokowi sebagai capres untuk 2019, serta Demokrat yang nyatanya tidak “alergi” untuk mendukung Jokowi. Posisi partai terakhir terhadap Jokowi memang hanya terganjal oleh keberadaan PDIP.
Sementara, di Jawa Tengah (Jateng), ada Sudirman Said yang didukung oleh Prabowo, berhadapan dengan sang petahana Ganjar Pranowo yang didukung oleh PDIP dan koalisi. Pada Pilkada ini, Jokowi sangat mungkin juga ikut mendukung Ganjar dan mengabaikan fakta hubungan awalnya dengan Sudirman Said yang pernah menjadi bagian dari kabinet kerja jilid awal.
Hal yang paling menarik mungkin akan terlihat di Jawa Timur (Jatim). Jokowi disebut-sebut “condong” mendukung mantan Menteri Sosial-nya, Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak. Padahal, sang patron politik, Megawati Soekarnoputri berdiri sebagai pendukung utama pasangan lawan, Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dan keponakannya Puti Guntur Soekarno.
Wahyudi mencatat bahwa tensi politik antara Jokowi dan Mega dalam kasus Pilgub Jatim ini terlihat saat keduanya bertemu di Bali, di mana putri Soekarno itu menegaskan kembali istilah “petugas partai” untuk mengarahkan posisi Jokowi.
Hal lain yang menarik adalah belakangan Gus Ipul dan Puti telah menyatakan akan mendukung Jokowi pada Pilpres 2019, sebagai kewajiban melaksanakan keputusan Rapimnas PDIP di Bali yang memang telah menetapkan Jokowi sebagai capres partai banteng tersebut.
Namun, pernyataan Gus Ipul ini bisa jadi hanya sebagai strategi kampanye politik, mengingat political endorsement dengan nama Jokowi di depannya akan sangat efektif mendulang suara. Tetapi, at this point, mungkin lebih fair untuk mengatakan bahwa Jokowi punya dua kaki politik di Pilgub Jatim.
Perang Milik Jokowi?
So, apa yang bisa disimpulkan dari tarung politik bertajuk Battle of Javanesia ini? Tidak ada keraguan untuk menyebutkan bahwa di tiga daerah ini, kemungkinan Jokowi untuk menempatkan calon yang ia dukung sebagai penguasa sangat besar terjadi.
Jika melihat calon yang didukung lawan politiknya, Prabowo Subianto, sulit untuk membayangkan mantan Danjen Kopassus itu bisa menempatkan orangnya di pucuk kekuasaan lumbung-lumbung suara Javanesia.
Di Jawa Barat dengan 31,75 juta pemilih misalnya, Jokowi berpeluang untuk memenangkan pengaruh lewat dua pasangan terkuat, yaitu Kang Emil “sang sekutu”, atau pasangan Duo DM yang juga tidak lepas dari pengaruh sang presiden, katakanlah lewat Golkar.
Sementara, pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu sangat sulit memenangkan tarung politik ini. Tengok saja perolehan 7,9 persen suara berdasarkan survei SMRC pada Mei lalu, berbanding sangat jauh dengan perolehan Kang Emil-Uu (43,1 persen) dan Duo DM (34,1 persen). Hal serupa juga bisa dilihat dari beberapa survei lain. Jadi, di Jabar Jokowi sangat mungkin menang.
Ini predikasi ane pemenang pilkada di jawa : jabar – emil, jateng – ganjar, jatim – khofifah.
— Ahmad Fauzi (@fauziprince) June 25, 2018
Di Jateng dengan 27,06 juta pemilih, tak ada yang meragukan kekuatan politik Ganjar sebagai petahana. Dengan “mingkemnya” kasus e-KTP yang diduga melibatkan pria beruban itu, sulit untuk melihat ada halangan bagi sang petahana kembali ke kursi Jateng 1.
Sementara, di Jatim, Jokowi berpeluang memenangkan semuanya. Namun, posisi keuntungan politik di Jatim ini akan sangat bergantung dari situasi koalisi nasional. Jika tidak ada win-win solution antara Jokowi, Demokrat dan PDIP, maka Prabowo masih punya peluang untuk merengkuh kekuatan dengan menarik salah satu dari antara Demokrat atau PDIP – tentu saja jika deal-deal politik bisa terjadi di antara mereka.
Hal yang akan sangat merugikan bagi Prabowo adalah jika koalisi PDIP-Demokrat secara nasional untuk mengusung Jokowi bisa terwujud. Jika itu yang terjadi, maka memenangkan Jawa secara keseluruhan adalah mustahil bagi Ketua Umum Partai Gerindra tersebut. Bahkan, Prabowo mungkin harus say goodbye untuk mewujudkan mimpinya menjadi penguasa negeri ini.
Artinya, secara matematis, the battle of Javanesia ini sangat mungkin akan dimenangkan oleh Jokowi. Namun, dalam politik tidak ada hal yang pasti. Segala sesuatu bisa berubah dalam hitungan menit dan detik, dan tidak ada jaminan mutlak bagi Jokowi untuk menang di Pilpres 2019 hanya dengan menguasai Javanesia.
Jokowi, The Spiritual Head Pemenang?
Dalam tulisannya yang berjudul Election Campaign: A Strategic Theory, Soumendra N. Bagchi menyebutkan bahwa salah satu role utama yang penting dalam kampanye politik adalah spiritual head. Orang tersebut adalah yang menentukan arah kekuasaan calon tertentu dan bahkan berpeluang ikut menentukan hasil akhir sebuah kontes politik.
Dalam konteks Pilkada Javanesia, Jokowi adalah salah satu spiritual head. Secara politik, sang presiden punya kepentingan yang sangat besar mengamankan Javanesia demi mewujudkan periode kedua kekuasaannya. Akan lebih mudah bagi Jokowi jika mampu menempatkan “sekutunya” di pucuk-pucuk kekuasaan lumbung suara.
Bagi oposisi – dalam hal ini Prabowo – jelas situasinya berbanding terbalik dengan apa yang terjadi pada Jokowi. Sebagai spiritual head, Prabowo boleh jadi telah salah langkah ketika memilih sosok yang tidak populer seperti Sudrajat untuk maju pada Pilgub Jabar.
Ia juga akan sulit menang di Jateng jika melihat digdaya Ganjar. Di Jatim, mungkin bisa menang, tapi calon yang didukungnya bukanlah kader Gerindra. Bahkan, partai kepala burung itu berkoalisi dengan PDIP pada Pilgub ini.
So, secara teori, sulit bagi Prabowo untuk menang.
Gerindra & Pks terlalu terlena kemenangan DKI. Anies baswedan punya elektabilitas dan bisa untuk berdebat. Sedangkan cagubnya di Jabar, Jatim, Jateng sulit untuk menaikan elektabilitas dan menang di pilkada.
— rifki ilham yusrizal (@rifkiilhamy) June 25, 2018
Namun, ceritanya akan berubah jika koalisi di tingkat nasional mengalami pergeseran, dan Jokowi harus memilih salah satu di antara Demokrat atau PDIP. Jika hal ini yang terjadi, maka Prabowo dan Gerindra bisa mengambil momentum untuk mendekati salah satu kubu.
Oleh karena itu, tidak salah jika menyebut kekisruhan PDIP dengan Demokrat belakangan ini adalah keuntungan politik bagi Prabowo di hadapan Jokowi. Semakin kisruh dua partai itu, semakin baik untuk Prabowo.
Yang jelas, Jokowi sedang dalam posisi unggul, dan sebagai spiritual head – seperti kada Da Vinci di awal tulisan – ia telah mengendalikan kapalnya dengan baik. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)