Perang kampanye media sosial seperti menganaktirikan kampanye dari pintu ke pintu.
Pinterpolitik.com
[dropcap]K[/dropcap]ampanye di media sosial memang murah dan mudah. Bermodal jempol, orang sudah bisa menyebarkan pesan-pesan bernada politik ke jutaan pasang mata. Memang, ada yang menggunakan jasa buzzer atau bahakan konsultan dengan tarif tertentu. Akan tetapi, cara ini tergolong lebih tidak berkeringat jika harus melakukan kampanye tatap muka, apalagi jika harus datang dari pintu ke pintu (door to door).
Belakangan, gerilya politik di media sosial memang tampak benar-benar sudah memuncak. Masing-masing kubu yang bertarung melakukan berbagai cara agar bisa menimbulkan tren di media sosial. Perang berdarah di dunia maya ini terkadang seperti mengerdilkan peran kampanye di dunia nyata.
Fenomena ini disoroti oleh lembaga survei Cyrus Network. Menurut mereka, kampanye di media sosial sudah mencapai titik jenuh. Tak hanya itu, kampanye ini digambarkan sebagai sesuatu yang tidak terlampau efektif. Meski begitu, cara ini tampaknya masih menjadi favorit para politikus. Sementara itu, kampanye dengan model tatap muka justru dianggap sudah loyo dan bahkan kuno.
Media sosial jelas memberikan kemudahan kepada kandidat-kandidat untuk menjangkau masyarakat. Akan tetapi, apakah media sosial sudah bisa sepenuhnya menghilangkan kampanye dengan jenis tatap muka? Apakah sebaiknya kampanye tatap muka sudah seharusnya ditinggalkan sama sekali?
Memindahkan Perang
Persoalan dari kampanye di media sosial adalah sebenarnya boleh jadi kampanye seperti ini belum sepenuhnya menjangkau masyarakat di Indonesia. Di satu sisi, kampanye ini memang bisa membantu pembentukan opini dengan menciptakan tren dan paparan media, tetapi tetap ada jarak antara kampanye media sosial dengan kampanye yang lebih riil.
Dalam beberapa survei bahkan digambarkan bahwa ada jarak antara pengguna media sosial dengan masyarakat lain secara umum di Indonesia. Pada survei yang dirilis oleh Cyrus misalnya, terungkap bahwa pemilih yang terkoneksi dengan media sosial hanya 39,2 persen.
Jika diperhatikan hasil survei semacam ini bukanlah yang pertama. Pada survei milik Indikator Politik Indonesia beberapa waktu sebelumnya, hasil kurang lebih serupa juga terungkap. Pada titik ini, pertanyaan soal berperang habis-habisan melalui media sosial mulai muncul.
Silakan dilanjut perang tagarnya. Kalau data risetnya yg saya rilis bulan lalu sih jelas. Medsos hanya bergema di ruang para pendukung sendiri. Echo chambers. Dakwah di medsos ditujukan pada kelompok yg sudah punya “iman politik” ? https://t.co/rvoFbWuheu
— Burhan Muhtadi (IG: Burhanuddin Muhtadi) (@BurhanMuhtadi) February 16, 2019
Tak hanya itu, persentase masyarakat yang memperoleh informasi tentang Pilpres dari media sosial juga tergolong sedikit. Dari masing-masing media sosial, persentase paling besar dimiliki oleh Facebook di mana masyarakat mendapatkan 25,5 persen informasi dari media sosial tersebut.
Jika diperhatikan hasil survei semacam ini bukanlah yang pertama. Pada survei milik Indikator Politik Indonesia misalnya, hasil kurang lebih serupa juga terungkap. Pada survei tersebut, pengguna internet memberikan suara sebesar 52 persen kepada Jokowi-Ma’ruf dan 39 persen kepada Prabowo-Sandiaga. Sementara itu, jika dilihat secara keseluruhan, jarak tersebut sedikit lebih besar, di mana Jokowi-Ma’ruf mendapat 54,9 persen dan Prabowo-Sandiaga meraih 34,8 persen.
Merujuk pada hal tersebut, terlihat bahwa ada jarak antara pemilih pengguna media internet dengan pemilih secara keseluruhan.
Secara spesifik, menurut survei Cyrus, tergambar bahwa memaksimalkan kegiatan kampanye langsung cenderung akan memberikan hasil yang lebih baik. Berdasarkan survei mereka, 73 persen masyarakat yang dikunjungi kampanye Jokowi-Ma’ruf Amin akan memilih kandidat tersebut. Sementara itu, 56 persen yang dikunjungi relawan Prabowo-Sandi akan memilih pasangan tersebut.
Oleh karena itu, mereka mendorong agar kampanye langsung ini lebih diutamakan jelang hari pencoblosan. Canvassing merupakan istilah yang digunakan untuk kampanye kontak langsung dengan calon pemilih.
Memang, belakangan telah muncul juga istliah digital canvassing atau canvassing melalui dunia maya seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan juga email. Tetapi, apakah kampanye tersebut sudah benar-benar bisa menggantikan interaksi secara langsung dengan masyarakat dari pintu ke pintu?
Dari Pintu ke Pintu
Gerakan relawan yang mengetuk dari pintu ke pintu memang pernah sangat populer, lalu mengalami penurunan. Di Amerika Serikat (AS) misalnya, tahun 1996 menjadi titik nadir dari kampanye jenis ini, di mana gerakan relawan politik dan partisipasi pemilih mengalami penurunan.
Meski demikian, kampanye seperti ini kemudian mengalami kebangkitan di tahun 2000-an. Upaya Al Gore di Pilpres AS tahun 2000 menjadi penanda dari bangkitnya kampanye jenis ini. Kebangkitan semakin nyata ketika Barack Obama menggunakan strategi ini pada tahun 2008 dan 2012.
Dalam kadar tertentu, kampanye dengan mengetuk pintu ke pintu masih tergolong efektif membantu perolehan suara dari seorang kandidat. Hal ini tergambar misalnya melalui kiprah mantan Presiden Prancis Francois Hollande saat melaju di Pilpres tahun 2012.
Kala itu, Hollande disebut-sebut melakukan strategi kampanye canvassing yang meniru Barack Obama. Strategi ini dilakukan Hollande dan kamp pemenangannya karena ingin mengulang kesuksesan Obama di tahun 2008.
Vincent Pons dalam Working Papernya untuk Harvard Business School menggambarkan bagaimana strategi canvassing ini memberikan pengaruh kepada kemenangan Hollande. Jika digambarkan, kala itu tim Hollande menyiapkan dan melatih sekitar 70 ribu relawan untuk menjalankan strategi tersebut. Mereka diterjunkan untuk mengetuk sekitar 5 juta pintu yang ada di Prancis.
Menurutnya, kampanye dari pintu ke pintu membuat Hollande memberi suara di putaran pertama dan berpengaruh pada seperempat suara Hollande di putaran kedua. Terjadi penambahan suara sebesar 3,24 persen di putaran pertama, dan 2,75 persen di putaran kedua bagi Hollande.
Tak hanya itu, Pons juga menggambarkan efektivitas kampanye ini melalui sisi lain. Menurutnya, efek kampanye dengan kunjungan ini berlangsung hingga Pemilu berikutnya. Hal ini menjadi gambaran bahwa ada efek persuasi yang lebih panjang dari kampanye tatap muka seperti ini.
Menurut Pons, ini menggambarkan bahwa kampanye dari pintu ke pintu menimbulkan persuasi dari swing voters ke partai sayap kiri sebagai tempat Hollande bernaung. Kampanye tersebut tidak bekerja dengan memobilisasi kelompok sayap kiri non-pemilih atau mendemobilisasi pemilih lawan.
Belum Terganti
Merujuk pada kondisi tersebut, tampak bahwa kampanye dengan model tatap muka bukan merupakan sesuatu yang bisa digantikan, setidaknya sampai saat ini. Ada unsur persuasi yang lebih bisa dikejar dengan canvassing atau dengan metode kampanye dari pintu ke pintu.
Memang, menggunakan media sosial adalah cara yang lebih mudah untuk menjangkau masyarakat Indonesia yang tergolong banyak dan tersebar di banyak wilayah. Akan tetapi, membuang seluruh waktu dan tenaga untuk berkampanye di media sosial juga bukanlah hal yang bijak. Apalagi, jika kampanye ini dilakukan dengan cara menyulut perang dan emosi lawan dengan serangan membabi buta.
Kampanye door to door seperti jadi anak tiri di hadapan media sosial Share on XSeperti disebutkan sebelumnya, masyarakat yang terkoneksi dengan media sosial hanya 39,2 persen. Hal ini berarti ada 60,8 persen masyarakat yang tidak terjamah jika kampanye difokuskan bak perang melalui media sosial. Pada titik ini, apapun platform dan metodenya, digital canvassing belum bisa menjangkau keseluruhan calon pemilih.
Media sosial kemudian hanya mengambil peran untuk menguatkan isu-isu dan menciptakan tren saja. Sementara itu, untuk urusan persuasi, seperti yang digambarkan oleh Pons dalam kasus Hollande, boleh jadi akan lebih efektif jika dilakukan dalam bentuk kampanye tatap muka.
Bukan tanpa alasan tim pemenangan Jokowi sampai bereaksi keras ketika video emak-emak yang menyebarkan kampanye negatif kepada sang petahana. Atau tengok pula kesaksian beberapa orang tentang militansi kader-kader PKS mengetuk pintu-pintu rumah masyarakat di Jawa Barat, sehingga pasangan Sudrajat dan Ahmad Syaikhu yang maju pada Pilgub di wilayah itu di tahun 2018 lalu terpompa perolehan suaranya.
Hal ini menjadi gambaran bahwa kampanye dengan bertemu langsung calon pemilih merupakan jenis gerakan yang masih dianggap efektif. Oleh karena itu, para relawan Jokowi maupun Prabowo tampaknya harus mulai lebih aktif melakukan kampanye tatap muka dengan masyarakat. Waktu pencoblosan kian dekat, maka kedua kubu idealnya mulai lebih rajin mengetuk pintu masyarakat. (H33)