Site icon PinterPolitik.com

Jokowi Populis Atau Globalis?

Jokowi Populis Atau Globalis?

Istimewa

Di tengah serangan oposisi yang menuding dirinya tidak pro-rakyat, belakangan kebijakan-kebijakan Jokowi memperlihatkan keberpihakannya pada rakyat. Jadi sebenarnya, Jokowi populis atau globalis?


PinterPolitik.com

“Masyarakat tidak mengerti dengan apa yang dinamakan dengan keuntungan ekonomi.” ~ Cicero

[dropcap]F[/dropcap]ilsuf dan orator ulung Marcus Tullius Cicero, terkenal dengan retorikanya mengenai masalah politik, hukum, dan juga ekonomi. Di era 160 Sebelum Masehi, Cicero bahkan sudah menyatakan ketidaksetujuannya pada sistem perdagangan internasional, kecuali kalau sistem itu mampu memberi manfaat yang besar dan mencerdaskan masyarakat.

Pemikiran Cicero tentang perdagangan bebas yang terangkum dalam buku De Officiis ini, ternyata masih relevan di abad milenial. Terutama saat globalisasi dan perdagangan bebas antar-negara sudah begitu menguasai perekonomian dunia. Tapi sudahkah sistem yang dikenal sebagai neoliberalisme ini memberikan manfaat bagi masyarakat?

Pertanyaan yang sama, juga mungkin bisa ditujukan terkait disetujuinya permohonan utang Pemerintah Indonesia oleh Bank Dunia. Sebagai lembaga keuangan internasional yang bernaung di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Bank Dunia juga dikenal sebagai agen neoliberalisme dunia.

Awal Juni lalu, Bank Dunia mengumumkan kalau permohonan utang Pemerintah Indonesia sebesar 300 juta dollar AS telah disetujui. Utang ini, menurut Direktur Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Rodrigo Chaves, diperuntukkan bagi peningkatan akses layanan dasar agar pariwisata Indonesia semakin berkembang.

Pemberian pinjaman sebesar Rp 3,4 triliun ini, sudah tentu akan kembali menambah utang Pemerintah yang akhir April lalu saja, dikabarkan telah mencapai Rp 4.754 triliun. Sebagai lembaga pemberi utang terbesar tanah air, Bank Dunia memberi andil pinjaman sekitar 63 persen dari total pinjaman atau Rp 249,67 triliun (per Februari 2018).

Masih rajinnya Pemerintah berutang ke Bank Dunia, menuai kritik para ekonom. Salah satunya, Faisal Basri yang menyesalkan Pemerintah begitu mudah berutang dengan bunga sangat tinggi. Selain itu, masih bergantungnya Jokowi pada utang Bank Dunia juga dianggapnya sebagai pelanggaran atas janji kampanye mantan Walikota Solo tersebut.

Pendapat sama dikatakan Rizal Ramli, menurutnya, hanya Indonesia dan Filipina saja yang hingga kini masih menggunakan model pembangunan ala Bank Dunia. Kebijakan Jokowi ini pula yang membuat mantan menteri koordinator kemaritiman tersebut, kerap menuding Jokowi sebagai penganut aliran neoliberal.

Namun tudingan tersebut, belakangan dipertanyakan kembali saat Pemerintah terlihat fokus pada kebijakan-kebijakan populis atau yang disenangi rakyat, misalnya pengadaan Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan proteksi impor pangan. Kebijakan inklusif ini, menciptakan pertanyaan, sebenarnya Jokowi menganut sistem globalis atau populis?

Populis vs Globalis

“Ekonomi global mampu berperan di dunia sekitar dua puluh persen, sementara delapan puluh persen lainnya tidak berhasil.” ~ Kevin Danaher

Menurut Ekonom dan aktivis anti-globalisasi, Kevin Danaher, sistem ekonomi global terbukti gagal menyejahterakan perekonomian dunia. Pendapat sama juga disampaikan Politikus AS dari Partai Demokrat, Elizabeth Warren. Menurutnya, perekonomian global hanya berhasil memakmurkan kelas menengah atas, politikus, dan pengusaha besar saja.

Sementara di tingkat rakyat kebanyakan, menurut Warren, kesejahteraan dirasakan secara tidak merata. Bercermin dari gagalnya sistem ekonomi global di negara adidaya yang merupakan “tempat lahirnya” sistem kapitalisme, maka kegagalan sistem ekonomi global di tanah air menjadi bukan hal yang mengherankan.

Di Indonesia sendiri, sistem ekonomi yang digunakan sebenarnya tidak murni sistem ekonomi global yang menganut aliran neoliberalisme – bentuk lanjutan dari kapitalisme dan liberalisme. Hanya saja, di era Orde Baru, sistem ini “terpaksa” diadopsi Soeharto atas saran dari International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia (World Bank).

Sebagai lembaga keuangan internasional yang berada di bawah kendali Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), IMF dan Bank Dunia ditengarai menjadi alat bagi modal asing untuk masuk ke negara-negara berkembang (globalisasi). Atas “petunjuk” IMF pula, banyak BUMN di Indonesia yang kemudian harus di privatisasi atau di swastanisasi.

Padahal sejatinya, Indonesia telah memiliki sistem perekonomian sendiri yang di era Soeharto disebut sebagai Sistem Ekonomi Kerakyatan. Sistem ini merupakan adaptasi dari sistem pembangunan ekonomi era Soekarno yang dikenal dengan sebutan Tri Sakti, yaitu sistem ekonomi yang lebih mengutamakan pemerataan kesejahteraan rakyat.

Sistem ekonomi kerakyatan yang bersifat populis ini, dalam pelaksanaannya sangat bertolak belakang dengan sistem kapitalisme yang dianjurkan IMF dan Bank Dunia. Sehingga pada akhirnya, Pemerintah pun tak hanya terjebak dalam belitan utang luar negeri, maraknya modal asing yang masuk ke tanah air, dan juga perdagangan bebas.

Seperti yang diakui Faisal Basri, kalau utang pemerintah tidak akan pernah lunas dan bahkan AS saja memiliki utang yang jauh lebih tinggi dibanding Indonesia. Namun, seandainya Jokowi memang berniat membebaskan bangsa dari belitan neoliberalisme, sebenarnya sangat mungkin terjadi.

Belajar dari era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mampu melepaskan diri dari belitan utang IMF di tahun 2006, seharusnya Jokowi pun bisa berupaya memperkecil utang dari Bank Dunia. Namun alih-alih ingin melepaskan diri, Jokowi malah terus memanfaatkan “kemurahhatian” Bank Dunia dengan terus berutang.

Global, Populis, atau Pragmatis?

“Pada sektor ekonomi kita memiliki banyak pekerjaan rumah di negara ini, agar dapat mencapai perekonomian yang lebih adil dan merata.” ~ Barack Obama

Presiden Barack Obama mungkin menjadi presiden yang paling populis di negaranya, ini terlihat dari bagaimana presiden kulit hitam pertama tersebut mendirikan Obama Care, pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat menengah ke bawah. Kebijakan Obama ini, tak jauh berbeda dengan sistem BPJS di tanah air yang terbukti sangat membantu rakyat.

Selain BPJS, semenjak menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi juga telah mengeluarkan berbagai program “kartu sakti” bagi masyarakat menengah ke bawah. Kebijakan kerakyatan atau populis ini, disebut sebagai sistem perekonomian inklusif di mana Pemerintah menggunakan metode trickle up strategy agar kesejahteraan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat di lapisan terbawah.

Kebijakan ekonomi yang digunakan Jokowi, tentu sangat berbeda dengan sistem ekonomi global yang menggunakan sistem trickle down effect. Namun bila merujuk pada teori sistem ekonomi dari Chester A. Bernard, sangat wajar bila sistem perekonomian di suatu negara diadaptasi dari berbagai sistem yang ada, sehingga memiliki ciri dan batasan-batasannya sendiri.

Apalagi berdasarkan survei internasional yang dilakukan YouGov Australia, terkait setuju-tidaknya sistem ekonomi globalisasi, Indonesia termasuk negara yang masyarakatnya setuju dengan pemberlakuan sistem tersebut. Namun bila di 2016, jumlah masyarakat yang setuju mencapai 72 persen, namun di 2017 jumlahnya menurun menjadi 53 persen.

Walau masyarakat yang setuju dengan ekonomi global jumlahnya cukup tinggi, namun kecenderungannya bisa semakin turun di tahun ini. Sebab walaupun Jokowi masih mempertahankan keterlibatan Bank Dunia, namun sebenarnya kebijakan-kebijakannya dinilai semakin condong ke kebijakan populis.

Fakta ini diakui oleh Indonesianis Richard Robison yang merupakan ekonom dan guru besar di Murdoch University, Australia. Menurutnya, Jokowi sepertinya tidak terlalu tertarik untuk memperluas perekonomian melalui kebijakan-kebijakan luar negeri, terutama investasi dari negara-negara barat.

Kebijakan global Jokowi pun, terang Robison, sepertinya dilakukan dengan “setengah hati”. Ini terlihat dari bagaimana Jokowi bersedia menerima tenaga kerja asing, namun dengan syarat harus belajar bahasa Indonesia. Walaupun subsidi BBM dan listrik ditarik, namun Jokowi juga mengeluarkan kebijakan minyak satu harga.

Pada sektor perdagangan bebas sendiri, walau Jokowi tidak melarang impor, namun menetapkan proteksi pada sektor pangan. Bahkan dari data DHL Global Connectedness Index, Indonesia berada di urutan 108 dari 140 negara akibat sangat sedikit menerima imigran luar dan rendahnya jumlah turis serta pelajar Indonesia yang keluar negeri.

Dari kebijakan ini, Robison melihat kalau Jokowi sebenarnya berusaha mengurangi sistem ekonomi global, walau tidak menghapusnya sama sekali. Namun di sisi lain, para ekonom dalam negeri menganggap apa yang dilakukan Jokowi bukan sistem nasionalistik dengan melakukan proteksi sepenuhnya, seperti yang pernah ia janjikan.

Apalagi, kebijakan populisnya lebih banyak diterapkan ketika mulai memasuki tahun politik. Berbagai kebijakan yang sangat menguntungkan rakyat tersebut, bisa jadi memang strategi pragmatis Jokowi. Ia tak hanya menetapkan program yang menguntungkan rakyat menengah bawah, tapi juga sekaligus mempertahankan dukungan rakyat dalam menyambut Pilpres 2019 mendatang. (R24)

Exit mobile version