HomeNalar PolitikJokowi: PKI? Gebuk Saja!

Jokowi: PKI? Gebuk Saja!

Presiden Jokowi pada akhirnya bersuara juga terkait isu kebangkitan PKI dan tuduhan bahwa dirinya dan keluarganya juga termasuk anggota PKI.


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]J[/dropcap]ika membandingkan demokrasi di Indonesia dengan demokrasi di negara maju, usia demokrasi Indonesia masih tergolong usia balita. Hal itu dibuktikan pada beberapa bulan ketika pemilihan gubernur bisa mengganggu keharmonisan persatuan Indonesia. Isu yang seolah-olah muncul lagi untuk menggoncang Indonesia seperti isu PKI. Hal tersebut mendorong Presiden Joko Widodo menyuarakan tekadnya untuk tidak ragu-ragu melakukan tindakan tegas terhadap siapa pun atau ormas apa pun yang bertindak di luar konstitusi.

Presiden Jokowi menegaskan bahwa konstitusi menjamin hak untuk berkumpul dan berserikat, namun jika dari perkumpulan tersebut ada yang melawan konstitusi akan segera di “gebuk”. Presiden menegaskan, organisasi yang jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI tak bisa dibiarkan.

“Saya dilantik jadi Presiden yang saya pegang konstitusi, kehendak rakyat. Bukan yang lain-lain. Misalnya PKI nongol, gebuk saja. TAP MPR jelas soal larangan itu,” ujar Jokowi saat bersilaturahmi dengan sejumlah pemimpin redaksi media massa di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (17/5).

Menelisik perkataan “gebuk” yang dilontarkan Presiden Jokowi, kata-kata “gebuk” tersebut sebenarnya pernah digunakan oleh Presiden Soeharto pada akhir masa jabatannya. Jokowi menggunakan kata-kata tersebut untuk menunjukan bahwa pemerintah secara tegas akan menindak para pelaku pelanggar konstitusi.

Ketika disinggung mengapa lebih senang menggunakan istilah gebuk bukan jewer misalnya, sambil tersenyum Jokowi menyatakan istilah itu paling tepat.

“Kalau menggunakan istilah dijewer nanti dikira Presiden tidak tegas,” katanya.

Presiden Jokowi pada akhirnya bersuara juga terkait isu kebangkitan PKI dan tuduhan bahwa dirinya dan keluarganya juga termasuk anggota PKI. Dengan nada tinggi Presiden Jokowi berkata bahwa tuduhan dirinya sebagai PKI sangatlah tidak mendasar, karena PKI saja dibubarkan pada tahun 1966, dan pada saat itu dirinya masih berusia 4 tahun.

Setelah isu tersebut mentah untuk menyerang Presiden Jokowi, Isu itu kemudian diarahkan kepada kedua orangtuanya.

“Setelah diteliti kan ternyata ayah dan ibu saya tidak ada kaitan dengan PKI. Lalu muncul isu saya ini bukan anak kandung dari ibu saya. Ini kan lucu,” tambah Jokowi yang saat itu didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno.

Menteri Pertahanan RI, Ryamizard Ryacudu pun angkat bicara terkait tuduhan ke Presiden Jokowi. Menurutnya, tidak benar dan tidak mungkin Presiden RI tersebut seorang PKI, karena Jokowi tidak memiliki indikasi sebagai seorang PKI. Apalagi, saat peristiwa 1965, umur Jokowi masih tiga tahun. Ryamizard mengungkapkan, masyarakat harus jeli melihat indikasi seseorang adalah PKI. Baik, melalui atribut yang dikenakan maupun sikapnya.

Apa yang ditakutkan, Organisasi PKI atau Fahamnya?

PKI menjadi momok yang menakutkan bagi bangsa Indonesia, terutama bagi masyarakat yang berusia diatas 50 tahun. PKI seolah menjadi ancaman bagi bangsa Indonesia. Keberadaan tiap hal berbau komunis kini sejak dahulu terus diberangus. Sehingga membuat masyarakat cenderung takut dengan pemahaman itu

Pengamat politik dari Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti, mengibaratkan komunis sebagai hantu yang bergentayangan. Namun, dia menegaskan masyarakat tidak perlu takut dengan ideologi komunis lantaran kekuatannya tidak lagi memberi pengaruh besar baik di tingkat nasional maupun internasional. Ryamizard mengatakan, sebenarnya bangsa Indonesia tidaklah membenci komunis dari sisi ideologi, dan mempelajari ideologi komunis juga tidak salah. Yang terlarang di Tanah Air adalah pendirian organisasi politik dari komunisme itu, seperti PKI.

Baca juga :  PDIP and the Chocolate Party

Berbicara mengenai PKI, maka harus mengetahui terlebih dahulu dengan ideologinya, yaitu komunisme. Ideologi atau paham komunis berasal dari Manifest der Kommunistischen yang ditulis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, sebagai sebuah manifesto politik yang pertama kali diterbitkan pada 21 Februari 1848.

Dalam fakta sejarah, PKI sendiri didirikan dari para tokoh – tokoh pemuda Syarekat Islam (SI), sebuah Organisasi Islam yang menjadi embrio lahirnya Komunisme di Indonesia. Mereka adalah Tan Malaka, Semaun, Darsono dan Alimin. Jadi jika dibilang komunisme yang diterapkan oleh pendiri PKI ini anti Islam, Tan Malaka dalam buku materialisme,Dialektika dan Logika menolak kalau Komunisme (Indonesia) disamakan dengan ajaran Anti Tuhan (Atheis).

Jadi sebenarnya, PKI atau komunisme Indonesia itu sebuah ideologi politik yang beragama.

Apa Yang Dulu Sebenarnya Di Inginkan PKI?

Sejarah pun memberitahu bahwa pembawa faham komunisme di Indonesia itu bukanlah para tokoh Anti Tuhan, malah mereka adalah para tokoh-tokoh muda sebuah organisasi politik Islam besar yang bernama Syarekat Islam. Kegiatan organisasi politik ini pun saat itu hanya  menghimpun dan menggalang massa yang terpecah untuk melawan kolonialisme di Indonesia.

Komunis yang dibawa para tokoh muda Islam ini juga sudah mengalkuturasi faham komunis yang dibawa dari luar dengan kultur kepercayaan masyarakat Indonesia yang beragama dan mempercayai Tuhan. Tujuan PKI sendiri adalah mempersatukan rakyat Indonesia ke dalam satu front nasional dan sebagai hasil perjuangan revolusioner dari berjuta-juta massa menciptakan pemerintah Demokrasi Rakyat. PKI tidak memandang pekerjaan dalam Parlemen sebagai pekerjaan terpokok dan tidak pula menganggapnya sebagai satu-satunya bentuk perjuangan.

Pokok pemikiran yang diberikan PKI kepada konsepsi Soekarno akan membentuk sebuah pemerintahan yang gotong royong atau pemerintah yang mempunyai koalisi nasional. Kalau kita telisik dari Kongres Nasional Ke-VII (Luar Biasa) PKI pada tahun 1963, Kita bisa sedikit banyak melihat apa yang diinginkan/perjuangkan PKI dulu, yang sebenernya tidak seseram yang digemborkan Orde Baru.

Tuntutan tersebut adalah: perbaikan ekonomi, tuntutan untuk kemajuan kebudayaan, tuntutan untuk perdamaian dunia.

Menuru mereka, “Demokrasi Indonesia tidak seharusnya menerapkan demokrasi model Barat, demokrasi liberal, demokrasi lama, melainkan harus demokrasi untuk semua golongan rakyat, laki-laki dan wanita, dan mengenai semua lapangan politik, ekonomi, dan kebudayaan. Demokrasi ini adalah demokrasi tipe baru, demokrasi rakyat.”

Terlebih lagi mereka mengharap pemerintah menghapus kekuasaan kaum imperialis di segala lapangan dan penghapusan penindasan feodal tidak seharusnya berarti digantikannya kekuasaan itu oleh kekuasaan borjuasi dalam negeri atas rakyat banyak, melainkan harus digantikan oleh kekuasaan bersama di antara semua kelas yang anti-imperialis dan anti-feodal, yaitu sistem politik front persatuan.

Artinya, semua rakyat Indonesia mulai dari kelas buruh, kaum tani, kalangan ekonomi menengah dan kalangan ekonomi atas semua berkepentingan dan harus bersatu di dalam satu front nasional untuk pembentukan suatu Republik Indonesia yang merdeka dan demokratis dengan kebudayaan yang maju.

Komunis di Indonesia didirikan bukan sebagai bentuk kekecewaan terhadap agama, ajaran komunis di Indonesia juga bukan ajaran untuk mengatur kehidupan antara manusia dengan dengan Tuhan atau menentang kepercayaan akan Tuhan. Namun, komunis di Indonesia hanya bercerita tentang kekecewaan terhadap keadaan Indonesia yang sedang dilanda kemiskinan, berjuang melawan penjajah dan berjuang mendapatkan keadilan selayaknya negara yang merdeka.

Baca juga :  The Ultimate Java War

Indonesia, 1965 dan Kebenarannya Yang Belum Terungkap

Setelah berpuluh-puluh tahun, sejarah kelam G30S/PKI akhirnya pertama kali didiskusikan di Jakarta dengan peran pemerintah di Simposium Nasional Tragedi 1965 pada April 2016 lalu.

Walau banyak yang sudah mendiskusikan hal ini  dan di Januari 2011 lalu Goethe Institute menggelar konferensi internasional bertajuk Indonesia and the World in 1965. Dalam konferensi itu menghadirkan pakar dan peneliti, antara lain, Bradley Simpson, Ragna Boden, Jovan Cavoski, dan Richard Tanter.

Setelah drama penculikan jenderal berakhir, Soeharto secara de facto menguasai pemerintahan dan rezim orde baru pun lahir. Tragedi 1965 berakhir menyedihkan karena ada kurang lebih satu juta warga sipil yang dituduh sebagai anggota atau simpatisan PKI dibantai dalam periode 18 bulan saja. Ratusan orang dipenjara tanpa pengadilan. Pelanggaran HAM berat itu sampai sekarang tidak pernah terselesaikan.

Kebangkitan PKI di era Demokrasi?

Sudah lebih dari setengah abad sejak peristiwa G30S/PKI yang diikuti penerbitan Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pelarangan Partai Komunis Indonesia, Marxisme, Leninisme, dan komunisme bentuk apa pun ditambah juga Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara.

Namun hingga kini ketakutan dan kebencian kepada PKI masih belum berubah, PKI masih menjadi isu menarik untuk dilemparkan ke masyarakat. Terlebih di masa pemerintahan Presiden Jokowi, Isu kebangkitan kembali PKI memenuhi ruang publik sejak awal masa pemerintahannya. Media sosial khususnya yang memuat lebih banyak perbincangan, rumor, gosip, foto, atau gambar tentang kegiatan yang dianggap sebagai upaya PKI bangkit.

Pada tahun 2016 lalu, isu kebangkitan PKI juga sempat dilemparkan oleh Mayor Jenderal (Purn) TNI Kivlan Zein yang menyebut PKI gaya baru sedang menggalang dukungan keliling Indonesia. Pernyataan Kivlan ini bukan tanpa dasar, dia mengaku memiliki data yang dapat meyakinkan masyarakat jika partai berlambang palu arit itu mulai menggeliat.

Baru-baru ini seorang Dosen di Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka (UHAMKA) yang juga merupakan ustadz sempat bermasalah akibat ceramahnya yang menuduh banyak orang dipemerintahan yang disinyalir bagian dari PKI, ustadz tersebut bernama Alfian Tanjung. Ia menuding Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki merupakan kader PKI.

Tidak hanya itu, Alfian juga mengatakan bahwa gedung Kantor Staf Presiden (KSP) yang terletak di Gedung Binagraha, Kompleks Istana Presiden, sering dijadikan tempat rapat PKI oleh Teten dan kawan-kawannya. Tidak terima dituduh sebagai Kader PKI, Teten pun melaporkan Alfian ke Bareskrim Polri. Selain Teten, ia juga menuduh 85% kader PDIP merupakan kader PKI, lalu menuduh anggota Dewan Pers yang bernama Nezar Patria sebagai seorang PKI.

Jadi patut dipertanyakan kembali, apakah PKI bertindak sebagai pelaku dalam sebuah tragedi kelam Indonesia di tahun 1965, atau kah mereka hanya korban dari praktek politik adu domba (devide et impera) untuk memecah belah bangsa Indonesia seperti kericuhan dan ketegangan yang sedang terjadi di Indonesia saat ini? Berikan pendapatmu. (A15)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?

Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Partai Gerindra di bawah komando Prabowo Subianto seolah sukses menguasai Pulau Jawa setelah tiga “mahapatih” mereka, yakni Andra Soni, Dedi Mulyadi, serta Ahmad Luthfi hampir dapat dipastikan menaklukkan Pilkada 2024 sebagai gubernur. Hal ini bisa saja menjadi permulaan kekuasaan lebih luas di Jawadwipa. Mengapa demikian?

Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Dengan kekalahan Ridwan Kamil dan Airin Rachmi Diany di Pilkada Serentak 2024. Mungkinkah Golkar akan semakin jatuh di bawah Bahlil Lahadalia?

Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Hasil tidak memuaskan yang diperoleh pasangan Ridwan Kamil-Suswono (RIDO) dalam versi quick count Pemilihan Gubernur Jakarta 2024 (Pilgub Jakarta 2024) menjadi pertanyaan besar. Mengapa calon yang didukung koalisi besar tidak tampil dominan? 

Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Pemerintahan Prabowo Subianto siapkan sejumlah strategi untuk tingkatkan investasi dan SDM. Mungkinkah Prabowo siap untuk “lompat katak”?

Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Endorse politik Anies Baswedan di Pilgub Jakarta 2024 kepada kandidat PDIP, yakni Pramono Anung-Rano Karno justru dinilai bagai pedang bermata dua yang merugikan reputasinya sendiri dan PDIP di sisi lain. Mengapa demikian?

More Stories

Bukti Indonesia “Bhineka Tunggal Ika”

PinterPolitik.com mengucapkan Selamat Hari Kemerdekaan Indonesia ke 72 Tahun, mari kita usung kerja bersama untuk memajukan bangsa ini  

Sejarah Mega Korupsi BLBI

KPK kembali membuka kasus BLBI yang merugikan negara sebanyak 640 Triliun Rupiah setelah lama tidak terdengar kabarnya. Lalu, bagaimana sebetulnya awal mula kasus BLBI...

Mempertanyakan Komnas HAM?

Komnas HAM akan berusia 24 tahun pada bulan Juli 2017. Namun, kinerja lembaga ini masih sangat jauh dari harapan. Bahkan desakan untuk membubarkan lembaga...