Site icon PinterPolitik.com

Jokowi: Pilih AHY atau Gatot?

Jokowi: Pilih AHY atau Gatot?

Foto: Y14

Jokowi begitu kuat. Pengamat bilang, Jokowi maju sendiri tanpa wakil pun pasti menang. Namun, wakil tetap harus ada karena itu adalah ketetapan hukum.


PinterPolitik.com

Setelah melihat komposisi partai politik pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi), mulai banyak tokoh yang rebutan tiket calon wakil presiden (cawapres) di Pilpres 2019 untuk disandingkan dengan Jokowi.

Nama-nama ketua umum partai seperti Muhaimin Iskandar dari PKB dan Zulkifli Hasan dari PAN mulai bermunculan. Di samping itu, nama-nama profesional seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Agraria dan Tata Ruang, Sofyan Djalil juga turut masuk dalam bursa calon yang dibuat oleh lembaga-lembaga survei.

Namun, dari sejumlah nama yang beredar, ada dua nama dengan latar belakang TNI yang santer terdengar, yakni Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Direktur Eksekutif The Yudhoyono Institute sekaligus putera sulung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Keduanya memiliki latar belakang yang sama-sama berasal dari militer, namun saat ini memiliki kedekatan yang berbeda dengan Jokowi.

Gatot yang akan segera purna tugas pada Maret 2018, sempat memuncaki survei elektabilitas cawapres pada awal Oktober 2017 lalu. Saat itu, menurut survei KedaiKOPI, elektabilitas Gatot mencapai 12 persen. Sedangkan survei Saeful Mujani Research Centre (SMRC) menyebut, elektabilitas Gatot masih di bawah 2 persen, namun popularitasnya tinggi.

Dengan modal popularitas dan pengenalan yang tinggi dari publik, bukan tidak mungkin nama Gatot akan terus meningkat seiring dengan kampanye politiknya pasca pensiun. SMRC dan Indikator Politik juga menyebut bahwa tambahan elektabilitas Gatot secara bersamaan akan menggerus elektabilitas Prabowo Subianto.

Sementara itu, AHY yang adalah politisi baru, cenderung mengalami peningkatan popularitas dan elektabilitas dengan cepat. Indo Barometer menyebut, tingkat popularitas AHY mencapai 50 persen, sementara tingkat elektabilitasnya ada di angka 40 persen.

Muhammad Qodari, peneliti Indo Barometer, menyebut bahwa strategi SBY memajukan AHY pada Pilgub DKI Jakarta beberapa waktu lalu adalah strategi yang sangat jitu, karena elektabilitas AHY naik di level nasional. Qodari memuji SBY karena kepiawaiannya tersebut. Modal kampanye di level Pilkada, sementara capaian elektabilitas didapatkan di level Pilpres.

Cawapres berlatar belakang militer, seperti AHY atau Gatot, dinilai banyak kalangan akan strategis untuk menyokong Jokowi. Terlebih lagi, besar pula dorongan dari masyarakat untuk mempercayai calon militer ketimbang sipil.

Sosok Tentara Idaman Masyarakat

“National identity is frequently formed in deliberate opposition to other groups and therefore serves to perpetuate conflict.”

– Francis Fukuyama –

Sindrom yang ingin agar pemerintahan kembali dikuasai oleh militer mulai muncul di tengah masyarakat. Fenomena ini menurut beberapa ahli politik, misalnya Samuel Huntington dan diteruskan oleh Francis Fukuyama, disebut sebagai political decay (pembusukan politik). Situasi ini terjadi ketika masyarakat kecewa dengan pemerintahan yang gagal menjalankan modernisasi politik.

Modernisasi yang dinamakan reformasi di Indonesia, terlihat hanya menimbulkan masalah-masalah baru. Keinginan masyarakat agar sipil mengambil alih pemerintahan, kemudian terjungkir balik karena kinerja politisi sipil yang buruk, seperti maraknya kasus korupsi, birokrasi yang lemah, dan pembangunan yang stagnan.

Hal ini menyebabkan masyarakat cenderung ingin mundur satu langkah dan kembali dipimpin oleh sosok kuat berlatar belakang militer, yang mampu mengembalikan order atau keteraturan pada tempatnya. Misalnya, seperti yang terjadi saat dipimpin oleh Soeharto dengan Orde Baru-nya. (Baca juga: Kepercayaan Publik Kepada Lembaga Negara)

Karena tak ada satu pun keturunan Soeharto yang berprofesi sebagai tentara, masyarakat kemudian cenderung mencari-cari sosok tentara lain dalam peta politik nasional. Prabowo Subianto yang diusung sejak 2009 dan 2014 adalah salah satu sosok purnawirawan militer yang paling dekat dengan keluarga Cendana, yang dianggap dapat mengembalikan order dalam jargon-jargon kampanyenya.

Akan tetapi, seperti halnya banyak militer sisa-sisa Orde Baru, Prabowo tersandung masalah HAM, walaupun tidak pernah dibuktikan sampai sekarang. Hal itu kemudian cukup memecah suara masyarakat, mereka yang sebenarnya memimpikan pemimpin militer, namun terganggu dengan rekam jejak Prabowo yang kelam. Karenanya, sosok seperti AHY dan Gatot yang bersih dari masalah HAM adalah angin segar bagi sebagian besar pendukung politisi militer.

Gatot, seperti dalam berbagai aksi nasionalis-heroiknya yang sering dinilai politis, memiliki potensi yang sangat besar, tidak hanya untuk menjadi cawapres, bahkan termasuk untuk menjadi capres. Ia belakangan dijuluki sebagai ‘jenderal putih’, panglima TNI yang dekat dan dipuja oleh kalangan Muslim. Beberapa aksinya yang mendekatkan diri dengan umat Muslim amat kuat mengindikasikan ke arah sana.

Gatot pun disebut akan mampu menggerus suara Prabowo. Hal ini disebabkan, saat ini keduanya memiliki massa pendukung yang sangat beririsan: kalangan pro-militer dan pro-Islam. Terlebih, di depan layar, Gatot-lah sosok yang tegas membela Aksi Bela Islam dengan jutaan massa, berbeda dengan Prabowo yang hanya bermain di belakang layar. Hasilnya, tentu Gatot yang meraih popularitas, bukan Prabowo.

Bila Prabowo terus berkarat, Gatot justru semakin kinclong. Mau tak mau, popularitas dan elektabilitas Gatot juga akan terus memuncak. Gatot dapat menggunakan kapasitasnya sebagai Panglima untuk melakukan kampanye terselubung, misalnya ketika ia menghadiri pertemuan dengan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), ihwal Hari TNI, Oktober lalu.

Sementara itu, AHY seperti citra yang digambarkan sejak Pilkada DKI, adalah pangeran bagi kaum muda. Seperti yang diungkapkan Adjie Alfaraby dari Lingkar Survei Indonesia (LSI) seputar Pilkada DKI lalu, AHY adalah ‘kuda hitam’ yang populer di mata anak muda. Khusus segmen pemilih usia 19 tahun ke bawah, popularitas AHY mencapai 33,8 persen.

Citra positifnya di TNI pun dipoles dengan apik, misalnya melalui pengakuan petinggi-petinggi TNI bahwa AHY adalah ‘lulusan terbaik Akmil di angkatannya’ dan ‘disiapkan menjadi pimpinan TNI’. Citra dan wibawa ayahnya yang terpancar padanya pun, menurut banyak orang, menjadi keunggulan AHY.

Pilihan jalurnya untuk masuk politik lebih dini juga dapat dipersepsikan secara positif. Dibandingkan Gatot yang ditanggapi sinis karena ‘berjubah militer namun berkaos politik’, langkah AHY jelas lebih dapat diterima.

Kendaraan Politik, Akankah Bicara Banyak?

Partai politik sudah berbondong-bondong mendukung Jokowi sedini mungkin. Nasdem misalnya, akhirnya ikut-ikutan barisan Golkar, Hanura, Perindo, dan PSI untuk mengusung Jokowi lagi. Tanpa mengabaikan soal sosok, faktor mesin politik berupa koalisi partai juga menjadi sokongan penting bila ingin menjadi cawapres Jokowi.

Berbicara modal dan mesin politik, AHY sudah beberapa langkah di depan Gatot. Bersama Partai Demokrat, nama AHY sangat dilambungkan di banyak daerah, mulai dari kampungnya di Jawa Timur hingga Aceh dan Sulsel.

Safari politik yang sedang terus dilakukan AHY dengan masif dan perhitungan yang tepat, juga pasti akan menaikkan elektabilitasnya. Belum lagi, apabila AHY dan Demokrat sukses memanfaatkan nama besar SBY, berikut nostalgia para pemilih dengan era Kabinet Indonesia Bersatu, maka bukan tidak mungkin AHY dapat semakin populer.

Sedangkan Gatot, sebagai tentara aktif saat ini, masih harus bermain hati-hati bilamana ingin mengumpulkan modal politik dari banyak partai. Langkahnya yang begitu rajin menghadiri Rapimnas dan Rakernas parpol harus dimainkan dengan begitu berhati-hati.

Salah satu indikasi kedekatan yang paling kuat adalah dengan PKS. Bila betul terjadi, maka sekali lagi Gatot akan mengambil kekuatan Prabowo, sekaligus mengizinkan PKS mendapatkan tiket ekspres masuk di koalisi Jokowi.

Namun, keunggulan Gatot adalah bahwa dia sangat dipercaya oleh Jokowi sampai detik ini. Gatot juga jauh lebih senior dibanding AHY. Selain itu, terpaan isu miring yang membuat sejumlah pengamat memprediksi Gatot akan dicopot oleh Jokowi juga tak kunjung terbukti.

Sementara, untuk persoalan kedekatan dengan Jokowi, Demokrat baru memulai langkah awalnya melalui pendekatan yang dilakukan SBY, maupun AHY sendiri. Namun, bila bicara generasi muda khususnya milenial, di antara usia 17-30 tahun, yang menguasai 30 persen total suara nasional, AHY tentu menjadi sosok yang lebih menggairahkan.

2018, AHY-Gatot Semakin Panas?

Jika jalan menuju 2019 diibaratkan sebagai hutan rimba, maka AHY dan Gatot adalah kompetitor. Mereka berebut cari perhatian sang raja, Jokowi. Saat ini, dalam kapasitas keduanya yang berbeda, jelas tidak akan terlihat adanya kompetisi. Namun memasuki tahun politik 2018, kondisi politik tentu saja akan berubah.

Ketika Gatot telah pensiun dan Demokrat telah mendapatkan hasil Pilkada 2018, peta politik akan semakin dinamis dan menjadi sulit ditebak. Gatot bisa jadi telah memiliki modal politik yang besar. Begitu pula halnya dengan AHY. Apalagi, bila isu yang berhembus bahwa AHY akan dipilih menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga benar terjadi. Persaingan keduanya bisa benar-benar semakin ketat.

Karenanya, sejak 2018, peluit perebutan tiket cawapres Jokowi telah dimulai. Tahun penggodokan nama cawapres Jokowi benar-benar bisa mengerucut kepada dua nama ini.

Yang pasti, kita telah memahami bahwa Gatot hampir pasti menggerus suara Prabowo, kompetitor tunggal Jokowi sejauh ini. Sementara AHY bersama Demokrat, walau masih bermain di tengah, namun kian mesra dengan Jokowi.

Keputusan ada di tangan Jokowi. AHY dengan Partai Demokrat, atau Gatot yang kemungkinan bersanding dengan PKS. (R17)

Exit mobile version