Presiden Jokowi sempat menerima kunjungan dari INTI, salah satu organisasi Tionghoa terbesar di Indonesia.
Pinterpolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]ebenarnya, seorang presiden bertemu dengan tokoh atau kelompok manapun boleh jadi adalah hal yang biasa. Hal ini, di mata sebagian orang, barangkali termasuk dengan pertemuan Joko Widodo (Jokowi) dengan Perhimpunan Tionghoa Indonesia (INTI) beberapa waktu lalu.
Memang, jika dari berita yang beredar, pertemuan itu tidak banyak membicarakan hal-hal yang bersifat spesifik. Perkara pembangunan sumber daya manusia (SDM) menjadi salah satu bahasan antara sang presiden dengan organisasi Tionghoa tersebut. Meski demikian, jika dilihat dari komposisi pengurus dan tokoh sentral INTI, pertemuan tersebut bisa saja dimaknai berbeda.
INTI banyak diisi dan terkait dengan tokoh Tionghoa terkemuka di Indonesia. Secara khusus, beberapa konglomerat diketahui memiliki afiliasi dengan organisasi tersebut. Komposisi tokoh di perhimpunan ini boleh jadi satu alasan mengapa banyak tokoh politik Indonesia berusaha membangun hubungan dengan mereka.
Lalu, bagaimana dengan pertemuan Jokowi dan INTI di Istana Merdeka tersebut? Adakah maksud lain dari pertemuan tersebut ketimbang sekadar perkara pembangunan SDM? Adakah sesuatu yang bisa diperoleh Jokowi dari pertemuan tersebut?
INTI dan Politisi
INTI boleh jadi salah satu organisasi perkumpulan Tionghoa paling berpengaruh di Indonesia. Sejarah organisasi ini dapat ditarik hingga ke awal pendiriannya pasca tumbangnya Orde Baru. Secara komposisi anggota, organisasi ini memang terdiri dari beragam latar, namun sebagian besar tokohnya adalah pengusaha Tionghoa.
Beberapa pengusaha Tionghoa yang masuk ke dalam jajaran orang terkaya Indonesia versi Globe Asia menjadi tokoh bahkan pendiri dari organisasi ini. Salah satunya adalah Kuncoro Wibowo, pendiri Kawan Lama Group yang menempati urutan 55 di daftar orang terkaya negeri ini. Selain itu, ada pula nama Sudhamek, orang terkaya nomor 75 yang terkenal dengan bisnisnya melalui GarudaFood.
Melalui kondisi-kondisi tersebut, INTI terlihat menjadi salah satu organisasi Tionghoa yang paling berpengaruh, bahkan secara politik. Tak jarang, para politisi menggelar pertemuan atau menerima undangan dari perhimpunan ini di masa pencalonan mereka dalam suatu pemilihan.
Presiden @jokowi menilai bahwa daya saing manusia Indonesia ini secara potensial sebenarnya baik bahkan diatas rata-rata, namun perlu satu rencana penanganan yang baik. https://t.co/3MYCQvkADE
— Sekretariat Kabinet (@setkabgoid) December 5, 2018
Pada tahun 2004 misalnya, dua cawapres yang akan berlaga di Pilpres tahun tersebut, Salahudin Wahid yang berpasangan dengan Wiranto dan juga Hasyim Muzadi sebagai cawapres Megawati Soekarnoputri hadir dalam acara yang dihelat oleh perhimpunan tersebut.
Hal serupa terjadi pada pesta demokrasi tahun 2009. Kala itu, cawapres Boediono tampil di hadapan kader dan simpatisan asosiasi Tionghoa tersebut. Ia sempat menyampaikan kemungkinan tokoh Tionghoa untuk masuk ke dalam jajaran kabinetnya jika terpilih.
Pada tahun 2014, INTI mengundang dua kandidat yang berlaga di gelaran Pilpres. Baik Jokowi maupun Prabowo Subianto sama-sama diundang untuk menghadiri acara yang dihelat oleh perhimpunan yang kini dipimpin oleh Teddy Sugianto tersebut.
Teranyar, mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo sempat bertemu dengan pengurus INTI jelang upaya pencalonannya sebagai presiden. Meski upayanya melaju di Pilpres 2019 urung terlaksana, hal itu tidak mengecilkan peran INTI dalam berinteraksi dengan tokoh politik terkemuka seperti Gatot.
Memang, dalam beberapa kesempatan INTI tidak menjelaskan sikap politik mereka secara terbuka. Perhimpunan ini juga kerap menegaskan bahwa secara organisasi mereka tidak berpolitik. Akan tetapi, hal ini tidak berarti mereka tidak memiliki pengaruh politik yang signifikan.
Membangun Jejaring dengan Pengusaha
Melihat komposisi INTI yang banyak berisi pengusaha Tionghoa, kelompok ini bisa saja memiliki pengaruh spesifik dalam politik Indonesia. Oleh karena itu, menjalin hubungan dengan kelompok seperti ini bisa saja krusial bagi para politisi.
Secara umum, sebenarnya relasi bisnis dengan politik dan secara khusus dengan pemerintah memang tengah mengemuka. Pasca keruntuhan Orde Baru, ada tren bahwa para pengusaha mulai melirik dunia politik untuk mempertahankan posisi mereka.
Insan bisnis memang telah menjadi salah satu kekuatan utama politik Indonesia. Bersama dengan kelompok nasionalis dan Islamis, kelompok ini menjadi tiga kekuatan utama yang harus diraih untuk mengamankan posisi politik tertentu.
Menurut Marcus Mietzner, ada alasan mengapa pengusaha masuk ke dalam urusan politik Indonesia. Setidaknya, ada enam alasan yang disebut oleh Mietzner, di antaranya adalah untuk mendapat perlakuan khusus untuk perusahaan mereka, karena kesombongan, meningkatkan karier politik, sikap oportunistik skala kecil, keinginan pemimpin senior partai mendapatkan pendanaan dari pemilik bisnis, dan alasan pengusaha sektor privat yang mendorong reformasi ekonomi.
Di luar itu, para politisi juga memerlukan pengusaha untuk urusan-urusan yang lain. Mietzner misalnya menyoroti bagaimana partai politik tidak dapat berjalan tanpa pendanaan yang cukup. Oleh karena itu, mereka berpaling ke para pebisnis untuk mendapatkan pendanaan tersebut.
Hal-hal tersebut boleh menjadi alasan menguatnya hubungan bisnis dengan politik di Indonesia. Dalam kadar tertentu, hal ini dapat juga berlaku pada pengusaha-pengusaha Tionghoa yang terhimpun di dalam INTI.
Secara khusus, dalam sebuah tulisan di sebuah jurnal, Wu-Ling Chong menyebutkan bahwa para pengusaha Tionghoa memang terlibat aktif dalam membentuk politik di Indonesia. Mereka melakukan hal itu selagi membentuk lingkungan bisnis yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Maka, dalam kadar tertentu, membangun relasi dengan pengusaha Tionghoa dapat memberi manfaat bagi para politisi.
Usaha Jokowi Pikat Taipan?
Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, pertemuan antara Jokowi dan INTI bisa dimaknai lebih dari sekadar tentang pembangunan SDM semata. Bisa saja ada unsur ekonomi politik yang muncul setelah pertemuan di Istana tersebut.
Jokowi misalnya dapat membangun jejaring dengan taipan-taipan yang ada di dalam perkumpulan tersebut. Dalam kadar tertentu, restu dari taipan-taipan ini dapat memberi pengaruh ekonomi politik yang cukup signifikan baginya. Pada titik ini, relasi bisnis dan politik seperti yang dikemukakan Mietzner akan semakin menguat.
Pertemuan Jokowi dengan Perhimpunan INTI bisa saja memiliki makna khusus. Share on XJika Jokowi berhasil mengamankan pengusaha Tionghoa yang ada di dalam INTI, maka bisa saja ia akan mendapatkan keuntungan khusus. Merujuk pada pola hubungan bisnis dan politik seperti yang dikemukakan Mietzner, Jokowi bisa meningkatkan karier politiknya. Selain itu, merujuk kembali pada Mietzner, pendanaan juga bisa saja mengalir dari relasi ini.
Merapatkan para pengusaha Tionghoa ini juga menambah amunisi insan bisnis di kubu Jokowi. Seperti disebut sebelumnya, kelompok ini muncul sebagai salah satu kekuatan politik Indonesia yang merupakan perwujudan dari kapitalisme. Apalagi, secara spesifik, menurut Chong pengusaha Tionghoa memiliki peran dalam membentuk politik Indonesia.
Selain itu, pengaruh INTI juga bisa saja merapatkan banyak pengusaha di jejaringnya untuk mendukung kandidat petahana ini. Jejaring ini bisa jadi tambahan berharga bagi langkah sang petahana.
Secara spesifik, merujuk pada jurnal yang ditulis oleh Charlotte Setijadi, asosiasi Tionghoa seperti INTI memiliki hubungan dengan kelompok bisnis di Tiongkok. Mereka sering kali menjamu delegasi bisnis dari negara tersebut. Dalam upaya pemerintah yang tengah mendekati negara tersebut, menjalin hubungan dengan INTI boleh jadi bisa memberi manfaat khusus. Perkara restu internasional, dalam hal ini dari Tiongkok, menjadi lebih mudah didapatkan.
Di luar itu, menjalin hubungan dengan INTI dapat pula bermakna bahwa Jokowi tengah menjalin hubungan dengan kelompok minoritas yang khawatir dengan pilihan cawapresnya, yaitu Ma’ruf Amin. Di mata publik, Ma’ruf adalah sosok ulama konservatif yang fatwanya kerap merugikan kelompok minoritas. Salah satu yang membekas adalah fatwa penistaan agama yang diberikannya pada sosok politisi Tionghoa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Jika mereka benar-benar merapat ke Jokowi, maka hal ini dapat menjadi titik cerah bahwa pemilihan Ma’ruf sebagai cawapres tidak memberi banyak pengaruh pada suara kelompok minoritas seperti kelompok Tionghoa.
Pada akhirnya, penting pula untuk ditelusuri lebih jauh apakah INTI akan benar-benar sepenuhnya memberikan restu mereka kepada Jokowi. Selain itu, yang juga tidak kalah penting adalah bagaimana sikap perkumpulan Tionghoa lain pada Pilpres 2019 nanti. Jika semua pengusaha Tionghoa merapat ke kubunya, bukan tidak mungkin kemenangan di Pilpres 2019 lebih mudah datang. (H33)