Site icon PinterPolitik.com

Jokowi Perlu Kemenko Bidang Influencer?

Jokowi Perlu Kemenko Bidang Influencer

Joko Widodo (Jokowi) berswafoto dengan presenter Indra Bekti (kiri) dan Olga Lydia pada Juli 2014 silam. (Foto: Tempo)

Laporan investigasi Majalah Tempo menyebutkan bahwa kakak sepupu presiden, Andi Wibowo, merupakan koordinator influencer dan buzzer bagi pemerintah yang konotasinya cenderung minor. Lantas, mengapa pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi menggunakan influencer meski terdapat berbagai tendensi kurang positif dari publik?


PinterPolitik.com

Influencer di media sosial kini disebut-sebut sebagai salah satu aktor yang berpengaruh bagi persepsi dan tatanan kehidupan masyarakat secara konkret, khususnya di Indonesia.

Figur publik, selebritis, ataupun orang biasa dapat bertransformasi menjadi seorang influencer terkemuka ketika dianggap eksis dengan konten media sosial yang memiliki signifikansi menarik, sehingga membuat warganet terus mengikuti, menyimak, dan bahkan mengafirmasi sudut pandang dari berbagai konten tersebut.

Chriss Hazel dalam The Rise of the Social Media Influencer juga menyebut bahwa dengan privilege-nya, para influencer memiliki kekuatan untuk mempengaruhi perilaku, pemikiran, dan bahkan keyakinan pengikut mereka.

Selain itu, terdapat pula buzzerr atau pendengung yang perannya adalah menggaungkan suatu isu, informasi, atau narasi tertentu dengan pergerakan yang cenderung serempak dalam jumlah masif dan jamak yang bersifat anonim.

Dengan definisi tersebut, menjadi lumrah kiranya jika influencer plus buzzer dapat dikatakan menjadi sebuah “senjata” ampuh di era kekininan untuk digunakan dalam berbagai tujuan yang erat kaitannya dengan dukungan marketing atau promosi, baik bagi aspek ekonomi seperti barang dan jasa, kampanye sosial, hingga ranah politik.

Konteks mengenai keterkaitan antara influencer dan ranah politik sendiri kemudian menjadi sebuah diskursus menarik ketika dalam beberapa hari terakhir isu tersebut kembali ramai diperbincangkan di tanah air.

Jika dirunut, eskalasi isu terkini bermula dari temuan Indonesian Corruption Watch (ICW) yang mengindikasikan terdapat dana sebesar Rp 90 Miliar lebih yang dikeluarkan pemerintah untuk influencer. Dana tersebut dianggap terlalu besar dan tak sepenuhnya relevan secara substansial.

Temuan tim Majalah Tempo terbaru kemudian menguak lebih gamblang bagaimana peran influencer serta buzzer dikerahkan pemerintah melalui kerabat Presiden Joko Widodo (Jokowi), yakni Andi Wibowo.

Dikatakan bahwa Andi berperan sebagai koordinator bagi berbagai aktor digital untuk merespon isu-isu tertentu dengan tendensi kontraproduktif bagi pemerintah, seperti pergantian pimpinan Komisi Pemilihan Korupsi (KPK), revisi Undang-Undang (UU) KPK, hingga isu perombakan kabinet.

Nada sumbang lantas mengiringi kepingan temuan-temuan tersebut. Peneliti ICW, Egi Primayogha misalnya menyebut bahwa dikerahkannya influencer mengartikan Presiden Jokowi tidak percaya diri dengan kebijakannya sendiri.

Sementara pengamat politik Universitas Al-Azhar, Ujang Komarudin mengatakan bahwa demokrasi yang normal dan sehat tidak membutuhkan influencer maupun buzzer untuk membantu pemerintah.

Alih-alih menampik, kali ini juru bicara Presiden Jokowi, Fadjroel Rachman justru menyiratkan dukungan bagi keberadaan aktor digital atau para influencer yang disebut sejalan dengan visi Presiden Jokowi. Fadjorel kemudian menyebut bahwa keberadaan para influencer berperan penting dalam penerapan strategi pemerintahan di masa depan.

Lalu, dengan tendensi minor yang ada, mengapa pemerintah justru memilih menggunakan jasa “pihak ketiga” aktor digital seperti influencer? Serta bagaimana dampak lebih jauh peran influencer pemerintah bagi persepsi publik?

Eufemisme Politik 4.0?

Penggunaan influencer oleh pemerintah memang tidak hanya dilakukan di Indonesia. Inggris misalnya, menggunakan influencer Shaughna Phillips, Chris Hughes, dan Josh Denzel untuk mengkampanyekan pentingnya tes Covid-19 yang diadakan oleh pemerintah sebagai bagian dari program tracing atau pelacakan skala nasional dalam penanganan Covid-19 di negeri Ratu Elizabeth.

Kendati demikian, memaksimalkan peran “pihak ketiga” tersebut nyatanya tak melulu bermakna positif. Studi mengenai peran “pihak ketiga” dalam mendukung kebijakan pemerintah paling tidak telah ada paska Perang Dunia II.

Noam Chomsky dalam Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media menyebut peran media massa sebagai pihak ketiga sekaligus alat propaganda anti-komunis yang dimanfaatkan oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk menghimpun nasionalisme dan dukungan publik AS dalam berbagai kampanye Perang Dingin melawan Uni Soviet.

Dari sini dapat terlihat benang merah antara propaganda dengan isu kontemporer terkait influencer, yaitu berupa utilisasi media – baik media elektronik, cetak, hingga media sosial – bagi promosi, pembangunan narasi dukungan, serta pengejawantahan berbagai kebijakan pemerintah, baik yang positif maupun yang kontraproduktif.

Propaganda media ini juga dapat dimaknai dari kajian dalam salah satu studi linguistik, yakni eufemisme atau penggunaan istilah atau narasi alternatif. Ini digunakan dalam mengkonstruksi positif suatu isu, karena isu tersebut sesungguhnya negatif.

Xianan Zhou dalam Study on the Features of English Political Euphemism and its Social Functions menyebutkan bahwa eufemisme dalam dunia politik merupakan alat yang dapat memengaruhi pemahaman publik atas suatu isu.

Eufemisme politik dikatakan Zhou merupakan alat yang efektif bagi para pemimpin politik untuk mengontrol kuantitas dan kualitas transmisi informasi. Dengan eufemisme politik, tindakan atau motivasi pemerintah yang kontraproduktif akan tersembunyi, sehingga menghindari persepsi negatif dari publik.

Lebih lanjut, Zhou memberikan sampel penggunaan narasi yang merepresentasikan eufemisme politik di AS seperti Perang Korea yang jamak disebutkan sebagai “police action”, Skandal Watergate yang disebut sebagai “intelligence gathering”, hingga mengganti resesi sebagai pertumbuhan negatif yang lebih tak terdengar ofensif.

Dari intisari tulisan Zhou tersebut, peran influencer dapat dikatakan sangat ideal dalam mendukung serta menyampaikan eufemisme politik pemerintah. Karena seperti halnya propaganda, influencer dapat memanfaatkan ruang kontemporer yakni media sosial untuk mengkonstruksikan berbagai macam narasi.

Strategi ini juga terbilang efektif karena para influencer telah memiliki pengikut yang secara langsung dapat dipengaruhi.

Dan jika ditarik pada konteks Indonesia, memang Fadjroel Rachman mengatakan bahwa para aktor digital, termasuk influencer, berperan penting membangun jaringan informasi yang berpengaruh terhadap aktivitas produktif sosial, ekonomi, dan politik. Dan oleh karenanya, influencer juga penting bagi strategi pemerintah di masa mendatang.

Namun di sisi lain, pernyataan Fadjroel tersebut juga dapat bermakna eufemisme politik ketika frasa “influencer” berpotensi pula dijadikan justifikasi kontraproduktif sebagai kontrol pemerintah dalam arus informasi di ranah media sosial.

Dalam hal ini, influencer juga secara langsung dapat berpeluang dimanfaatkan sebagai pihak ketiga yang menyampaikan eufemisme politik, ketika retorika pemerintah tak lagi diterima publik dengan baik.

Terlebih, preseden sebelumnya juga mengindikasikan influencer telah dikerahkan dalam membangun eufemisme politik pemerintah. Misalnya saja dalam polemik beberapa influencer dan publik figur yang disebut “tidak sengaja” mempromosikan Omnibus Law menjadi penasbihnya.

Kemudian jika memang influencer di kemudian hari benar-benar menjadi bagian tak terpisahkan dari politik dan pemerintahan, apakah hal tersebut akan berpengaruh signifikan pada orientasi publik?

Publik Kian Matang

Milica Radulović dalam Expressing Values in Positive and Negative Euphemisms mengatakan bahwa eufemisme tidak selalu bermuara pada hal negatif. Hal ini dikarenakan pragmatic inferential process atau proses inferensial pragmatis yang merupakan sebuah proses rekonstruksi secara otomatis dalam merespon eufemisme dari sudut pandang linear dan non-linear.

Radulović menyebut proses tersebut memungkinkan publik dapat menghindari kesalahpahaman atas bahasa-bahasa yang berpotensi manipulatif.

Pragmatic inferential process ini pula yang tampaknya berkembang di ruang informasi kolektif publik tanah air belakangan ini. Selain berperan dalam menguak ihwal di balik peran beberapa influencer dalam mendukung Omnibus Law Cipta Kerja yang dianggap kontroversial, publik juga kian sensitif dengan berbagai narasi yang datang dan terkait dengan pemerintah.

Narasi pemerintah yang membolehkan pembukaan kembali beberapa fasilitas publik asalkan menerapkan protokol kesehatan misalnya. Kalimat “asalkan menerapkan protokol kesehatan” jamak diterjemahkan skeptis oleh publik sebagai eufemisme dari “risiko ditanggung masing-masing”.

Dengan rangkaian analisa yang ada, upaya pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi dalam merangkul influencer untuk sebuah strategi tertentu agaknya harus dipertimbangkan ulang.

Selain karena publik yang semakin sensitif dengan pragmatic inferential process seperti yang disebutkan Radulović dan kemungkinan hanya akan berakhir sebagai ikon semata. Apalagi tentu terdapat anggaran yang dapat dialokasikan bagi prioritas lain yang lebih mendesak di tengah kondisi perekonomian negara saat ini yang kian sulit.

Akan tetapi, penggunaan influenzer juga tidak dapat sepenuhnya dinilai negatif. Kebijakan tersebut tentu dapat pula positif, asalkan tidak digunakan sebagai siasat eufemisme politik. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version