HomeNalar PolitikJokowi Perlu Dirikan Melayu Raya?

Jokowi Perlu Dirikan Melayu Raya?

Indonesia, Malaysia, dan Filipina sering disebut negara-negara yang disebut berasal dari rumpun yang sama, yakni Melayu. Apakah mungkin negara-negara itu bergabung dan membentuk Melayu Raya? Lantas, apakah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) memerlukannya?


PinterPolitik.com

“How could we not talk about family when family’s all that we got?” – Wiz Khalifa, penyanyi rap asal Amerika Serikat (AS)

Dalam sebuah keluarga, tidak jarang seorang anak hidup bersama kakak atau adik. Hubungan persaudaraan seperti ini tentu juga didasari pada hubungan mutual saling menyayangi.

Meski begitu, tidak jarang hubungan persaudaraan seperti ini diisi dengan sejumlah pertengkaran. Soal giliran bermain, misalnya, terkadang juga menjadi subjek yang kerap diperebutkan.

Hubungan persaudaraan yang fluktuatif seperti ini tampaknya tidak hanya terjadi dalam sebuah keluarga kecil, melainkan juga dalam hubungan antarnegara. Indonesia dan Malaysia, misalnya, disebut kerap beradu pendapat meski keduanya berasal dari kelompok rumpun yang sama, yakni Melayu.

Rivalitas antara dua negara Asia Tenggara maritim ini pun terjadi di banyak bidang. Salah satunya adalah bidang olahraga di mana kedua pendukung tim nasional sepak bola mereka saling bersaing dan tersulut apabila terjadi insiden tertentu.

Baca Juga: Jokowi Di Tengah Terpaan Bitcoin

Jokowi Muhyiddin Sentil Myanmar

Tidak hanya soal sepak bola, warganet dari Indonesia dan Malaysia terkadang juga terlibat dalam perdebatan daring. Adu debat ini biasanya terjadi apabila salah satu negara dianggap mencaplok warisan budaya atau wilayah satu sama lain.

Meski begitu, sebagai tetangga dan saudara, Indonesia dan Malaysia tetap harus bekerja sama dalam banyak bidang. Hal inilah yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Perdana Menteri (PM) Malaysia Muhyiddin Yasin ketika bertemu beberapa waktu lalu.

Dalam pertemuan itu, Jokowi dan Muhyiddin saling sepakat bahwa situasi yang tengah terjadi di Asia Tenggara perlu menjadi perhatian bersama, yakni sengketa Laut China Selatan (LCS) yang memanas dan kudeta militer yang terjadi di Myanmar.

Kerja sama dan pertengkaran antara dua negara ini setidaknya menunjukkan bahwa Indonesia dan Malaysia sebenarnya memiliki banyak kesamaan. Lagipula, bila dilihat dari isu yang dibahas oleh Jokowi dan Muhyiddin, bukan tidak mungkin kedua negara memiliki sejumlah kepentingan yang konvergen.

Bila Indonesia dan Malaysia merupakan dua yang negara yang berbagi kepentingan dan rumpun yang sama, mengapa dua negara ini tidak menjadi satu negara saja? Mengapa sejarah membuat Indonesia dan Malaysia menjadi dua negara yang berbeda? Lantas, mungkinkah dua negara ini bersatu?

Mimpi Melayu Raya

Gagasan mengenai bersatunya Indonesia dan Malaysia – serta Filipina, Singapura, dan Brunei – yang didasarkan pada kesamaan rumpun Melayu ini sebenarnya bukan ide baru. Dalam sejarahnya, gagasan ini telah beberapa kali muncul tetapi berujung sirna hingga kini.

Ide mengenai persatuan Melayu Raya – kadang juga disebut sebagai Indonesia Raya (Greater Indonesia) – ini sebagian besar didasarkan pada identitas bersama, yakni identitas ras Melayu. Tidak hanya kesamaan identitas rumpun, gagasan akan Melayu Raya juga terkadang didasarkan pada kejayaan sejumlah kerajaan di masa lampau, mulai dari Sriwijaya (abad ke-7 hingga abad ke-13), Majapahit (1293-1527), hingga Kesultanan Melaka (1400-1511).

Baca juga :  PDIP and the Chocolate Party

Gagasan soal Melayu Raya inipun muncul kembali pada era kolonial, khususnya pada tahun 1920-an. Kala itu, ide ini mulai muncul di kalangan pribumi terdidik di Hindia Belanda setelah mereka dapat mengenyam pendidikan setelah kebijakan Politik Etis (Ethische Politiek) yang dicanangkan oleh Belanda pada tahun 1901.

Tidak hanya di Hindia Belanda, gagasan Melayu Raya juga diusung oleh sejumlah kelompok di Semenanjung Melayu (sekarang bagian dari Malaysia), yakni Kesatuan Melayu Muda (KMM) yang didirikan oleh Ibrahim Yacoob pada tahun 1938. Ibrahim inilah yang nanti menjadi salah satu pendukung bergabungnya Malaysia ke Indonesia setelah Soekarno, Mohammad Hatta, dan Mohammad Yamin mendeklarasikan kemerdekaan pada tahun 1945.

Baca Juga: Rezim Jokowi Kombinasikan Orwellian dan Huxleyan?

Mengenang Mafilindo Mimpi Melayu Raya

Ibrahim juga yang nantinya mengadvokasikan bersatunya Malaysia dengan Indonesia. Pendiri KMM ini juga menghubungi Soekarno dan Mohammad Yamin guna mengusulkan ide persatuan Malaya ke Indonesia.

Ide ini pun didukung oleh Soekarno meski nantinya kandas karena presiden pertama tersebut berfokus untuk merebut sejumlah wilayah yang masih berada di bawah kontrol Belanda, seperti Irian (sekarang Papua). Selain itu, banyak bangsawan Malaya tidak mendukung gagasan yang diusung oleh Ibrahim tersebut.

Tidak hanya gagasan Indonesia Raya, semangat persatuan Melayu ini juga dimiliki oleh pejuang kemerdekaan asal Filipina, yakni José Rizal. Semangat inilah yang akhirnya diusung oleh Presiden ke-9 Filipina Diosdado P. Macapagal dengan membentuk sebuah organisasi antar-negara Mafilindo yang berisikan Malaya, Filipina, dan Indonesia pada tahun 1963.

Ide ini nantinya juga disetujui oleh Soekarno yang bertemu Macapagal di Manila pada tahun yang sama. Selain itu, presiden pertama Indonesia tersebut juga sempat bertemu Tunku Abdul Rahman di Tokyo yang akhirnya sepakat untuk tidak mendirikan negara Malaysia.

Pendirian Mafilindo ini sendiri memiliki banyak intrik geopolitik. Macapagal, misalnya, dinilai memiliki kepentingan atas klaim wilayah di Sabah, Malaya. Di sisi lain, Soekarno ingin agar negara Malaysia tidak didirikan atas campur tangan Britainia Raya karena dianggap mendirikan negara yang didasarkan pada imperialisme.

Mafilindo kala itu juga mendapatkan dukungan dari Presiden Amerika Serikat (AS) John F. Kennedy (JFK) karena dianggap dapat membendung penyebaran komunisme. Dengan Mafilindo, JFK berharap Soekarno dapat mengejawantahkan tendensi nasionalismenya ke hal-hal yang jauh dari komunisme ala Uni Soviet dan Tiongkok.

Kesepakatan Soekarno-Tunku itupun dilanggar dan membuat presiden pertama tersebut murka – berujung pada Konfrontasi Indonesia-Malaysia (1963-1966). Konflik inilah yang akhirnya mengakhiri mimpi Melayu Raya – dengan disepakatinya pendirian Malaysia oleh Presiden Soeharto pada tahun 1966.

Bila mimpi Melayu Raya ini akhirnya kandas, apakah perlu mimpi ini dihidupkan kembali? Bagaimana konteks Mafilindo (atau konsep Melayu Raya) ini bila disesuaikan dengan konteks geopolitik di masa kini? Apakah mungkin Melayu Raya dapat berdiri lagi?

Mungkinkah Jokowi Perlu Melayu Raya?

Mimpi akan berdirinya negara Melayu Raya di masa kini bukanlah hal yang sangat tidak mungkin. Pasalnya, situasi geopolitik terkini bisa saja sangat membutuhkan kehadiran Melayu Raya. Namun, berbagai faktor bisa saja menghambat mimpi ini untuk diusung kembali.

Seperti yang pernah dibilang oleh John J. Mearsheimer – profesor politik dari University of Chicago – dalam bukunya yang berjudul The Tragedy of Great Power Politics, setiap negara akan berusaha untuk mengoptimalkan dan memaksimalkan kekuatan (power) yang dimilikinya untuk mencapai status hegemoni. Ini merupakan sifat alamiah (nature) dari negara ketika dihadapkan oleh sistem anarki dalam hubungan antar-negara – di mana tidak ada otoritas tertinggi di dalamnya.

Baca juga :  Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Baca Juga: Jokowi di Antara Tumpukan Keraguan Biden?

Menguping Telepon Retno Blinken

Asumsi realis milik Mearsheimer ini juga sejalan dengan gagasan balancing (pengimbangan) ketika muncul hegemon baru yang dianggap bisa menjadi ancaman. Dalam hal ini, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) bisa menjadi ancaman tersebut.

Bagaimana tidak? Klaim nine-dashed line di LCS oleh Tiongkok telah mengganggu kedaulatan banyak negara Association of South East Asian Nations (ASEAN) – termasuk Malaysia dan Filipina.

Dengan strategi balancing, Indonesia bersama Malaysia dan Filipina bisa saja menghidupkan kembali gagasan Mafilindo sebagai sebuah organisasi kawasan yang dibentuk sebagai keamanan bersama (collective security) layaknya North Atlantic Treaty Organization (NATO) dan Uni Eropa (UE) yang digunakan untuk menghalau Uni Soviet (atau Rusia).

Selain itu, kehadiran Mafilindo bisa saja mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh ASEAN – di mana minimnya identitas bersama bisa saja membuat organisasi kawasan satu ini tidak memiliki perekat yang kuat. Mafilindo yang baru pun juga bisa menjadi hegemon pesaing Tiongkok bila dibentuk sebagai sebuah organisasi yang menyerupai negara – katakanlah organisasi supranasional layaknya UE.

Di sini, AS pun dapat mengambil peran yang disebut oleh Mearsheimer dalam tulisannya yang berjudul Why Is Europe Peaceful Today? sebagai penjaga malam (night watchman) yang membantu hegemon setempat guna menghalau kekuatan hegemon potensial lainnya. Presiden AS Joe Biden – seperti JFK – bisa saja mendorong gagasan Mafilindo yang baru guna membendung kekuatan Tiongkok.

Meski begitu, mimpi indah seperi Melayu Raya ini bukan tidak mungkin terlalu sulit untuk diwujudkan. Di masa kontemporer seperti ini, perbedaan kultural dan kesejahteraan juga menjadi signifikan antara negara-negara yang tergolong sebagai rumpun Melayu.

Selain itu, penyeragaman kepentingan juga menjadi salah satu hambatan terbesar bagi perwujudan mimpi Melayu Raya. Layaknya UE, tidak mungkin organisasi supranasional – atau bahkan negara – dapat didirikan dalam waktu sekejap.

Pada akhirnya, mimpi Melayu Raya ini tinggal menjadi mimpi masa lalu yang semakin sulit diwujudkan. Belum lagi, pemerintahan Jokowi – seperti yang disebutkan oleh Ben Bland di Man of Contradictions – tidak memiliki politik luar negeri yang menjadikan negara-negara lain sebagai fokus utama (inward-looking).

Meski begitu, ketiga negara setidaknya memiliki sejumlah kepentingan yang sama atas situasi geopolitik yang terjadi – dengan persaingan antara AS dan Tiongkok. Menarik untuk diamati terus perkembangan respons negara-negara berumpun Melayu dalam merespons ancaman bersama ini dengan melemahnya konsep sentralitas ASEAN. (A43)

Baca Juga: Saatnya Jokowi “Kelabui” AS-Tiongkok?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?