Site icon PinterPolitik.com

Jokowi Perlu Antisipasi Reforestasi Inggris?

Presiden Joko Widodo saat hadiri pertemuan COP26 2021 (Foto: Setneg)

Menteri Iklim dan Lingkungan Internasional Inggris, Zac Goldsmith, melakukan sebuah blunder ketika memberikan pernyataan tentang deforestasi, pasca pertemuan COP26. Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia, Mahendra Siregar memberi komentar pedas. Apa sebenarnya yang kira-kira menjadi alasan Goldsmith berkata demikian?


PinterPolitik.com

Awal November 2021 tampaknya menjadi salah satu waktu tersibuk bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi). Setelah menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Roma, Italia, Jokowi langsung bertolak ke Glasgow, Skotlandia, untuk menghadiri pertemuan Conference of the Parties 26 (COP26). Pertemuan ini membahas komitmen negara-negara di seluruh dunia untuk meredam dampak buruk perubahan iklim.

Ketika kita membicarakan perubahan iklim, tentu kita juga harus bicara mengenai pembalakan hutan, atau yang lebih sering disebut deforestasi. COP26 kemarin melahirkan kesepakatan mengenai deforestasi, yang sampai saat ini sudah ditandatangani 131 negara, kesepakatan tersebut bernama Deklarasi Hutan dan Penggunaan Lahan COP26. Tentu, sebagai salah satu negara yang diberi julukan ‘jantung dunia’, Indonesia ikut menandatangani kesepakatan tersebut.

Namun kemudian terjadi hal yang cukup membingungkan. Menteri Iklim dan Lingkungan Internasional Inggris, Zac Goldsmith memberi pernyataan di Twitter bahwa Deklarasi Hutan COP26 telah mengamankan komitmen yang belum pernah dilakukan sebelumnya, dari 100 negara yang merepresentasikan lebih dari 85% hutan di dunia. Ia lalu mengklaim negara-negara ini sepakat untuk ‘mengakhiri’ deforestasi pada tahun 2030.

Cuitan ini mendapat respons yang cukup keras dari Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia, Mahendra Siregar. Ia mengatakan pernyataan yang dibuat Goldsmith menyesatkan, karena di Deklarasi Hutan ini kata ‘mengakhiri deforestasi’ sama sekali tidak digunakan.

Baca Juga: Saatnya Jokowi Peduli Lingkungan

Memang, ketika diperiksa, kata yang digunakan di kesepakatan itu adalah ‘menghentikan dan membalikkan’ hilangnya hutan dan degradasi lahan pada tahun 2030. Mahendra bahkan mengimbau masyarakat Indonesia untuk mawas diri dan tak terpengaruh pernyataan Goldsmith.

Sementara itu, Goldsmith menambahkan, negaranya siap memberi sumbangan sebesar €300 juta atau sekitar Rp4,9 triliun untuk mendukung perlindungan hutan di beberapa negara.

Terlepas dari siapa yang benar ataupun salah, pernyataan Goldsmith sangat menarik untuk ditelisik, mengingat Inggris adalah salah satu negara konsumen kayu terbesar di dunia.

Lantas, mengapa Goldsmith melemparkan pernyataan yang terkesan klise dan kontradiktif dengan kondisi negaranya?

Sebuah Kecurigaan

Seperti yang sudah disebutkan, Inggris saat ini diketahui sebagai negara importir pelet kayu terbesar di dunia, berdasarkan data yang ditampilkan perusahaan basis data, Statista. Bahkan, jumlah pelet kayu yang diimpor oleh Inggris pada tahun 2020 lebih dari sembilan juta metrik ton.

Kenapa pelet kayu semakin diminati di negara maju? Alasannya adalah karena kebijakan energi baru dan terbarukan. Dengan menggunakan pelet kayu sebagai sumber energi, penggunaan bahan bakar fosil dapat dikurangi. Selain itu, pemerolehan pelet kayu juga diklaim ramah lingkungan, karena banyak dilakukan di hutan tanaman industri (HTI). Pada dasarnya, HTI adalah ibarat peternakan, tetapi digunakan untuk pepohonan, di mana suatu lahan digunakan untuk menumbuhkan pepohonan yang bisa ditanam ulang.

Namun, akhir-akhir ini banyak pemerhati dan peneliti lingkungan hidup yang mengkritisi produksi dan penggunaan pelet kayu. Penelitian mengenai dampak penggunaan bahan bakar organik yang dilakukan oleh John Sterman, seorang Profesor MIT Sloan School of Management, mengatakan bahwa membakar pelet kayu untuk energi mengakibatkan konsekuensi yang lebih buruk bagi iklim daripada membakar batu bara.

Alih-alih menggunakan bahan bakar fosil untuk melepaskan karbon berusia ribuan tahun ke udara, HTI dan penggunaan bahan bakar organik justru mendaur ulang karbon dari atmosfer, yang dalam jangka panjangnya, berdasarkan penelitian Sterman, akan menunjukkan dampak yang jauh lebih negatif terhadap lingkungan. Selain itu, pembuatan HTI juga dinilai dapat merusak lahan karena membutuhkan wilayah yang cukup besar, bahkan lebih-lebih dari habitat hutan yang perlu ditebangnya.

Memang, fenomena yang terjadi saat ini adalah, Inggris dan banyak negara Eropa mulai melihat bahan bakar organik sebagai solusi energi bebas emisi karbon. Kalau kita melihat pandangan Committee on Climate Change (CCC), lembaga penasihat lingkungan pemerintahan Inggris, dalam surat rekomendasi yang dikirimkan kepada Perdana Menteri (PM) Boris Johnson pada tanggal 6 Mei 2020, dengan jelas tertera bahwa HTI dianggap sebagai bagian dari green infrastructure atau infrastruktur ramah lingkungan.

Ini kemudian dicontohkan dengan bagaimana Inggris mulai membeli banyak lahan peternakan di Wales untuk dijadikan HTI. Seorang Jurnalis BBC, bernama Rachael Garside, dalam laporannya yang berjudul Why are Large Investment Firms Buying Welsh Farms?, mengatakan banyak petani yang mengeluh upaya pendirian hutan buatan dari Inggris telah menghancurkan komunitas warga di daerah pedesaan. Hingga saat ini, permasalahan tersebut belum ada solusi.

Lantas, bagaimana ini bisa dikaitkan dengan perspektif internasional?

Pernyataan World Wildlife Fund (WWF) dalam sebuah artikel di laman The Independent yang berjudul Government Should Stop British Banks Funding Deforestation menemukan setidaknya ada 300 pemodal Inggris yang secara langsung memberikan dana sebesar £40 miliar kepada perusahaan-perusahaan yang mengancam kelestarian hutan di Brasil dan Indonesia. Pendanaan ini diberikan dalam bentuk investasi dan pinjaman internasional.

Baca Juga: Jokowi Perlu Rangkul Uni Eropa?

Ini kemudian menjadi pertanyaan besar ketika kita kaitkan dengan komitmen Inggris, melalui Goldsmith, yang pada COP26 berjanji untuk memberikan sumbangan sebesar Rp4,9 triliun untuk pelestarian hutan di beberapa negara. Bahkan, hasil kesepakatan COP26 sendiri disebutkan akan mengumpulkan dana sebesar Rp275 triliun untuk meredam deforestasi.

Banyak pihak mencurigai dana ini akan digunakan untuk merubah hutan alami menjadi HTI. Mary Booth, Direktur Partnership for Policy Integrity, sebuah lembaga penelitian lingkungan, mengatakan penting untuk disadari bahwa fokus Deklarasi COP26 tentang deforestasi, hanya membahas hilangnya hutan secara permanen ketika suatu lahan dikonversi untuk penggunaan lain seperti pertanian atau pembangunan, Deklarasi ini tidak membahas tentang praktek HTI. Bahkan, jika kita melihat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), justru penggunaan pelet kayu dikampanyekan.

Dari sini, kita bisa menjawab pertanyaan: bagaimana cara Inggris tetap bisa dapat stok kayu sambil menjunjung kampanye anti-deforestasi ala COP26? Jawabannya sederhana, dengan mengkampanyekan HTI di negara-negara hutan besar.

Ini kemudian menjadi hal yang rasional ketika kita mengingat apa yang dikatakan Goldsmith tentang deforestasi. Hutan di negara berkembang yang masih rentan akan pembalakan liar akan ditimpang tindihkan oleh gagasan HTI yang sesungguhnya tidak menyelesaikan permasalahan emisi karbon.

Lantas, pandangan apa yang perlu digunakan pemerintahan Jokowi?

Keluar dari Sistem

Pola yang kita temukan di atas sangat identik dengan apa yang disampaikan Immanuel Wallerstein dalam teori sistem dunia. Teori ini menjelaskan negara-negara di dunia dibagi berdasarkan fungsi produksi, pertukaran barang dan kepemilikan bahan mentah. Pembagian kerja ini menyebabkan munculnya dua karakteristik negara yang saling bergantung, yaitu negara inti dan negara pinggiran.

Secara ekonomi dan politik, kedua negara tersebut memiliki perbedaan prioritas, negara inti fokus pada penanaman modal, dan negara pinggiran terfokus pada penyediaan bahan konsumsi. Secara sederhana, negara pinggiran difungsikan sepenuhnya sebagai pemasok, sementara pasokan tersebut disesuaikan pada tingkat permintaan dari negara inti.

Dari sini, kita bisa melihat Inggris sebagai negara inti, yang memiliki tingkat permintaan tinggi terhadap pelet kayu, dan juga pemodal besar. Sementara, Indonesia menjadi negara pemasok, dengan reputasinya sebagai salah satu negara dengan jumlah hutan yang besar. Dengan logika ini, Indonesia sesungguhnya berada di posisi yang benar-benar tertantang. HTI berpotensi menjadi skema baru yang dapat membuat negara seperti Indonesia terjebak sebagai sekadar penyedia bahan, sementara, kita sendiri masih terkendala isu-isu deforestasi tradisional, seperti pembakaran hutan liar.

Tentu, interdependensi atau saling ketergantungan ala liberalisme bisa terjadi, di mana kedua kategori negara diuntungkan. Negara pinggiran dapat investasi besar serta peningkatan hubungan diplomatis, dan negara inti mendapat bahan yang mereka butuhkan. Tetapi kembali lagi, karena isu ini menyangkut tema besar perubahan iklim, HTI yang selama ini dijargonkan PBB dan Inggris cenderung malah akan menghasilkan permasalahan yang sama dengan bentuk yang berbeda dari deforestasi yang sudah terjadi.

Baca Juga: Jokowi, Hilirisasi, dan Lingkungan Hidup

Jika Presiden Jokowi ingin benar-benar terlepas dari jerat negara pinggiran, maka pandangan dari A. Martinez-Vela dalam tulisannya yang berjudul World Systems Theory bisa menjadi inspirasi. Ia mengatakan bahwa industrialisasi menjadi syarat paling penting, dan contoh nyatanya sudah ada. Sebelum menjadi negara ekonomi besar, Tiongkok juga sempat disebut sebagai negara pinggiran, namun setelah menjalankan industrialisasi dengan Rencana Lima Tahun, Tiongkok berhasil bangkit, bahkan menjadi salah satu negara manufaktur terbesar di dunia.

Pada intinya, di tengah hiruk pikuk perubahan iklim, Jokowi harus benar-benar waspada, apalagi terhadap program internasional yang terlihat manis di muka, namun sebetulnya menghasilkan masalah yang sama, bahkan mungkin baru. HTI menjadi contoh bahwa kita tidak bisa dengan mentah-mentah menelan solusi perubahan iklim internasional. (D74)

Exit mobile version