Meskipun terdapat resistensi pada awalnya, khususnya terkait latar belakang agama Listyo Sigit, Presiden Jokowi tetap mencalonkannya sebagai Kapolri. Keputusan tersebut juga disebut sebagai bentuk komitmen Presiden Jokowi dalam menegakkan pluralisme. Namun, apakah ini hanya soal pluralisme?
Sejak namanya masuk radar sebagai calon Kapolri pengganti Idham Azis, isu SARA sudah mulai diarahkan ke Listyo Sigit Prabowo. Suka atau tidak, isu semacam itu memang lumrah menimbang pada tidak lazimnya sosok berlatar non Muslim memegang posisi jabatan vital di tingkat nasional.
Johannes Nugroho dalam tulisannya Why Indonesia’s new Christian police chief is no game-changer in a Muslim-majority nation menarik perdebatan mengenai pengangkatan Listyo Sigit sebagai Kapolri dengan kasus mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (BTP) atau Ahok.
Kasus penistaan agama Komisaris Utama Pertamina tersebut telah jamak disimpulkan sebagai preseden meningkatnya politik identitas Islam di Indonesia. Hal tersebut membuat Nugroho melihat pengangkatan Listyo Sigit yang beragama Kristen untuk menunjukkan dukungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap pluralisme.
Melihat sejarahnya, Listyo Sigit sebenarnya bukan Kapolri non Muslim pertama. Pada tahun 1974-1978, Widodo Budidarmo yang beragama Kristen juga diangkat sebagai Kapolri oleh Presiden Soeharto. Akan tetapi, konteksnya cukup berbeda.
Pada kasus Soeharto, saat itu posisinya tidak terlalu dilematis. Pada tahun 1983, misalnya, Soeharto juga menunjuk Leonardus Benyamin Moerdani sebagai Panglima ABRI – sekarang disebut Panglima TNI.
Sementara pada kasus Presiden Jokowi, pengangkatan Listyo Sigit dinilai didorong oleh faktor pluralisme. Seperti yang diketahui, politik identitas Islam telah menjamur setelah kasus Ahok. Puncaknya pada Pilpres 2019 ketika terjadi polarisasi politik ekstrem.
Baca Juga: Pam Swakarsa Listyo Sigit Bahayakan Jokowi?
Namun, seperti yang dilihat Nugroho, penunjukan Listyo Sigit bukannya tanpa tantangan. Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhyiddin Junaidi, misalnya, menilai aneh apabila pemimpin non Muslim mengendalikan keamanan negara ketika mayoritas penduduknya adalah muslim.
Lantas, apakah Presiden Jokowi patut diapresiasi atas diangkatnya Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri?
Perdebatan Moralitas
Pada titik ini, tentu kita paham atas kerisauan berbagai pihak, seperti Wakil Ketua MUI Muhyiddin Junaidi terkait mengapa Listyo Sigit yang bukan merupakan non Muslim justru menjabat sebagai Kapolri. Rasionalisasi tersebut juga kita temukan dalam penolakan sejumlah pihak agar Ahok tidak menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2016 lalu.
Mengacu pada basis rasionalisasi penolakannya, kita dapat menemukan argumentasi moral sebagai akarnya. Penolakan itu mengacu pada asumsi bahwa Kapolri Muslim saja belum tentu adil terhadap Muslim, lantas bagaimana dengan yang non Muslim?
Di sana, kita dapat melihat asumsi filosofis bahwa moralitas memiliki pertautan yang erat dengan agama. Dengan kata lain, ini adalah asumsi filosofis bahwa baik atau buruk (moralitas) ditentukan oleh agama.
Lawrence M. Hinman dalam bukunya Ethics: A Pluralistic Approach to Moral Theory menyebutkan asumsi tersebut sebagai ethics of divine commands atau etika yang berdasar atas perintah ilahi – disebut juga divine command theory.
Kendati telah menjadi etika yang umum diketahui dan dipraktikkan, namun divine command theory memiliki tantangannya tersendiri. Hinman misalnya mempertanyakan perihal diversitas nilai agama yang tidak jarang saling menegasi.
Bantahan paling menarik terkait agama sebagai asul-usul moralitas mungkin datang dari konsep yang disebut dengan Euthyphro dilemma (dilema Euthyphro). Dilema Euthyphro adalah konsep yang tercipta dari percakapan antara Socrates dengan Euthyphro.
Saat itu Socrates memberi pertanyaan ke Euthyphro, “Apakah para dewa menghargai kesalehan (piety) karena itu baik, atau kesalehan itu baik karena para dewa menghargainya?.” Dalam perkembangannya, pertanyaan tersebut berubah menjadi, “Apakah sesuatu yang baik diperintahkan tuhan karena hal itu baik, atau hal itu baik karena diperintahkan tuhan?.”
Yang menjadi persoalan adalah, dilema tersebut menciptakan konsekuensi praktis bahwa ada atau tidaknya tuhan, hal baik tetap ada. Ini mengacu pada maksim pragmatisme (pragmatic maxim) dari filsuf Charles Sanders Peirce yang menyebutkan bahwa dua buah teori – atau lebih – yang tidak memiliki perbedaan secara praktis, sejatinya tidak memiliki perbedaan filosofis.
Singkatnya, persoalan apakah Listyo Sigit akan berlaku baik atau adil, pada dasarnya tidak berkaitan dengan latar belakang agamanya, melainkan pada persoalan sejauh apa komitmennya terhadap moralitas. Apalagi, dalam semua pemerintahan, teori etika yang bekerja sebenarnya adalah utilitarianisme – kerap disebut ethic of consequences (etika konsekuensi).
Menurut Hinman, utilitarianisme memiliki klaim bahwa cara untuk mengukur moralitas adalah dengan melihat seberapa besar utilitas atau konsekuensi positifnya. Pada praktiknya, ini adalah teori etika yang menetapkan baik atau buruk berdasarkan keputusan yang paling menguntungkan banyak pihak.
Baca Juga: Listyo Sigit, Pilihan Cerdas Jokowi?
Sekarang pertanyaannya, siapa kelompok yang paling banyak itu? Tentunya adalah penduduk Muslim. Dengan kata lain, sangat tidak masuk akal apabila Listyo Sigit nantinya membuat kebijakan yang menyudutkan kelompok Muslim. Pasalnya, itu sama saja dengan memantik kebakaran di tengah riak-riak politik identitas Islam yang saat ini tengah berkembang.
Hal tersebut misalnya dapat kita lihat dengan pergerakan cepat Listyo Sigit yang mendatangi organisasi Islam besar seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan MUI setelah ditetapkan sebagai Kapolri. Suka atau tidak, langkah tersebut dengan jelas menunjukkan betapa mantan Kabareskrim itu sangat memahami pentingnya dukungan organisasi Islam yang menjadi representasi penduduk Muslim.
Langkah serupa juga dilakukan Listyo Sigit ketika pada awalnya ditolak sejumlah ulama di Banten ketika ditunjuk sebagai Kapolda Banten pada 2016 lalu. Dengan apik mantan ajudan Presiden Jokowi tersebut membangun hubungan, sehingga membuatnya diterima oleh ulama setempat.
Fokus yang Bergeser?
Di titik ini, kita mungkin dapat menyimpulkan bahwa Presiden Jokowi patut diapresiasi atas keberaniannya mencalonkan sosok non Muslim sebagai Kapolri di tengah riak-riak politik identitas Islam. Ini adalah bentuk nyata dukungan terhadap pluralisme.
Akan tetapi, pakar isu militer dan keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi justru melihat fenomena yang berbeda dari pujian tersebut. Menurutnya, telah terjadi pergeseran fokus dalam menilai apakah Listyo Sigit layak ditunjuk sebagai Kapolri atau tidak.
Tegasnya, pengangkatan Kapolri bukan persoalan pluralisme, melainkan persoalan kapasitas dan kualitas. Oleh karenanya, pertanyaan yang seharusnya diajukan adalah, apakah Listyo Sigit memiliki kualitas yang sama dengan Widodo Budidarmo yang juga merupakan Kapolri non Muslim?
Di sini, Fahmi mengutip tulisan dari peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sarah Nuraini Siregar yang berjudul Evaluasi Sepuluh Tahun Reformasi Polri pada tahun 2008 yang mencatat bahwa reformasi Polri belum berjalan optimal.
Dalam temuannya, Sarah Nuraini Siregar mencatat dalam 10 tahun, reformasi Polri baru sebatas instrumental dan struktural semata. Lalu, polisi juga disebut belum berubah dan belum memperlihatkan jati diri yang menghormati hak-hak sipil, serta masih terdapat oknum polisi yang tidak menggunakan pendekatan kemanusiaan. Ini adalah persoalan profesionalitas.
Selain itu, Fahmi melihat terdapat perbedaan kondisi mendasar antara Widodo Budidarmo dengan Listyo Sigit. Berbeda dengan posisi Kapolri saat ini yang memiliki peran sentral dalam memelihara ketertiban masyarakat, pada kondisi Widodo Budidarmo, Polri masih belum dipisahkan dari ABRI, sehingga fokus publik masih berada di ABRI.
Sebagai penutup, Fahmi menyebutkan Listyo Sigit perlu mendorong pengesahan Undang-Undang tentang Keamanan Nasional agar terdapat distribusi dan demarkasi yang jelas antara tugas dan peran TNI dan Polri dalam menjaga keamanan nasional. Pasalnya, kendati telah terjadi pemisahan TNI dan Polri, Fahmi masih melihat terdapat tumpang tindih atau irisan antara keduanya.
Polemik Undang-Undang Terorisme yang memasukkan TNI dalam penanganan terorisme, misalnya, disebut telah memicu ketegangan dengan Polri.
Jacqui Baker dalam tulisannya A Sibling Rivalry menyebutkan bahwa rivalitas antara TNI-Polri terjadi sejak Polri dipisahkan dari ABRI. Menurutnya, matra-matra di dalam ABRI selama ini memandang Polri sebagai “anak bungsu” yang korup dengan kapasitas dan visi yang sempit.
Baca Juga: Demonstrasi Ungkap Rivalitas TNI-Polri?
Namun sejak berpisah dari ABRI, “anak bungsu” tersebut mendadak memiliki wewenang yang besar untuk menangani ancaman-ancaman internal, seperti terorisme, kekerasan komunal, dan konflik separatis.
Hal ini kemudian memunculkan kecemburuan di tubuh TNI. Belum lagi persoalan kesejahteraan dan anggaran yang disebut belum proporsional antara TNI dan Polri. Pasalnya, kendati anggaran TNI lebih besar dari Polri, yakni Rp 137 triliun banding Rp 112 triliun, angka tersebut harus dibagi ke dalam tiga matra.
Pada akhirnya, kita dapat melihat pengangkatan Listyo Sigit dalam dua sudut pandang. Pertama, Ia mungkin adalah sosok yang tepat untuk menunjukkan komitmen Presiden Jokowi terhadap pluralisme. Kedua, kualitas Listyo Sigit akan terlihat apabila Ia mampu menyelesaikan persoalan-persoalan Polri seperti yang disebutkan oleh Fahmi. (R53)