Site icon PinterPolitik.com

Jokowi Optimis Vaksinasi di Awal 2021, Mungkinkah?

Jokowi Optimis Vaksinasi di Awal 2021, Mungkinkah

Joko Widodo (Foto: Antara)

Baru-baru ini, Presiden Jokowi dengan optimis menyebutkan bahwa vaksinasi Covid-19 dapat dilakukan di awal 2021. Namun, dengan berbagai persoalan yang menggentayangi produksi vaksin, seperti persaingan bisnis, mungkinkan Presiden Jokowi terlalu optimis atas pernyataannya?


PinterPolitik.com

Di hadapan para pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM), Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut Indonesia siap melakukan vaksinasi Covid-19 pada Januari 2021. Ia bahkan menyebut kehidupan masyarakat akan kembali normal seperti sebelum pandemi saat proses vaksinasi itu telah dilakukan.

Pernyataan Presiden Jokowi tentunya menimbulkan reaksi beragam, mengingat hingga kini belum ada satupun kandidat vaksin Covid-19 yang dinyatakan aman dan terbukti dapat melindungi manusia dari paparan virus asal Wuhan, Tiongkok, tersebut.

Sputnik V milik Rusia sejauh ini menjadi satu-satunya kandidat vaksin yang telah mencapai tahap produksi dan siap digunakan secara massal. Namun, dunia internasional meragukanvaksin tersebut lantaran dianggap belum melewati serangkaian uji klinis untuk memastikan keamanan dan efektivitasnya.

Terkait hal ini, Presiden Jokowi sebenarnya sudah pernah diingatkan untuk tidak mengumbar optimisme berlebihan. Optimsime yang terlalu vulgar dikhawatirkan membuat masyarakat lalai dalam menjalani protokol kesehatan saat grafik pertambahan kasus positif Covid-19 di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda penurunan.

Namun begitu, tidak menutup kemungkinan angin segar yang diumbar Presiden Jokowi ada benarnya. Mungkin saja kemunculan vaksin memang sudah dekat. Hal ini diperkuat dari gelagat Tiongkok yang mulai pasang label harga kendati barang yang akan dijual masih dalam tahap uji klinis.

Sikap Tiongkok yang seolah ingin selangkah di depan dalam prospek bisnis vaksin Covid-19 mau tak mau mengingatkan kita pada kecurigaan yang selama ini didengungkan oleh para penganut teori konspirasi.

Mungkinkah vaksin Covid-19 akan menjadi ajang cari untung? Adakah motif ekonomi yang bersembunyi di balik pandemi ini? Jika benar terdapat terdapat persoalan ekonomi tersebut, mungkinkan optimisme Presiden Jokowi untuk melakukan vaksinasi di awal 2021 terwujud ?

Untuk Cari Untung?

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendorong negara-negara di dunia agar membuat kesepakatan bersama untuk memastikan vaksin Covid-19 tersedia bagi semua orang. WHO tak ingin distribusi vaksin global terganggu oleh praktik nasionalisasi vaksin.

Kekhawatiran WHO ini nyatanya juga diungkapkan oleh Jürgen Wasem, seorang Profesor Manajemen Pelayanan Kesehatan dari Universitas Duisburg-Essen, Jerman.

Dalam sebuah tulisan yang berjudul Coronavirus Vaccine: Where Profit and Public Health Collide, Jürgen menyebut hingga kini belum ada aturan internasional yang dapat memastikan vaksin Covid-19 dapat didistribusikan secara merata ke seluruh dunia.

Tak bisa dipungkiri, saat ini memang usaha umat manusia untuk menemukan vaksin Covid-19 sepenuhnya bergantung kepada para produsen obat-obatan kaliber dunia. Bekerja sama dengan banyak produsen yang lebih kecil, mereka telah mengembangkan lebih dari 170 calon vaksin Covid-19.

Rasionalnya, jika memang vaksin adalah cara tercepat untuk mengakhiri pandemi ini, maka akan lebih baik jika semua orang diberikan kemudahan untuk mengaksesnya. Lalu pertanyaannya, mungkinkah akses terhadap vaksin Covid-19 dibuka seluas-luasnya bagi semua orang atas nama kemanusiaan?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu memahami dulu apa yang disebut dengan teori ekonomi perilaku. Alan Samson dalam tulisannya An Introduction to Behavioral Economics menyebut agen-agen ekonomi memandang putusan rasional sebagai hal yang menguntungkan bagi diri mereka sendiri.

Berangkat dari sini, maka dapat dikatakan, berlakunya prinsip-prinsip ekonomi, terutama terkait untung-rugi dalam pencarian vaksin Covid-19 justru merupakan sesuatu yang sangat lumrah.

Keterlibatan pihak-pihak swasta dalam pengembangan vaksin juga membuat ranah ini semakin tak bisa dilepaskan dari prinsip-prinsip ekonomi. Ditambah lagi, riset pengembangan obat-obatan biasanya juga dipengaruhi oleh pasar. Hal ini, mau tak mau akan berdampak pada ketidakmerataan distribusi vaksin.

Pesimisme Jürgen terkait vaksin yang tersedia untuk semua orang juga berkaca dari rekam jejak para produsen yang tengah mengembangkan vaksin. Menurutnya, raksasa-raksasa farmasi itu tak memiliki pengalaman yang bagus dalam mengembangkan obat-obatan yang tersedia bagi semua pihak.

Belum lagi kebiasaan mereka yang selalu berusaha menjaga pasokan vaksin tetap rendah untuk mencapai harga pasar yang lebih tinggi, membuat apa yang dicita-citakan WHO semakin sulit untuk dicapai.  Jürgen memprediksi negara-negara Eropa, Amerika Serikat (AS), dan Jepang adalah yang akan mendapatkan prioritas karena secara umum mampu membeli vaksin dengan harga tinggi.

Solidaritas Mekanis

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres sempat menyinggung soal absennya kerja sama internasional dalam penanganan pandemi Covid-19.

Dia mengatakan untuk mengalahkan pandemi, semua negara harus bekerja sama dan berbagi informasi terkait testing, perawatan pasien, hingga riset pengembangan vaksin. Ia bahkan menyebut situasi pandemi saat ini merupakan krisis dunia paling besar sejak Perang Dunia II.

Sependapat dengan Antonio, Yuval Noah Harari, penulis Sapiens dan Homo Deus,  memandang pesimis penanganan pandemi Covid-19 karena absennya solidaritas global. Dia menyebut umat manusia sebenarnya memiliki ilmu dan sumber daya yang cukup untuk menghadapi pandemi.

Namun demikian, dalam bencana berskala global ini, tiap-tiap negara masih bekerja sendiri-sendiri, egois, bahkan saling curiga. Hal inilah yang membuat upaya yang telah dilakukan untuk menangani pandemi tak berarti signifikan.

Pernyataan Antonio dan Yuval itu dapat didalami lebih jauh melalui teori yang pernah dikemukakan Emile Durkheim terkait solidaritas sosial. Durkheim membagi solidaritas ke dalam dua jenis, yaitu solidaritas mekanis dan organis.

Dalam tatanan solidaritas mekanis, masyarakat bersatu padu karena semua orang adalah generalis. Ikatan dalam masyaraat terjadi karena terlibat oleh aktivitas dan tanggung jawab yang sama. Sebaliknya, masyarakat dalam bingkai solidaritas organis bersatu karena adanya perbedaan dan tanggung jawab.

Mengacu pada teori Durkheim itu, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa saat ini lebih dunia membutuhkan kesadaran solidaritas yang lebih bersifat mekanis dalam menghadapi pandemi Covid-19.

Meski faktanya latar belakang dan identitas masyarakat dunia tak bisa disamaratakan, akan tetapi dengan membangun kesadaran kolektif bahwa kita tengah menghadapi ancaman yang sama, memiliki tanggung jawab yang sama untuk mematuhi protokol kesehatan, dan memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses vaksin, maka pemikiran itu akan berkembang menjadi gelombang solidaritas yang besar dalam rangka mewujudkan cita-cita melawan Covid-19.

Dalam konteks penanganan Covid-19 di dalam negeri, Indonesia memang sudah menjalin kerja sama dengan berbagai negara. Tiongkok, bisa dibilang menjadi mitra Indonesia yang paling intens dalam upaya pengadaan vaksin.

Kandidat vaksin buatan produsen negeri Tirai Bambu, Sinovac, juga tengah menjalani uji klinis fase ketiga di Bandung, Jawa Barat. Vaksin ini yang digadang-gadang akan digunakan di Indonesia.

Meski pandemi Covid-19 termasuk bencana kemanusiaan, namun tak bisa dipungkiri, upaya penemuan vaksin, merupakan aktivitas bisnis. Dengan tingkat penyebaran virus yang sudah mencakup seluruh wilayah di dunia, potensi keuntungan dari produksi vaksin ini tentu sangat besar.

Pada akhirnya, kita mungkin dapat menarik kesimpulan, jika benar terdapat persoalan bisnis vaksin yang membuat solidaritas global sulit terjadi, kemungkinan besar itu menjadi penghambat terbesar optimisme Presiden Jokowi untuk melakukan vaksinasi Covid-19 di awal 2021 nanti. Akan tetapi, tentu kita berharap agar vaksin yang baik dan aman dapat diperoleh secepatnya agar pandemi Covid-19 lekas berlalu. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version