“Cara mengukur seseorang adalah dengan melihat apa yang ia lakukan dengan kekuasaannya.” ~ Plato
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]D[/dropcap]ari seorang pengusaha biasa di Kota Surakarta, Joko Widodo (Jokowi) tiba-tiba muncul menjadi sosoknya yang langsung melejit hingga ke jabatan Presiden. Awalnya, tidak sedikit yang meragukan kepemimpinan mantan Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta ini. Begitupun di awal-awal kepemimpinannya sebagai kepala negara.
Kini, setelah tiga tahun menjabat, berbagai survei memperlihatkan tingkat kepercayaan yang tinggi akan pemerintahannya. Program kerjanya yang lebih menitikberatkan pada pembangunan infrastruktur di kawasan luar Jawa, menghasilkan keyakinan dalam hati masyarakat bahwa Jokowi mampu menyejahterakan mereka.
(Baca juga: Survei Gallup, Kekuatan Jokowi?)
Sebagai seorang presiden dari kalangan sipil, Jokowi selalu dianggap sebagai presiden terlemah sepanjang sejarah, setelah Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Namun belakangan, anggapan ini perlahan mulai dipertanyakan. Benarkah Jokowi selemah itu? Bila iya, mengapa pihak oposisi tidak mampu mengguncangkan posisinya?
Sebaliknya, TNI/Polri beserta purnawirawannya, begitu juga para pengusaha Indonesia maupun keturunan Tionghoa di negeri ini, malah berlomba-lomba mendukung pemerintahannya. Tak sedikit pula yang menyatakan dukungannya pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 nanti. Seberapa besar kekuatan Jokowi yang sesungguhnya?
Berguru Pada Soeharto
“Kalau kamu ingin menjadi pribadi yang maju, kamu harus pandai mengenal apa yang terjadi, pandai melihat, pandai mendengar, dan pandai menganalisis.” ~ Soeharto
Sosok Jokowi tentu saja tidak bisa disamakan begitu saja dengan Soeharto, presiden kedua negeri ini. Namun sebagai sesama orang Solo, Jokowi sepertinya belajar banyak pada sang smiling general – penguasa Orde Baru (Orba). Dari bagaimana bersikap menghadapi kritik, menyerang lawan dalam diam, hingga permainan simbol yang kerap dilakukan Jokowi, sebagian besar juga dilakukan oleh Soeharto sebelumnya.
Dalam menangani kelompok oposisi, Jokowi juga terkesan lebih banyak bersikap antisipatif, bahkan cenderung represif. Keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Organisasi Massa (Ormas) yang saat ini masih bergulir di DPR, juga merupakan salah satu sikap tegas Jokowi dalam menangkis serangan Islam radikal yang berseberangan dengan dirinya.
(Baca juga: Politik “Gebuk” Jokowi)
Begitu pun dalam mengelola negara, Jokowi nyaris sejalan dengan Soeharto yang menitikberatkan pada pembangunan. Namun Jokowi seakan ingin melengkapi, karena lebih banyak berfokus pada pembangunan infrastruktur di wilayah luar Jawa. Terutama bagian timur Indonesia yang selama masa Orba seakan dilupakan dan diabaikan.
Bedanya, di era Soeharto, oligarki keluarga melalui kolusi dan nepotisme sangat kuat. Termasuk dikalangan militer. Bisnis militer di era Orba begitu berkuasa hingga nyaris berada di segala lini. Militer bahkan menjadi pintu masuk bagi mereka yang ingin mendapatkan kuasa di pemerintahan sipil.
Sementara di era reformasi, kekuatan militer yang dulu dikenal sebagai Dwi Fungsi ABRI kini telah dihapuskan. Kekuasaan militer dikembalikan ke barak, lembaga TNI dan Polisi pun dipisah sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Sehingga oligarki bisnis militer pun perlahan-lahan dilemahkan.
The Rise of Capital
“Kapital memiliki hak-haknya dan semua itu juga berguna untuk memproteksi berbagai hak lainnya.” ~ Abraham Lincoln
Menurut Richard Robinson dalam bukunya, “Indonesia: The Rise of Capital” yang diterbitkan pada 1986, mengatakan bahwa kekuatan utama Orba adalah membangkitkan empat modal domestik utama. Modal yang dipakai oleh Soeharto adalah kekuasaan Konglomerat Tionghoa, Konglomerat Pribumi, BUMN, dan Bisnis Militer.
Melalui keempat unsur ini, Soeharto mampu mengamankan kekuasaan hingga 32 tahun lamanya. Namun ketika terjadi krisis ekonomi di tahun 1997, kekuatan modal domestik ini ikut mengalami masa sulit. Masuknya Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan memangkas semua fasilitas dan proteksi keempat modal tersebut.
Saat reformasi terjadi, perekonomian Indonesia dikuasai oleh beberapa elit, sehingga menyuburkan kembali oligarki. Namun kebijakan privatisasi dan liberalisasi yang membuka akses seluas-luasnya bagi modal asing untuk masuk ke Indonesia, menekan kekuatan modal domestik – termasuk sektor-sektor usaha milik negara yang sebelumnya dipegang BUMN.
Ketika tampuk kekuasaan beralih ke Jokowi, kekuatan keempat modal domestik ini seakan mendapatkan ruangnya kembali. Melalui berbagai kebijakan dan pendekatan yang dilakukan, Jokowi terkesan ingin membangkitkan kekuatan keempat unsur domestik ini sebagai kekuatan penopangnya di Pilpres 2019 nanti. Bagaimana ia melakukannya?
Bangkitnya Kekuatan Jokowi
“Lebih baik berjualan dawet dengan dipikul sambil bernyanyi-nyanyi (tanpa beban) dari pada naik mobil Mercy tetapi bersedih hati dan menangis.” ~ Jokowi
Sebagai sosok pemimpin sipil yang terlepas dari pengaruh oligarki para elit, Jokowi memberikan banyak harapan akan adanya pembaharuan dari masyarakat. Harapan ini dijawab oleh Jokowi dengan mempermudah birokrasi dan regulasi yang selama ini mencekik serta menyusahkan rakyat, termasuk pengusaha.
Pengaruhnya, dunia usaha Indonesia mampu berkembang dengan baik. Ini terbukti dengan meningkatnya daya saing ekspor Indonesia di luar negeri. Tingkat kepercayaan investasi pun ikut naik karena para investor tidak lagi dipersulit dengan berbagai izin yang rumit dan berbelit-belit.
Siapa yang diuntungkan dengan sepak terjangnya ini? Tentu saja para pengusaha, baik itu konglomerat pribumi maupun keturunan Tionghoa. Semua mengaku gembira. Apalagi Jokowi juga menjamin para pengusaha, baik pribumi maupun Tionghoa, akan keamanan berinvestasi dan berusaha di Indonesia.
(Baca juga: Daya Beli Turun, Kadin Dukung Jokowi?)
Peran pemerintah yang memberikan ruang usaha sebesar-besarnya pada pengusaha inilah yang membuat mereka, termasuk para konglomerat – baik pribumi maupun Tionghoa, mengakui kepemimpinan Jokowi. Bahkan Kamar Dagang Indonesia (Kadin) dan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) pun telah menjanjikan dukungannya di Pilpres 2019 nanti.
Dukungan ini tentu bermakna besar bagi Jokowi, mengapa? Karena keduanya adalah modal domestik utama yang dibutuhkan dirinya untuk dapat memenangkan pertarungan di Pilpres nanti. Jaminan dukungan para pengusaha, juga menjadi pilar penopang baginya dalam menjaga kestabilan perekonomian negara.
Untuk menjamin keberhasilan pembangunan infrastruktur yang menjadi prioritas utama pemerintahannya, Jokowi pun memberikan peluang sebesar-besarnya bagi BUMN untuk melakukan kerjasama dengan investor swasta maupun asing. Bisa dibilang, porsi usaha yang diberikan pada BUMN di era Jokowi adalah yang terbesar dari yang pernah ada.
Tak lupa, Jokowi pun sengaja menempatkan orang-orang kepercayaannya di berbagai perusahaan BUMN yang dianggap strategis, guna menjamin keberlangsungan pembangunan dan keberhasilan program kerjanya. Hasilnya, BUMN sebagai modal domestik ketiga berhasil dikuasai Jokowi tanpa kesulitan yang berarti.
Lalu bagaimana dengan militer? Diamputasinya kekuatan militer dalam berpolitik, sedikit banyak membuat TNI kehilangan kekuatan di wilayah sipil. Namun bukan berarti peranan militer telah dinihilkan sama sekali. Karena bagaimana pun, kekuatan yang dimiliki konglomerasi tidak akan lepas dari kekuatan bedil di sampingnya.
Kenyataan ini pun tidak lepas dari pantauan Jokowi. Sebagai panglima tertinggi, ia memanfaatkan posisi ini dengan sebaik-baiknya. Lihat saja sepak terjang Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan Kapolri Tito Karnavian yang belakangan sempat menggemparkan karena kedua jenderal ini diduga tengah bermain-main dengan politik aktif.
(Baca juga: Teknokrasi Militer Ala Jokowi)
Dari berbagai sepak terjangnya, baik Gatot maupun Tito memang terlihat ‘nakal’ karena menyeberang dari apa yang Jokowi perintahkan. Namun apakah tindakan ini memang lepas dari pantauan Jokowi? Karena sebetulnya, sikap mereka yang mendekat ke kelompok-kelompok berseberangan inilah, Jokowi malah mampu menguasai keadaan.
Tanpa disadari masyarakat, Jokowi sebenarnya memberikan ruang bagi Gatot maupun Tito untuk berperan sebagai kekuatan domestiknya yang utama, yaitu militer. Dengan kesetiaan Panglima TNI dan Kapolri di tangannya, Jokowi akan mampu meredam segala ancaman yang datang dari pihak-pihak berseberangan. Cerdik bukan?
Jokowi memang tidak bisa dibandingkan dengan Soeharto, sebab keduanya menggunakan kekuasaan dengan cara yang berbeda. Namun sangat jelas kekuatan Jokowi saat ini, nyaris mirip dengan yang Soeharto pernah miliki. Sehingga akan sulit bagi oposisi, bahkan Prabowo Subianto sekalipun, untuk menandingi.
Bila Jokowi mampu mempertahankan keempat modal domestiknya ini di Pilpres nanti, bisa dipastikan, ia akan menjadi the new Soeharto pada lima tahun keduanya. Dengan versi yang lebih baik tentunya, semoga saja! (R24)