Site icon PinterPolitik.com

Jokowi Bela Napi Korupsi Nyaleg?

Jokowi menganggap bahwa menjadi caleg adalah hak politik seseorang termasuk mantan napi korupsi. (Foto: AP)

“Kalau saya, itu hak. Hak seseorang berpolitik.” – Jokowi, tentang larangan napi korupsi jadi caleg.


PinterPolitik.com

[dropcap]K[/dropcap]oruptor memang selalu bikin kesal. Tak tahu jera atau rasa bersalah, mereka kerapkali percaya diri untuk kembali jadi pejabat publik setelah lepas dari hukuman. Memang, ada orang yang bisa bertaubat atau menyesal. Tetapi apakah masyarakat masih bisa percaya eks napi korupsi?

Rasa kesal itu tampaknya dirasakan juga oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Panitia gelaran pesta demokrasi ini berencana membuat aturan yang melarang mantan napi korupsi untuk dapat menjadi caleg di Pemilu 2019 nanti.

Sayang, tidak semua orang sepakat dengan rencana  KPU tersebut. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi salah satu pihak yang tidak seirama dengan KPU. Menurutnya, mantan napi korupsi tetap memiliki hak untuk menjadi caleg. Orang nomor satu tersebut meminta KPU untuk menelaah kembali rancangan peraturan tersebut.

Jokowi tergolong tidak terlalu sering memberikan pernyataan khusus terhadap isu-isu yang tengah berkembang. Lantas, mengapa ia harus mengeluarkan pernyataan demikian soal napi korupsi? Lalu benarkah mantan pelaku rasuah tetap memiliki hak untuk menjadi caleg?

Melarang Koruptor Nyaleg

KPU tergolong kukuh dalam mempertahankan larangan pencalonan bagi mantan terpidana kasus rasuah. Tidak sekali saja mereka dihantam kritik akibat rencana aturan tersebut. Meski begitu, mereka tetap jalan terus dengan pendirian mereka.

Di mata KPU, ada kekosongan hukum yang terjadi dalam UU Pemilu. KPU menilai bahwa mereka memiliki kewenangan untuk memberikan tafsiran terhadap UU yang telah ada. Oleh karena itu, mereka memperluas kejahatan luar biasa, dari hanya narkoba dan kejahatan seksual, kini meliputi juga korupsi.

Rencana KPU tersebut disambut baik oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). Menurut mereka, urgensi larangan tersebut berasal dari maraknya residivis korupsi yang kembali mengulang kesalahannya ketika kembali menjadi pejabat publik. Mereka mencatat setidaknya ada tiga orang residivis korupsi tersebut, yaitu Bupati Hulu Sungai Tengah Abdul Latif, Ketua DPRD Jawa Timur Mochammad Basuki, dan Ketua KONI Samarinda Aidil Fitra.

Masyarakat umum juga tampaknya antusias dengan rencana KPU tersebut. Hal ini ditunjukkan melalui laman petisi online change.org/koruptorkoknyaleg. Pada petisi yang digagas oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih itu, sebanyak 77 ribu orang sepakat dengan wacana KPU melarang napi korupsi menjadi caleg.

Meski disambut baik kalangan masyarakat umum dan kalangan aktivis, nampaknya rencana KPU tersebut ditentang oleh banyak pihak lain. DPR, Pemerintah, dan Bawaslu menjadi pihak yang tidak setuju dengan rencana KPU. Umumnya, mereka mengambil titik tekan pada aturan perundang-undangan dalam hal ini UU Pemilu.

Selain soal peraturan perundang-undangan, alasan penolakan peraturan KPU tersebut umumnya berkisar tentang hak politik. Jokowi menjadi salah satu pihak yang menggunakan alasan hak tersebut. Bagi Jokowi, menjadi caleg adalah hak berpolitik. Ia mengusulkan langkah lain kepada KPU, yaitu mantan napi korupsi boleh ikut pemilu tetapi diberi tanda bahwa mereka pernah terjerat perkara korupsi.

Perkara Hak Napi Korupsi

Lalu benarkah napi korupsi tetap memiliki hak untuk melaju dalam sebuah pemilihan? Sulit untuk benar-benar menemukan formula yang seratus persen pas untuk kondisi ini. Perkara hak merupakan perkara yang sangat asasi bagi manusia, terutama hak politik.

Pentingnya hak politik ini dikemukakan oleh banyak pihak. Di dalam Pernyataan Umum tentang Hak-hak Asasi Manusia misalnya, dijelaskan bahwa semua orang memiliki hak untuk ambil bagian dalam pemerintahan negara mereka. Hak politik menjadi salah satu hak paling fundamental dalam HAM.

Hak politik ini menjadi hal utama dalam gagasan liberal tentang kesetaraan. Menurut John Locke, kesetaraan berarti setiap orang tidak dapat menjadi subyek dari keinginan orang lain tanpa persetujuaannya. Kesetaraan juga menjadi premis utama dari kebebasan politik yang dikemukakan oleh John Rawls.

Pencabutan hak politik para napi korupsi dapat dipandang sebagai jalan untuk menghilangkan kesetaraan tersebut. Melalui peraturan itu, seolah ada pembagian warga negara kelas satu dan kelas dua, yaitu mereka yang bisa melaju dalam pemilu dan mereka yang tidak bisa.

Meski demikian, ada justifikasi liberal lain yang menganggap bahwa pencabutan hak politik dapat berlaku bagi para pelanggar hukum. Salah satu alasan utama pencabutan hak tersebut adalah bahwa pelanggar hukum tersebut telah melanggar kontrak sosial.

Jean-Jacques Rosseau misalnya mengungkapkan bahwa setiap penjahat bagi hak-hak sosial menjadi pengkhianat bagi tanah air mereka. Dengan melanggar hukum, mereka bukan lagi bagian dari negara, bahkan menyatakan perang terhadapnya. Mereka telah melanggar perjanjian sosial sehingga mereka bukan lagi anggota negara.

Menurut Charles de Montesquieu, kebebasan menjadi sempurna ketika hukum kriminal berasal dari asal-usul kejahatan itu sendiri. Oleh karena itu, untuk kejahatan politik seperti korupsi maka hukuman politik pulalah yang tepat menjadi ganjarannya. Pengambilan hak dipilih dapat menjadi salah satu contoh dari hukuman politik bagi para pelaku rasuah.

Berdasarkan kondisi tersebut, maka sah-sah saja jika negara ingin menarik hak mantan napi korupsi untuk menjadi caleg. Napi korupsi sejak awal telah menyatakan perang terhadap negara dengan melanggar hukum. Secara filosofis, mereka telah melanggar kontrak sosial sehingga tidak lagi memiliki hak dalam kontrak tersebut, termasuk hak berpolitik.

Oleh karena itu, pandangan Jokowi bahwa seorang mantan napi korupsi masih memiliki hak untuk dipilih, tidak sepenuhnya tepat dipandang dari kaca mata kontrak sosial. Hukuman politik berupa pencabutan hak dipilih dapat menjadi sanksi yang tepat bagi pelanggar kontrak tersebut.

Para Penentang KPU

Cukup aneh jika seorang Jokowi harus memberi pernyataan bahwa menjadi caleg adalah hak bagi siapapun. Mantan wali kota Solo tersebut seperti menyejajarkan diri dengan sejumlah pihak yang menentang rencana KPU tersebut.

Jika diperhatikan, ada dua partai besar yang tidak setuju dengan rencana pelarangan eks napi korupsi menjadi peserta Pemilu. Partai Golkar dan PDIP memiliki pandangan yang berseberangan dengan KPU -dan kebanyakan orang- tentang pelarangan tersebut.

Kedua partai ini memiliki alasan khusus dalam menentang rencana KPU. Golkar berpandangan bahwa idealnya KPU berkaca pada UU Pemilu sebelum membuat peraturan. Sementara itu, PDIP berpandangan bahwa hak para mantan napi korupsi untuk dicalonkan dan mencalonkan diri dijamin di dalam konstitusi.

Jika merujuk pada statistik, sikap dari dua partai nasionalis tersebut bisa dikatakan rasional. Berdasarkan data tahun 2017, dua partai besar ini adalah penyumbang utama tersangka korupsi yang menjadi tahanan KPK. Sepanjang tahun 2014 hingga 2017, ada 9 kader Golkar dan 7 kader PDIP yang diciduk KPK. Peraturan yang dibuat KPU itu bisa menjadi sandungan bagi mereka, jika ingin memajukan figur sentral di partai, namun yang bersangkutan pernah tersandung perkara korupsi.

Di atas kertas, sikap Jokowi yang sama dengan Golkar dan PDIP memang tergolong wajar. Kedua partai ini menjadi pendukung utama pemerintahan saat ini dan proses pencapresan Jokowi nanti. Berbeda pandangan dengan kedua partai ini bisa berbuah petaka jika mereka tiba-tiba mencabut dukungan dari Jokowi.

Meski begitu, sebagai orang yang identik dengan politik yang santun, Jokowi harus menekankan kembali komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Dalam konteks ini, bersikap terlalu mirip dengan Golkar dan PDIP dapat mencederai usahanya dalam pemberantasan korupsi.

Untuk menunjukkan komitmennya dalam pemberantasan korupsi, idealnya Jokowi bersikap tegas bahwa pelaku rasuah tidak boleh menjadi caleg. Hal ini dikarenakan, secara filosofis para koruptor tersebut telah melanggar kontrak sosial dengan negara, sehingga tidak layak disetarakan statusnya dengan masyarakat lain yang taat hukum. (H33)

Exit mobile version