Tidak seperti di periode pertama, saat ini berbagai isu justru menggerus citra Presiden Jokowi, bahkan sejak sebelum pelantikannya. Apakah mantan Wali Kota Solo ini menjadi lame-duck president?
“I think we imagine that presidents have powers that they don’t actually have.” – Joel Achenbach, dalam Obama doesn’t have as much power as you think
Pada 28-29 Juni (24 jam), PinterPolitik membuat polling atau jajak pendapat di Instagram @pinterpolitik dengan tajuk “Jika Presiden boleh 3 periode. Kamu pilih siapa?”. Ada dua pilihan yang disediakan, yakni Joko Widodo (Jokowi) dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pemilihan keduanya tentu karena masih hidup dan sudah terpilih di dua periode.
Hasilnya menunjukkan gap suara yang lebar. Dari 18,2 ribu suara, 13.351 (73 persen) memilih SBY, dan 4.934 (27 persen) memilih Jokowi. Di kolom komentar juga dibanjiri banyak dukungan terhadap SBY yang sekarang menjadi Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat.
Namun tentu harus digarisbawahi, polling yang dilakukan PinterPolitik hanya merupakan gambaran dan tidak memiliki pertanggung jawaban ilmiah. Sekalipun demikian, hasil polling tersebut dapat memberi satu kesimpulan menarik, yakni citra SBY tampaknya dinilai lebih baik dari Jokowi.
Baca Juga: Manajemen Isu, SBY Ungguli Jokowi?
Indikasi ini juga dapat dilihat dari berbagai diskursus di media sosial dan media massa. Tidak sedikit pihak yang membandingkan masa pemerintahan SBY dengan Jokowi, khususnya di aspek penegakan demokrasi.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, misalnya, menyebut indeks demokrasi Indonesia masuk kategori negara tidak cukup bebas (half free) sejak 2014 sampai 2019.
Laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) juga jamak dirujuk sebagai data perbandingan. Tidak hanya terdapat tren penurunan, indeks demokrasi Indonesia pada 2020 bahkan mencatat skor terendah dalam 14 tahun terakhir.
Lantas, jika merujuk pada kasus penurunan citra dan tidak dikeluarkannya Perppu untuk membatalkan revisi UU KPK karena besarnya tekanan dari partai politik (parpol), apakah itu menunjukkan Presiden Jokowi telah menjadi lame-duck?
Kutukan Periode Kedua
Seminggu sebelum pelantikan Jokowi-Ma’ruf pada 14 Oktober 2019, Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan prediksi yang tidak mengenakkan. Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Donal Fariz menyebutkan Presiden Jokowi dapat mengalami second-term curse atau kutukan periode kedua.
Menurut Donal, kutukan tersebut juga menimpa SBY di periode keduanya. Saat itu, SBY disibukkan dengan proses hukum dan politik yang belum selesai di periode pertamanya. Konteks itu dinilai akan menimpa Presiden Jokowi.
Bagaikan nubuat, prediksi Donal seolah menemui afirmasinya. Gejolak demi gejolak terus menghantam pemerintahan Jokowi. Mulai dari demonstrasi penolakan revisi UU KPK, kasus Harun Masiku, pandemi Covid-19, demonstrasi UU Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker), hingga persoalan ekonomi.
Persoalan tersebut selaras dengan tulisan Colleen J. Shogan yang berjudul The Contemporary Presidency ketika menyebutkan periode kedua seorang presiden biasanya dipenuhi oleh berbagai gejala bermasalah.
Baca Juga: Jokowi Memimpin Sampai 2027?
Biasanya, di periode kedua dinilai menjadi periode waktu yang membebaskan presiden dari berbagai beban politik karena menyediakan ruang bagi agenda-agenda kebijakan yang berani. Konteks tersebut terlihat dari beberapa kebijakan Presiden Jokowi yang terkesan anti-populis, seperti pembubaran FPI, revisi UU KPK dan UU Ciptaker.
Kendati demikian, kutukan periode kedua disebut-sebut juga dapat menghantui seorang presiden dalam periode lanjutannya. Istilah ini kerap digunakan untuk menggambarkan menurunnya performa seorang presiden dalam menjalankan pemerintahan di periode keduanya. Ini kemudian membuat tingkat kepercayaan publik (approval rating) terhadap seorang presiden menurun drastis.
Ari Saphiro dalam tulisannya Is There Really a Second-Term Curse?, dengan mengutip Donna Hoffman dari University of Northern Iowa, menjelaskan beberapa alasan yang membuat periode kedua seorang presiden bermasalah.
Hoffman menilai para politisi di lembaga legislatif mulai mengabaikan kekuatan presiden yang menjabat dalam periode kedua, termasuk partai pemerintah sendiri. Jika itu terjadi, ini menjadi momen bagi partai oposisi untuk semakin berupaya mengupas dan mencari kesalahan yang dimiliki oleh eksekutif.
Presiden AS Barack Obama, misalnya, dianggap sebagai presiden yang gagal oleh Partai Republik dengan munculnya berbagai polemik atas kebijakan pemerintahannya.
Nah, jika benar Presiden Jokowi tengah mengalami kutukan periode kedua, ini dapat membuatnya masuk dalam kategori lame-duck president atau presiden bebek lumpuh.
Lame-duck
Istilah ini merujuk pada presiden yang mulai kehilangan kuasanya. Biasanya terjadi di periode kedua pemerintahan. Salah satu contoh presiden yang mengalaminya adalah Presiden AS, Barack Obama.
Pada 19 Mei 2019, South China Morning Post (SCMP) mempublikasikan tulisan Resty Woro Yuniar yang berjudul Indonesian President Jokowi’s Second Term: Free as a Bird or a Lame-Duck President?.
Yuniar memberikan pertanyaan menarik, “Apakah di periode kedua kepemimpinannya, sang presiden akan menjadi presiden bebas (berkuasa) atau justru menjadi presiden lame-duck (tidak berkuasa)?”
Mengutip analisis dari Kevin O’Rourke, Yuniar menjelaskan pada periode pertama kepemimpinannya, Presiden Jokowi disibukkan dengan upaya untuk mengamankan konsensus dukungan dari kalangan para elite politik. Kini, para elite tersebut akan mencari “hadiah” mereka sebagai pertukaran atas dukungan politik.
Analisis tersebut sejujurnya tidak mengejutkan. Pasalnya, fenomena spoils system memang lumrah dilakukan di Indonesia. Spoils system sendiri adalah sistem di mana pemenang pemilu memberikan posisi kepada pendukungnya sebagai hadiah. Selain sebagai insentif, pemberian posisi juga ditujukan sebagai garansi kesetiaan.
Baca Juga: Jokowi Terjebak dalam Vetokrasi?
Istilah ini berasal dari frasa “to the victor belong the spoils” yang diungkapkan Gubernur New York, AS William L. Marcy ketika mengomentari kemenangan Andrew Jackson di Pilpres AS 1829.
Meskipun terdengar baik, Kathy Sawyer dalam tulisannya Spoils System Evils Echo In Debate on Civil Service menyibak sisi negatif spoils system karena berkonsekuensi pada rendahnya akuntabilitas dan kontrol politik, serta tingkat penyalahgunaan kekuasaan.
Tidak seperti tujuannya sebagai garansi kesetiaan, spoils system kerap kali menjadi jebakan tersendiri bagi pemimpin yang terpilih. Pasalnya, dengan mahalnya biaya politik, kandidat yang berlaga membutuhkan sokongan logistik dari pihak ketiga. Alhasil, itu membuat pembagian kursi lebih cocok disebut sebagai praktik membayar utang.
Seperti yang disebutkan Sawyer, karena praktiknya seperti membayar utang, ini membuat presiden tidak memiliki kontrol yang kuat terhadap pejabat-pejabat yang dipilihnya. Presiden tersandera berbagai kepentingan, khususnya dari parpol dan pemberi bantuan logistik.
Barisan Relawan Nusantara (Baranusa) yang menjadi bagian kelompok relawan pendukung Jokowi-Ma’ruf di Pilpres 2019 juga pernah menegaskan hal ini. Menurut Ketua Umum Baranusa, Adi Kurniawan, pembentukan kabinet yang tidak bebas karena terbelenggu kepentingan parpol merupakan salah satu alasan mengapa pihaknya ragu visi “Indonesia Maju” dapat terwujud.
Re-definisi Lame-duck
Mengacu pada konteks-konteks yang ada, mungkin dapat disimpulkan bahwa Presiden Jokowi tengah menunjukkan tanda-tanda menjadi lame-duck. Namun, tampaknya perlu ada re-definisi atas apa yang disebut sebagai lame-duck.
Lame-duck yang pada dasarnya satu paket dengan kutukan periode kedua, sebenarnya tidak dapat dipahami sebagai berkurangnya kuasa presiden, melainkan fenomena ketika presiden mulai ditinggalkan oleh benteng-bentengnya selama ini.
Mengacu pada penjelasan spoils system sebelumnya, di mana politik tidak ubahnya seperti aktivitas ekonomi, ini membuat para pendukung dalam politik cenderung bersifat partisan. Mereka akan mencari kapal-kapal baru agar tetap bisa berlayar karena kapal yang sedang ditumpangi sebentar lagi akan berlabuh.
Konteks itu sebenarnya yang menghinggapi berbagai presiden, mulai dari Obama, SBY, dan Jokowi. Tidak seperti di periode pertama, di mana mantan Wali Kota Solo tersebut masih memiliki kesempatan memimpin, di periode kedua ini berbagai pihak mulai mencari proyeksi tunggangan baru.
Baca Juga: Tiga Periode, Mitos Suara Rakyat?
Indikasinya jelas terlihat dalam berbagai survei kandidat untuk Pilpres 2024. Coba bayangkan, berbagai survei tersebut bahkan sudah ada sejak awal-awal pelantikan Jokowi-Ma’ruf di 2019. Tidak peduli ada pandemi Covid-19 atau gejolak ekonomi, survei-survei proyeksi RI-1 nyatanya tetap bermunculan.
Mengacu pada sejarawan AS, Arthur Schlesinger Jr. yang menyebut televisi dan lembaga survei sebagai electronic manipulators, dilemparnya survei-survei tersebut adalah upaya pengondisian persepsi publik. Mereka, pihak-pihak yang berkepentingan tengah melakukan “tes ombak” untuk melihat kapal mana yang paling potensial.
Well, pada akhirnya, fenomena yang menimpa Presiden Jokowi saat ini tergambar dari pernyataan Joel Achenbach di awal tulisan. Seorang presiden sebenarnya tidak memiliki kuasa sebesar yang kerap kita pikirkan selama ini. (R53)