Banyak media menyoroti Presiden Xi Jinping yang disebut “menghilang” dari hadapan publik dan pemberitaan setelah merebaknya virus corona. Beberapa pihak bahkan memprediksi Presiden Xi akan menghadapi tekanan publik dan ketidakpercayaan masyarakat jika tak mampu mengatasi krisis akibat virus corona, sekalipun dirinya telah menjadi pemimpin Tiongkok seumur hidup. Dalam nuansa serupa, nyatanya hal tersebut juga menimpa Presiden Jokowi. Pasalnya, Indonesia dituduh tak mampu mendeteksi penyebaran virus corona karena belum juga ditemukan satu kasus pun dalam beberapa waktu terakhir.
PinterPolitik.com
“Speak softly and carry a big stick; you will go far”.
:: Theodore Roosevelt (1858-1919), Presiden ke-26 Amerika Serikat ::
“Where is Xi?” Itulah tajuk yang diturunkan oleh salah satu media kenamaan Amerika Serikat (AS), The New York Times. Bukan tanpa alasan pertanyaan tersebut muncul. Pasalnya, memang Presiden Tiongkok Xi Jinping tak banyak terlihat memberikan pernyataan terkait persoalan virus corona yang kini tengah menimpa negara tersebut.
Xi diketahui baru muncul sehari yang lalu di Chinese Center for Disease Control and Prevention dan memberikan pernyataan terbuka terkait krisis yang tengah dihadapinya negara tersebut.
Sebelumnya, sehari jelang liburan Imlek, Xi sempat memberikan sambutan di Great Hall of The People alias Balai Agung Rakyat yang terletak di ujung barat lapangan Tiananmen di Beijing. Dalam sambutannya ia menyebutkan bahwa setiap orang dalam masyarakat Tiongkok harus merasa bangga hidup di era kebesaran Tiongkok saat ini.
Ia juga menambahkan bahwa “tak ada badai dan halangan berarti yang akan menghambat Tiongkok untuk terus menjadi negara yang besar”. Mungkin kata-kata itu harus sejenak ditarik jika melihat kasus virus corona yang saat ini terjadi di Tiongkok, yang mungkin membuat banyak warga negara tersebut “menyesal” hidup di era sekarang ini.
Hingga tulisan ini dibuat, virus corona diketahui telah menyebabkan 910 orang meninggal dunia dengan total kasus mencapai 40 ribu lebih. Jumlah tersebut memang membuat angka kematian yang disebabkan oleh corona virus sudah melampaui angka kematian akibat severe acute respiratory syndrome alias sindrom pernapasan akut atau SARS pada tahun 2002-2003 lalu yang menyebabkan 774 orang meninggal.
Tak heran, kondisi ini melahirkan gejolak yang cukup besar di internal Tiongkok sendiri. Konteks gejolak tersebut memang tak tampak lewat media-media resmi Tiongkok, mengingat sensor pemerintah yang cukup ketat.
Namun, CNBC mencatat bahwa di media sosial mulai muncul kekhawatiran besar bahwa kasus penyakit ini bisa berdampak masif terhadap Tiongkok maupun dunia secara keseluruhan. Bahkan, kekhawatiran tersebut sudah mengarah pada “kemarahan” – hal yang untuk waktu yang cukup lama tidak terjadi di Tiongkok.
Tak heran, beberapa pengamat menyebutkan bahwa kasus ini bisa berujung pada krisis politik besar yang akan menghadang pemerintahan Presiden Xi Jinping.
Gejolak ini menjadi makin kompleks di tengah perang dagang dengan Amerika Serikat, gerakan politik yang terjadi di Hong Kong, kemenangan faksi politik anti unifikasi di Taiwan, serta gejolak politik lain di tingkatan elite Tiongkok pasca dikabulkannya proposal Xi untuk menjadi presiden seumur hidup. Konteksnya disebut berpotensi menggerus kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Presiden Xi.
Dalam nuansa yang sama terkait kepercayaan publik, hal serupa juga kini tengah disorot ke pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Indonesia, mengingat dengan hubungan yang amat dekat dengan Tiongkok, hingga kini belum ada satu kasus virus corona pun dideteksi di Indonesia. Indonesia bahkan dituduh tak mampu mendekteksi virus berbahaya tersebut – hal yang berpotensi melahirkan gejolak di publik.
Jika demikian, akankah virus corona ini bisa menjadi salah satu ganjalan besar secara politik untuk kekuasaan Xi Jinping? Mungkinkah hal yang sama terjadi juga pada Jokowi?
Xi Jinping Terancam Corona
Konteks ancaman politik terhadap kekausaan pemerintah Tiongkok di bawah Xi Jinping lewat kasus virus corona memang bukan isapan jempol semata.
Peneliti dari Eurasia Group, Allison Sherlock menyebutkan bahwa Presiden Xi sebetulnya sudah menyadari bahwa kasus virus corona bukanlah sekedar persoalan krisis kesehatan publik saja. Menurutnya ini adalah tantangan politik terbesar yang harus dihadapi oleh Xi sejak menjadi penguasa sejak tahun 2012 lalu.
Ancaman politik ini bukan sesuatu yang sederhana, mengingat penyebaran virus yang tak terkendali memang bisa menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintahannya secara keseluruhan. Ia boleh jadi akan dianggap tak mampu memberikan keamanan bagi masyarakatnya.
Hal ini juga yang membuat banyak pihak menyoroti posisi Xi yang dianggap tak banyak terlihat dan memberikan pernyataan terbuka di waktu-waktu negaranya sedang mengalami persoalan virus corona tersebut.
Mantan Duta Besar Jerman untuk Tiongkok, Volker Stanzel, menyebutkan bahwa kasus ini juga akan menjadi ujian untuk kepemimpinan di Partai Komunis Tiongkok di tahun 2020.
Menurutnya, “simptom” guncangan terkait kepemimpinan di partai tersebut sudah muncul sejak demonstrasi di Hong Kong, Pemilu di Taiwan yang memenangkan tokoh anti-Tiongkok, dan kemudian akan makin memburuk dengan kasus virus corona yang diprediksi akan berdampak serius bagi perekonomian Tiongkok.
Namun, benarkah konteks persoalan-persoalan tersebut akan mampu mengguncang kekuasaan Xi Jinping?
Pasalnya, selain menjabat sebagai Presiden Tiongkok, Xi juga menduduki posisi tertinggi sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok, serta Komandan Angkatan Bersenjata. Ia juga menjadi satu dari 7 anggota Politburo Standing Committee (PSC) yang merupakan dewan tertinggi penentu kebijakan Partai Komunis Tiongkok. Istimewanya, hanya Xi yang punya hak veto tunggal dalam dewan tersebut.
Konteksnya memang bertambah kompleks karena sejak 2018 lalu, Xi juga telah disahkan sebagai penguasa seumur hidup di Tiongkok setelah proposal usulan tersebut dikabulkan oleh parlemen.
Jabatan presiden sebenarnya hanyalah formalitas karena kekuatan utama Xi adalah dalam kapasitasnya sebagai pimpinan Partai Komunis Tiongkok dan komandan militer. Xi juga sudah mendapatkan gelar “lingdao hexin” atau “pemimpin inti” – gelar yang dalam sejarah Tiongkok hanya diperoleh oleh Mao Zedong, Deng Xiaoping dan Jiang Zemin.
Bahkan, Xi juga dijuluki sebagai “the paramount leader” – sebutan yang diberikan kepada politisi paling berpengaruh atau paling penting di partai dan negara tanpa memandang jabatan formalnya. Terakhir kali, julukan tersebut disematkan pada Deng Xiaoping (1978-1989) yang berhasil mereformasi ekonomi dan politik Tiongkok.
Dalam kapasitasnya itu, Xi bahkan telah memiliki hak untuk menentukan masa depan Tiongkok tanpa dipengaruhi oleh dewan pimpinan partai dalam PSC – dewan yang lahir untuk menjaga adanya keseimbangan kekuasaan, setelah lebih dari 3 dekade (1949-1978) Tiongkok berada dalam kekuasaan perorangan tunggal.
PSC bertujuan untuk menjaga marwah kekuasaan yang lebih kolegial. Namun, kini dewan tersebut tak lebihnya menjadi perpanjangan tangan kekuasaan Xi Jinping.
Artinya, sosok yang kita bicarakan ini adalah orang paling berkuasa di negara dengan penduduk 1,4 miliar tersebut. Dengan demikian, memang cukup sulit untuk melihat gejolak politik tersebut akan besar berpengaruh terhadap kekuasaan xi Jinping.
Political Virus, Bagaimana Jokowi?
Namun, bukan berarti hal tersebut tidak akan terjadi. Xi Jinping jelas punya banyak musuh potensial. Posisinya sebagai pemimpin tertinggi juga diraih dengan menyingkirkan lawan-lawan politiknya.
Dalam sebuah podcast, professor hukum dari Fordham Law School New York, Carl Minzner menyebutkan bahwa Presiden Xi membangun kekuatannya secara bertahap dengan menyingkirkan satu per satu lawan politiknya.
Publik mungkin ingat sosok seperti Bo Xilai yang dianggap sebagai rival politik Xi Jinping. Bo Xilai kehilangan posisinya di partai, parlemen, dan akhirnya menghadapi tuntutan hukum setelah istrinya terlibat kasus pembunuhan seorang warga negara Inggris.
Setelah itu, berturut-turut satu per satu lawan politik Xi terkena skandal hukum, termasuk para jenderal militer, baik yang terjerat korupsi atau kasus hukum lainnya. Kampanye anti korupsi Xi juga nyatanya bukan hanya untuk membersihkan negara itu dari pencurian uang, tetapi juga menjadi alat politiknya untuk menyingkirkan lawan-lawannya.
Lawan-lawannya – yang masih hidup tentutnya – sangat mungkin masih menjadi potensi penghambat kekekuasaan politiknya, sekaligus bisa menjadi pengekskalasi guncangan politik yang bisa muncul suatu saat.
Selain musuh internal, faktor lain adalah apa yang disebut sebagai “keterlibatan asing”. Bukan rahasia lagi bahwa Tiongkok menabuh genderang perang dagang melawan AS. Perang dagang tersebut punya implikasi yang besar secara ekonomi bagi kedua negara. Artinya, AS bisa saja “ada” di balik gejolak politik yang mungkin mengancam kekuasaan Xi Jinping suatu saat nanti.
Sedangkan hal lain adalah jika pemerintah Tiongkok pada akhirnya benar-benar tidak mampu menangani virus corona ini, maka akan lahir gejolak dan protes dari masyarakat di negara tersebut. Jika masyarakat pada akhirnya turun ke jalan-jalan dalam gelombang protes yang besar, maka boleh jadi gejolak politik tersebut berdampak untuk kekuasaan Xi.
Lalu, bagaimana dengan konteks kekuasaan Jokowi di Indonesia?
Well, sekalipun kemampuan Indonesia dalam mendeteksi virus corona dipertanyakan banyak pihak – menurut catatan para peneliti di Harvard seharusnya ada setidaknya 6 kasus virus ini di Indonesia – namun tekanan politik dalam variabel-variabel yang disematkan pada Xi Jinping setidaknya tidak terjadi pada Jokowi.
Di Indonesia tak ada gejolak sebesar demonstrasi Hong Kong. Demikianpun dengan kasus seperti Wuhan yang juga tak ada – setidaknya hingga saat ini. Jokowi juga menerapkan strategi politik merangkul elite yang berbeda dibandingkan cara Xi Jinping.
Dengan demikian, memang cukup sulit untuk melihat “virus politik” dalam bentuk virus corona ini akan mengancam kekuasaan Jokowi. Apalagi, Jokowi tidak berstatus presiden seumur hidup seperti Xi Jinping.
Pada akhirnya, publik tentu menanti akan seperti apa gejolak politik di Tiongkok yang ditimbulkan oleh virus corona. Yang jelas, Xi Jinping sedang menghadapi salah satu cobaan terbesar dalam pemerintahannya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.