Site icon PinterPolitik.com

Jokowi Menuju Status Pemimpin Kuat

Presiden Jokowi (Foto: istimewa)

Dengan kondisi politik nasional saat ini yang praktis tak ada oposisi pemerintah yang kuat dan sepadan, pemerintahan Presiden Jokowi dianggap sudah menuju ke arah kekuasaan mutlak. Ini juga dipengaruhi oleh fakta bahwa beberapa hasil survei menunjukkan bahwa makin banyak masyarakat yang menilai kepemimpinannya makin tidak demokratis.


Pinterpolitik.com

“Yet Mr Joko, like Dr Merkel, has continued to fight back against the extremists, even outlawing the extremist group Hizb ut-Tahrir”.

::Kishore Mahbubani, akademisi dan mantan diplomat Singapura::

Periode kedua kekuasaan Presiden Jokowi memang menjadi lembaran tersendiri dari perjalanan karier mantan Wali Kota Solo itu. Publik menjadi saksi bagaimana Jokowi yang di awal masa kekuasaannya di 2014 lalu dianggap sebagai salah satu presiden paling lemah yang pernah memimpin negara ini, kini bertransformasi menjadi salah satu pemimpin dengan karakter dan kepemimpinan paling kuat.

Konteks “kuatnya” kepemimpinan Jokowi ini terlihat salah satunya dari hasil survei yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia terhadap 1200 responden anak muda yang berusia antara 17-21 tahun. Dari survei tersebut, ditemukan bahwa sekitar 40 persen responden menganggap saat ini Indonesia cenderung mengarah pada kepemimpinan yang tidak demokratis.

Konteks ini beralasan, mengingat jika demokrasi dianggap mulai terancam, artinya ada peningkatan kekuatan politik dari kepemimpinan yang berkuasa – dalam hal ini pada diri Presiden Jokowi. Demokrasi yang berpusat pada kekuasaan yang berasal dari rakyat, kini bergeser menjadi kekuasaan pada individu tertentu.

Makin kuatnya kepemimpinan Presiden Jokowi juga terlihat dari fenomena menghilangnya oposisi pemerintahannya. Setelah Prabowo Subianto yang merupakan lawan politiknya dalam dua gelaran kontestasi elektoral, masuk menjadi bagian dari kabinet pemerintahan, praktis hanya tersisa Partai Demokrat dan Partai Keadilan sejahtera (PKS) yang menjadi tumpuan oposisi pemerintahan.

Baca Juga: Menyibak Rasisme terhadap Natalius Pigai

Masalahnya, Partai Demokrat kini juga tengah dilanda perpecahan akibat dualisme kepemimpinan yang menariknya justru melibatkan salah satu inner circle atau lingkaran dalam kekuasaan Jokowi, yakni Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko. Lagi-lagi banyak pihak yang menilai hal ini sebagai bukti kekuatan politik Jokowi, apalagi kini bola panas pengesahan kubu mana yang diakui resmi justru ada di pemerintah, khususnya di Kementerian Hukum dan HAM.

Dari fenomena-fenomena ini, benarkah Jokowi kini telah berubah menjadi salah satu pemimpin kuat di dunia? Lalu, seperti apa fenomena ini dilihat dari sudut pandang akademisi dan mantan diplomat Singapura, Kishore Mahbubani?

Risalah Pemimpin Kuat

Para pengamat dan scholar memang membuat klasifikasi masing-masing untuk menentukan apakah seseorang bisa dimasukkan ke dalam kategori pemimpin kuat. Status “kuat” itu sendiri sebenarnya menjadi bagian dari karakter kepemimpinan seorang pemimpin yang hebat alias a great leader.

Konteks status kuatnya seorang pemimpin di sisi ini dinilai secara positif. Mahbubani dan Klaus Schwab mendiskusikan hal ini dalam tulisan mereka yang berjudul What Makes a Great Leader?. Schwab sendiri adalah seorang guru besar asal Jerman dan merupakan pendiri serta chairman World Economic Forum.

Secara umum, Schwab memberikan 5 variabel utama untuk menilai seseorang layak atau tidak menjadi great leader, yakni heart atau hati, brain atau otak, muscle atau otot, nerve atau keberanian, dan soul alias jiwa.

Sementara, Mahbubani membahasakannya secara lebih spesifik, yakni compassion alias kasih sayang, canniness atau kesopanan/kehati-hatian, courage alias keberanian, kemampuan mengidentifikasi talenta dan kemampuan memahami kompleksitas isu. Walaupun keduanya membahasakan secara berbeda, setidaknya variabel yang digunakan sama.

Untuk kualitas heart, keduanya sepakat faktor ini menjadi hal yang penting bagi seorang pemimpin. Sosok seperti Nelson Mandela dan Mahatma Gandhi misalnya, tentu tak akan mendapatkan predikat great leader jika tak punya hati untuk masyarakatnya. Karena kasih sayang, kepedulian dan cinta kepada masyarakatnya, tokoh-tokoh tersebut akan selalu dikenang.

Kriteria kedua adalah brain, yakni bahwa pemimpin yang hebat haruslah bisa mengolah semua informasi yang didapatkannya untuk menghasilkan kebijakan yang melingkupi semua orang dan dengan perhitungan jangka panjang yang matang pula. Tak jarang kebijakan yang diambil dengan mengedepankan brain juga akan mempengaruhi posisi negara yang dipimpin dalam konteks politik internasional.

Ini karena negara sering kali berperilaku sebagai aktor rasional (rational actor). Oleh karenanya, faktor brain ini menjadi sangat penting untuk dimiliki. Presiden Tiongkok Xi Jinping dan Perdana Menteri India Narendra Modi adalah beberapa contoh yang kuat secara brain dalam konteks pembanynan negaranya, misalnya terkait pemahaman mereka soal perubahan ekonomi dan sosial serta kesempatan di balik Revolusi Industri 4.0.

Kategori berikutnya adalah nerve atau courage yang ditunjukkan oleh pemimpin yang berani mengambil kebijakan, sekalipun yakin akan mendapatkan penolakan. Kanselir Jerman Angela Merkel adalah contoh pemimpin yang menurut Mahbubani dan Schwab masuk kategori berani tersebut, misalkan terkait kebijakannya mengijinkan para pencari suaka dan pengungsi masuk ke negara tersebut.

Baca Juga: Ini Alasan FPI Tidak Akan Berjaya

Menariknya, Mahbubani dan Schwab juga menyebut Presiden Jokowi dalam contoh pemimpin yang dianggap berani tersebut. Sama seperti Merkel yang mendapatkan tantangan dari kelompok politik kanan di Eropa yang cenderung anti keberagaman, Jokowi juga mendapatkan tantangan serupa dalam konteks yang mirip di Indonesia. Keberanian Jokowi membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) misalnya, disebut mengekskalasi konteks keberanian tersebut.

Konteks adanya nama Presiden Jokowi dalam salah satu dari karakter-karakter tersebut tentu menjadi hal yang menarik untuk dilihat. Pasalnya, ini bisa saja menjadi pembenaran status Jokowi sebagai seorang pemimpin kuat.

Apalagi, bicara soal nerve sering berhubungan dengan ketiadaan rasa takut dalam pembuatan kebijakan tertentu. Thomas P. Power dalam tulisannya Jokowi’s Authoritarian Turn and Indonesia’s Democratic Decline bahkan melihat perubahan arah kepemimpinan Presiden Jokowi menuju kecenderungan menjadi otoriter.

Ini lagi-lagi berangkat dari kebijakan-kebijakan Jokowi yang dianggap berseberangan dengan nilai-nilai demokrasi, misalnya terkait pembubaran ormas seperti HTI hingga Front Pembela Islam (FPI). Selain itu, ketiadaan oposisi juga sebenarnya menunjukkan makin kuatnya sentralisasi kekuasaan pada tangan eksekutif.

Tangan Kuat Jokowi

Jika mencermati secara personal, Jokowi tak diragukan lagi, mempunyai kualitas untuk menjadi seorang great leader pun dalam konteks statusnya sebagai pemimpin kuat. Sosok yang sederhana, soft spoken, punya keberanian dan penuh compassion adalah gambaran yang awalnya ditangkap masyarakat sejak permulaan kekuasaan sang presiden.

Namun, konteks nilai-nilai tersebut belakangan dianggap perlahan tapi pasti, mulai memudar seiring transformasi kekuatan politik yang dipunyai sang presiden. Jokowi yang dulu dianggap presiden lemah, kini berhasil memainkan kendali kekuasaannya dengan baik.

Bukti lain makin menguatnya posisi politik Jokowi bisa dilihat dari fenomena makin banyaknya politisi yang “memanfaatkan” status Gibran Rakabuming Raka sebagai putra Jokowi yang kini menjabat sebagai Wali Kota Solo untuk mendapatkan atensi politik, sekaligus pralambang kedekatan dengan kekuasaan Jokowi.

Baca Juga: Siasat Luhut Gandeng Elon Musk

Beberapa hari terakhir Gibran memang dikunjungi oleh banyak tokoh politik nasional, seiring juga menguat wacana pencalonannya untuk Pilkada DKI Jakarta 2024. Adanya sosok Gibran di panggung politik nasional ini juga menunjukkan keberhasilan Jokowi mendorong dinasti politiknya.

Semua kondisi ini tidak lepas dari kemampuan Jokowi – yang dulunya dianggap sangat lemah – membalikkan semua prediksi politik terkait kekuatannya. Persoalannya tinggal apakah konteks kekuatan tersebut didapatkan Jokowi dalam konteks karakter kepemimpinan personalnya, atau justru dari lingkaran elite politik yang ada di sekitarnya.

Sisi yang lainnya adalah dalam konteks kebebasan berekspresi dan berpendapat yang beberapa waktu terakhir dianggap mulai menurun. Tak heran jika banyak yang mengidentikkan ini dengan degradasi demokrasi, dan peluang besar menuju ke arah kepemimpinan yang bertangan kuat.

Pada akhirnya, menjadi great leader akan menjadi pilihan paling positif untuk Jokowi demi meninggalkan warisan yang diingat oleh masyarakat Indonesia. Namun, jika arahnya justru berujung pada kepemimpinan yang kuat, mungkin Jokowi perlu mempertimbangkan lagi kebijakan-kebijakan politiknya di masa depan. (S13)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version