Site icon PinterPolitik.com

Jokowi Menuju Gelembung Startup?

Jokowi Menuju Gelembung Startup?

Jokowi saat merayakan HUT Bukalapak (Foto: istimewa)

Didukung beberapa kebijakan pemerintah, pertumbuhan perusahaan startup belakangan ini sempat melesat. Meski begitu, ada ancaman yang bisa muncul di balik laju pesatnya.


Pinterpolitik.com

Selama beberapa waktu terakhir, selain menjadi content creator, muncul cita-cita baru yang diidamkan anak muda Indonesia, yakni jadi founder atau setidaknya bekerja di startup. Sayangnya, akhir-akhir ini gemerlap perusahaan teknologi itu tampak terganggu. Salah satu penyebabnya adalah kemungkinan adanya startup bubble.

Kondisi semacam ini baru-baru ini menyentuh kalangan awam kala diperkenalkan oleh akun sambat pekerja startup seperti @taktekbum, @ecommurz, atau @ridehaluing. Memang, akun-akun tersebut banyak membahas sisi gelap dari sisi ritme kerja perusahaan rintisan.

Meski demikian, akun-akun tersebut juga sempat memberi wawasan baru terkait dengan hitung-hitungan ekonomi terkait dengan perusahaan-perusahaan startup. Salah satu yang terungkap adalah potensi adanya bubble dari perusahaan rintisan.

Yang membuatnya pelik, dengan harapan ekonomi digital yang dimunculkan mereka, banyak pihak menaruh asa dan dukungan pada perusahaan-perusahaan tersebut. Hal ini termasuk pemerintah yang kerap membanggakan perusahaan yang dikaitkan dengan anak muda itu.

Lalu, sebenarnnya seberapa ngerikah potensi meletusnya startup bubble ini? Layakkah pemerintah memberikan dukungan all out kepada perusahaan-perusahaan yang berbau teknologi ini?

Perusahaan yang Bikin Menengok

Siapa yang tak akan tergoda untuk menengok startup? Kemunculannya selama beberapa tahun terakhir memang menyita perhatian banyak orang.

Dari segi layanan, perusahaan-perusahaan tersebut memang terkenal dengan disrupsi yang mereka berikan. Banyak hal jadi jauh lebih mudah akibat inovasi yang mereka tawarkan.

Mau belanja? Tak perlu keluar rumah, cukup pesan secara online. Mau bepergian? Tenang, cukup main handphone, ojek atau taksi online akan mengantar sampai tujuan. Mau liburan? Tak perlu antre beli tiket, cukup sentuh layar, semua bisa selesai.

Disrupsi layanan mereka ini kemudian membuat jenis bisnis konvensional mulai mendapat saingan. Hal ini kemudian memicu banyak orang, khususnya anak muda terpacu untuk punya perusahaan rintisan sendiri.

Beragam inovasi kemudian mereka coba hadirkan untuk jadi lahan bisnis. Berbagai hal yang semula dianggap remeh-temeh, dilirik untuk diberikan sentuhan ekonomi digital. Konon, bisnis mereka ini cenderung utamakan inovasi dan kemudahan layanan. Hal ini berbeda dengan bisnis konvensional yang mengejar keuntungan.

Baca Juga: Anies Kelemahan Terbesar PSI?

Nah, di tengah kondisi tersebut, perusahaan startup kemudian bermunculan bak jamur di musim hujan. Menurut Startup Rankings, Indonesia bahkan ada di jajaran lima besar negara tuan rumah startup dunia dengan total perusahaan diperkirakan mencapai 2.233.

Tak sekadar jumlah yang tinggi, dari segi valuasi bisnis, banyak perusahaan asal Indonesia yang masuk ke dalam jajaran unicorn. Ada lima perusahaan tergolong unicorn bahkan satu di antaranya dikategorikan decacorn.

Geliat perusahaan khas anak muda ini kemudian membuat pemerintah melirik startup. Beberapa waktu terakhir ada banyak kebijakan yang mendukung perusahaan semacam ini.

Kemenkominfo misalnya punya Gerakan Nasional 1000 Startup Digital dan The Next Indonesian Unicorns (NEXTICORN). Selain itu, ada pula Startup Inovasi Indonesia (SSI) dari Kemenristek/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Tak cuma itu, beberapa petinggi perusahaan rintisan tersebut bahkan diajak untuk terlibat langsung dalam pemerintahan. Tentu semua orang tahu kalau Mendikbud Nadiem Makarim adalah eks CEO perusahaan ride hailing terkemuka. Semula, ada pula Belva Devara dan Andi Taufan Garuda Putra yang sempat menjadi staf khusus presiden.

Kondisi-kondisi tersebut seolah memberi gambaran kalau pemerintah menaruh harapan pada perusahaan-perusahaan startup. Tentu, semua masih ingat kalau Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat bertanya kepada lawannya, Prabowo Subianto, pada debat Pilpres di 2019 lalu, soal infrastruktur apa yang akan dibangun untuk para unicorn. Hal itu bisa menjadi gambaran kalau pemerintah memberi perhatian pada perusahaan rintisan.

Tak Pernah Untung

Tentu, menyenangkan punya banyak anak muda yang ingin berusaha. Dari sisi pemerintahan nasional, hal ini tergolong mampu membantu perekonomian nasional.

Layanan e-commerce, pariwisata, dan jasa antar makanan tentu mampu mendorong konsumsi masyarakat, hal yang penting untuk pertumbuhan ekonomi. Layanan taksi dan ojek online memberikan peluang kerja baru yang membantu memangkas angka pengangguran.

Jika berbicara ketenagakerjaan, kehadiran mereka yang begitu cepat dan banyak tentu mampu menyerap banyak tenaga kerja. Apalagi, banyak perusahaan yang menawarkan gaji cukup menjanjikan. Akibatnya tentu saja muncul banyak anak muda dengan daya beli yang cukup tinggi.

Baca Juga: Ada Siasat Airlangga-Anies 2024?

Meski menjanjikan banyak manfaat, apakah all-out bahkan sampai memprioritaskan perusahaan ini adalah hal yang benar-benar baik untuk pemerintah?

Mari kita lihat dari segi model bisnis. Jika diperhatikan, sebagian besar dari perusahaan tersebut mengandalkan suntikan dana dari investor. Nah, di sinilah potensi masalah bisa muncul.

Sejauh ini boleh jadi suntikan dana investor itu jadi sumber dana paling utama dari startup. Dalam beberapa laporan, kerap disebutkan kalau perusahaan-perusahaan tersebut masih belum juga melaporkan untung. Hal ini berbeda dengan bisnis konvensional yang relatif lebih cepat untung.

Di tengah kondisi tersebut, startup sendiri akrab dengan fenomena “bakar uang” seiring dengan promosi yang gencar. Tak hanya memudahkan, layanan mereka kemudian dikenal karena punya harga yang miring.

Di atas kertas, hal ini tentu lagi-lagi memberi manfaat dari segi konsumsi masyarakat. Mereka tentu akan tergiur dengan berbagai produk yang murah setelah diganjar promo.

Namun, jika terus-menerus membakar uang dengan promo, kapan mereka bisa meraup untung? Bukankah itu jadi salah satu syarat utama agar sebuah bisnis bisa tahan lama? Bukankah untuk jangka panjang hal itu lebih produktif untuk negara?

Pecah Gelembung?

Tak kunjung untungnya perusahaan startup ini kemudian memunculkan pertanyaan, mengapa mereka begitu heboh disambut bahkan sampai ada gelar khusus seperti unicorn dan decacorn segala?

Hal inilah yang kemudian beberapa pihak mulai teringat dengan istilah gelembung ekonomi alias bubble. Secara khusus, hal ini belakangan mulai jadi bahan pembicaraan seiring dengan munculnya pandemi Covid-19. Ada yang menduga kalau pandemi ini akan jadi pemicu meletusnya gelembung.

Tengok saja dari bagaimana beberapa startup harus gulung tikar di tahun 2020. Nama sebesar Airy yang bergerak di bisnis penginapan misalnya, tak kuasa membendung beban ekonomi di masa pandemi.

Secara khusus, ada hasil survei menarik dari Katadata Insight Center. Saat bertanya kepada 139 eksekutif startup digital pada Mei-Juni 2020 lalu, hanya 33 persen startup yang merasa berkondisi baik, dan 42,5 persen mengaku berkondisi buruk.

Nah, berbagai kondisi ini tentu kemudian memicu pertanyaan, mengapa bisa mereka mendapat valuasi bisnis hingga berstatus decacorn sementara kondisinya tidak baik?

Valuasi yang kelewat tinggi ini tergambar misalnya dalam kasus WeWork. Perusahaan tersebut disebut Forbes bahkan memiliki fake valuation alias valuasi palsu. Hal ini kemudian menjadi pemicu dari gagalnya IPO perusahaan.

Kondisi valuasi tinggi ini pernah ditemukan pada tech-bubble atau dot-com bubble pada tahun 2000 di Amerika Serikat (AS). Kala itu, perusahaan-perusahaan teknologi memiliki valuasi 165 persen lebih tinggi dari pasaran umum.

Sayangnya, nilai pasar perusahaan-perusahaan itu ternyata lebih tinggi dari nilai riil mereka. Harga tinggi itu ternyata tak bertahan lama kemudian jatuh. Akibatnya, banyak perusahaan gulung tikar tak lama setelah melantai di bursa.

Merujuk pada kondisi itu dan kondisi sekarang, potensi pecahnya gelembung startup di Indonesia tergolong nyata. Hal ini diungkapkan oleh John Colley, Professor of Practice, Associate Dean di Warwick Business School, University of Warwick melalui tulisannya di The Conversation.

Baca Juga: Anies dan “Tangan Dingin” Surya Paloh

Ia menyebut kalau hanya tinggal waktu sebelum gelembung ini meletus. Colley menggambarkan penurunan saham Apple dan Facebook sebagai indikasi kalau perusahaan teknologi mapan telah mengalami kegagalan ramalan. Hal ini tentu menjadi ancaman bagi perusahaan yang belum melantai di bursa.

Merujuk pada Markus K. Brunnermeier dan Martin Oehmke dalam tulisan mereka untuk National Bureau of Economic Research (NBER), memang sebenarnya tech bubble ini tak berdampak besar seperti housing bubble pada tahun 2008. Meski begitu, bukan berarti hal itu bisa dipandang remeh, khususnya di Indonesia.

Jika gelembung itu pecah, akan terjadi ekosistem ekonomi yang tidak ramah startup. Di atas kertas, mungkin ini hanya akan berdampak pada para pegawai dan investor perusahaan saja.

Meski demikian, kondisi ini bisa berdampak pada perekonomian dalam jangka panjang. Seperti disebutkan di atas, startup di Indonesia sangat bergantung pada investor, terutama investor asing.

Ketika gelembung pecah, boleh jadi akan muncul ketidakpercayaan dari investor untuk menanamkan dananya. Kondisi ini bisa memberikan pengaruh pada pertumbuhan ekonomi.

Jangan remehkan pula unsur pegawai tadi. Dengan gaji menjulang, ada potensi mereka memiliki kredit yang tinggi. Jika gelembung pecah lalu mereka menganggur, ada potensi kredit macet saat tak berpenghasilan dalam waktu yang lama.

Tentu ini masih belum termasuk dengan sektor informal dan UMKM yang terkait dengan startup. Jika perusahaan ride hailing gulung tikar, bagaimana nasib para pengemudi ojek dan taksi online?

Merujuk pada kondisi-kondisi ini idealnya pemerintah tak menjadikan startup sebagai tulang punggung utama perekonomian. Salah satu yang harus diwaspadai adalah rencana IPO perusahaan startup yang kemungkinan akan diatur regulasinya.

Jika valuasi kini tak sesuai dengan nilai riil kejadian seperti di era tech bubble bisa saja muncul. Di situlah ancaman ekonomi bisa terjadi. Di situ pulalah pemerintah dan seluruh stakeholder ekonomi harus berhati-hati. (H33)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version