Site icon PinterPolitik.com

Jokowi Menjaja Kartu Pra Kerja

kartu pra kerja

Jokowi kenalkan kartu pra kerja di Konvensi Rakyat. (Foto: Antara Foto)

“Kalau belum dapat pekerjaan kartu itu juga akan memberikan kayak honor, kayak gaji gitu. Tapi jumlahnya berapa, masih kita rahasiakan”, Jokowi


Pinterpolitik.com

[dropcap]S[/dropcap]epertinya, tak ada orang tua yang suka melihat anaknya hanya sekadar ongkang-ongkang kaki di rumah sambil merokok dan tak pergi bekerja. Status menganggur jelas bukanlah sesuatu yang diharapkan oleh para orang tua tersebut dan mungkin juga para pemuda yang terpaksa menyandang status itu.

Memang, perkara pengangguran belakangan tak hanya menjadi masalah antara anak dan orang tua saja, tetapi negara secara keseluruhan juga merasa bertanggung jawab di dalamnya.

Masalah ini sepertinya mampir juga ke meja kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kandidat presiden petahana itu pun kemudian hadir dengan ide tak biasa untuk mengatasi problema pekerjaan di Tanah Air. Kartu pra kerja, jadi kartu andalan Jokowi untuk menghadapi hal tersebut.

Jika didengar sekilas, kartu ini mungkin akan dianggap seperti kartu-kartu lain yang diedarkan pemerintah untuk menghadapi masalah kesejahteraan sosial Indonesia. Akan tetapi, ada sebuah gagasan tak umum dari rencana penerbitan kartu tersebut, yakni bahwa masyarakat yang belum bekerja akan digaji hanya bermodal kartu.

Sepintas, kartu ini bisa menjadi solusi bagi pemuda-pemuda yang terancam dibenci orang tua karena tak kunjung dapat pekerjaan. Akan tetapi, seperti apakah pelaksanaan kartu ini nantinya? Apakah kartu ini benar-benar dapat menjadi solusi masalah pengangguran di Indonesia?

Menjual Kartu Baru

Kartu tampak menjadi senjata yang dianggap ampuh oleh Jokowi selaku kandidat petahana dalam Pilpres 2019. Dalam pidatonya di Konvensi Rakyat beberapa waktu lalu, mantan Wali Kota Solo tersebut mengumumkan bahwa pihaknya mempersiapkan tiga kartu baru, yaitu Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, Kartu Sembako dan Kartu Pra Kerja.

Secara khusus, Kartu Pra Kerja tampaknya akan menjadi jualan utama Jokowi untuk menghadapi masalah ketenagakerjaan di negeri ini. Dalam kampanyenya, ia mulai menjajakan Kartu Pra Kerja itu kepada kelompok masyarakat yang ia temui.

Berdasarkan pernyataan sang presiden, kartu ini ditujukan untuk masyarakat Indonesia yang baru lulus dari SMA/SMK dan perguruan tinggi/politeknik, yang belum mendapatkan pekerjaan. Penerbitan kartu tersebut dimaksudkan agar para pemuda lebih siap untuk diserap oleh industri.

Agar bisa diserap oleh industri, para pemuda tersebut akan mendapatkan pelatihan, sehingga kemampuannya dapat meningkat. Disebutkan bahwa instruktur yang memberi pelatihan adalah instruktur-instruktur terbaik, sehingga para pemegang kartu lebih mudah diterima oleh pemberi kerja.

Salah satu kesaktian dari kartu sakti ini adalah pemegangnya tidak akan perlu khawatir soal penghasilan karena meski belum bekerja, mereka akan diberi dana layaknya gaji atau honor pekerja. Meski begitu, sebenarnya kartu ini masih belum dijelaskan secara rinci bagaimana pelaksanaannya.

Hingga saat ini besaran gaji atau honor bagi pemegang Kartu Pra Kerja masih dirahasiakan. Yang tak kalah penting, perkara sistem dan juga sumber pendananaannya juga hingga kini masih menjadi misteri, meski kartu sudah mulai dijajakan saat kampanye.

Memburu Kesejahteraan

Sekilas, pemberian gaji kepada mereka yang belum bekerja melalui Kartu Pra Kerja ini serupa dengan unemployment benefits yang diberlakukan di beberapa negara. Negara-negara yang memiliki sistem kesejahteraan luas, umumnya memberikan hal tersebut kepada masyarakat mereka yang tidak bekerja.

Jika diperhatikan, negara-negara di dunia memiliki beragam skema untuk menggaji para tuna karya di negara mereka. Negara yang berhaluan sosial demokrasi atau negara kesejahteraan umumnya bertumpu pada pajak untuk mendanai program seperti ini.

Negeri Paman Sam Amerika Serikat (AS) memiliki strategi lain lagi, yaitu dengan compulsory insurance. Sementara itu, negara petrodolar Arab Saudi mendanai hal itu dengan penghasilan mereka sebagai negara kaya minyak.

Di antara negara-negara tersebut, program milik Gerhard Schrӧder di Jerman pada tahun 2002 dapat dijadikan contoh untuk perbandingan. Hal ini dikarenakan program unemployment benefits milik Schrӧder memiliki dimensi politik dalam pelaksanaannya. Menurut S. A. Mousalimas, dalam pelaksanaan program-program kesejahteraannya, Schrӧder memang lebih memikirkan elektabilitas ketimbang stabilitas.

Kala itu, melalui Hartz plan, Schrӧder merencanakan untuk memotong  tingkat pengangguran Jerman hingga separuhnya. Strategi yang diambil adalah dengan memberikan pinjaman lunak kepada mereka yang tidak bekerja dan meningkatkan jumlah subsidi yang diterima.

Rencana itu dianggap tidak efektif untuk mengatasi masalah pengangguran. Alih-alih menambah subsidi, kubu oposisi menganggap mengurangi unemployment benefits yang terlalu tinggi dapat membuat orang mau kembali didorong untuk bekerja.

Demi Elektabilitas?

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Sekilas, ini seperti program yang benar-benar dibutuhkan untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan di negeri ini. Akan tetapi, jika merujuk pada hal yang dialami oleh Schrӧder, pelaksanaan program ini boleh jadi tidak akan berjalan mulus bahkan mungkin sulit terwujud.

International Labour Organization (ILO), sebagai badan PBB yang membahas isu ketenagakerjaan, sebenarnya sempat melakukan kajian untuk membahas kemungkinan hal semacam itu di Indonesia. Ada beberapa skema yang disebutkan oleh organisasi tersebut untuk mengimplementasikan kebijakan serupa unemployment  benefits di Indonesia.

ILO menggambarkan bahwa ada dilema dalam kebijakan ini. Kebijakan ini lebih mudah dieksekusi saat ekonomi membaik dan pengangguran rendah. Akan tetapi, kebjakan ini juga perlu dilaksanakan ketika ekonomi dilanda gangguan dan pengangguran tinggi. ILO kemudian menyebut pada akhirnya waktu eksekusi kebijakan ini tergantung pada pilihan politik.

Jika melihat kondisi ekonomi terkini, sulit untuk bisa menemukan formulasi pendanaan yang paling tepat. Mengandalkan sepenuhnya pada APBN boleh jadi tidak akan menjadi pilihan terlampau bijak jika mengingat bebannya yang sudah terlampau berat.

Indonesia misalnya saja tak setara dengan negara yang kesadaran pajaknya tinggi seperti di negara-negara Skandinavia. Selain itu, Indonesia juga bukan negara petrodolar dengan jumlah penduduk sedikit.

Apalagi program kesejahteraan sosial lain saat ini tengah berjalan tidak maksimal. BPJS Kesehatan sebagai penyedia program kesehatan misalnya, kini tengah dirundung masalah karena mengalami defisit.

Jika ada program kesejahteraan lain seperti Kartu Pra Kerja, maka beban yang sebelumnya sudah terjadi melalui BPJS, bisa saja semakin bertambah. Padahal, dalam banyak kasus, menambah beban melalui program kesejahteraan kerap menjadi resep bahaya yang bahkan bisa berujung krisis. Yunani dan Venezuela tampaknya sudah cukup menjadi contoh bagaimana pengeluaran jor-joran di sektor sosial justru berujung krisis.

Di luar itu, pemberian unemployment benefits ini tidak sepenuhnya memberikan solusi bagi masalah pengangguran. Dalam riset yang dilakukan oleh Henry S. Farber dan Robert Valletta, pemberian hal tersebut ternyata hanya memberikan sedikit efek atau sama sekali tak berefek pada pencarian kerja.

Merujuk pada hal-hal tersebut, Kartu Pra Kerja ini tergolong masih belum teruji dari segi sistem, pendanaan dan juga efektivitasnya. Jika melihat pengumumannya yang dekat dengan pencoblosan, boleh jadi kartu pra kerja ini memiliki unsur serupa dengan kebijakan Schrӧder, di mana urusan elektabilitas lebih didahulukan ketimbang stabilitas ekonomi.

Kartu pra kerja jadi kartu kesekian yang muncul jelang musim pemilu Share on X

Selain itu, seperti yang disebutkan oleh ILO, rencana kebijakan ini boleh jadi memang lebih dekat dengan urusan politik. Melihat kondisi anggaran, boleh jadi Kartu Pra Kerja bukan sesuatu yang mudah dieksekusi dalam waktu dekat. Akan tetapi, dengan semakin dekatnya waktu pencoblosan, kebijakan ini bisa menjadi ikhtiar lain untuk mendongkrak perolehan suara.

Pada akhirnya, upaya untuk mengentaskan pengangguran jelas merupakan hal yang penting. Akan tetapi, jika tidak dilakukan di waktu dan kondisi yang tepat, kebijakan ini bisa berbuah petaka, bahkan hingga krisis.

Oleh karena itu, Kartu Pra Kerja idealnya harus menjadi kartu yang benar-benar dipertimbangkan secara penuh. Idealnya, urusan politik bisa dikesampingkan dan perkara stabilitas ekonomi bisa didahulukan, sehingga kartu sakti bisa berbuah kesaktian pula bagi negara. (H33)

Exit mobile version